Jumat, 27 September 2013

Polri Profesional Tanpa Moral Berbahaya

Polri Profesional Tanpa Moral Berbahaya
Oegroseno  ;   Wakil Kepala Polri
KOMPAS, 26 September 2013


Menjaga rasa aman dan ketertiban masyarakat bukan terletak pada persoalan kemampuan aparat kepolisian, melainkan terletak pada kemauan aparat kepolisian. Kemauan aparat kepolisian sangat tergantung dari pimpinan satuan yang menyadari tugas dasar kepolisian, mampu menjadi panutan, dan memiliki moralitas yang tinggi.

Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Oegroseno tentang adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam memberi rasa aman. Berikut petikan wawancaraKompas dengan Oegroseno, Rabu (25/9).

Apakah polisi memang tidak mampu menjaga rasa aman?

Kalau ada penilaian masyarakat seperti itu, saya nilai wajar. Masalahnya, bukan mampu atau tidak mampu, melainkan mau atau tidak mau. Jadi, kita harus kembali ke dasar. Apa tujuan masuk polisi. Semua masyarakat yang masuk polisi, entah dari tamtama, brigadir, Akademi Kepolisian, atau sarjana yang masuk polisi, pasti sama, yaitu mengabdi kepada bangsa dan negara melalui Polri. Itu harus diingat kembali.

Jadi, tergantung dari kita, mau atau tidak. Contoh dari diri saya sendiri, mengapa saya bisa mengungkap kasus perampokan CIMB? Karena ada kemauan. Kemampuan itu nomor dua menurut saya. Kemauan dari polisi mau atau tidak menciptakan rasa aman. Kalau masih ada oknum yang melakukan penyimpangan, masyarakat tahu. Mana ada tindakan polisi yang tidak diketahui masyarakat.

Polisi mau atau tidak menjaga rasa aman masyarakat?

Kalau saya tergantung dari pimpinan atau perwiranya. Ini pembagian tugas dan peran. Brigadir apa, tamtama apa, perwira menengah apa, perwira tinggi apa. Ini mungkin harus dipertegas kembali. Sampai detik ini, meskipun saya Wakil Kepala Polri, kalau ada pelanggaran di depan saya, saya berhenti. Saya tegur.

Contoh, pada hari libur, dia memberhentikan kendaraan seenaknya saja. Kan, sepertinya cari-cari sesuatu. Saya tegur. Kalau razia, ramai-ramai, jangan razia perorangan. Kita harus bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat. Kemauan itu harus dibangunkan terus. Kamu harus mau dan mampu berbuat itu. Kemampuan bisa dilatih. Kemauan kembali ke soal moral. Bermoral dan profesional. Yang berbahaya adalah profesional, tetapi tidak bermoral.

Apakah ada kecenderungan degradasi moral? Iya. Mengapa? Gampanglah. Contohnya, jalan tol itu jalan bebas hambatan. Ada tidak aturan di seluruh dunia, di jalan bebas hambatan, kecuali highway, boleh memberhentikan kendaraan seenaknya? Kalau orang sudah masuk tol, konsekuensinya, dia bebas hambatan. Memberhentikan kendaraan di jalan tol menimbulkan kesan negatif.

Apa kesulitan utama dalam mereformasi kultur Polri?

Panutan. Ini kendala bagi kita. Sepertinya, bawahan melihat wah, pimpinan itu enak, duitnya banyak. Itu yang terjadi kan.

Waktu terjadi penembakan di depan kantor KPK, saya mengatakan, pengawalan tidak prosedural. Mengapa mengawal sendiri? Saya tidak mengatakan Anda dilarang mencari tambahan. Tapi, isu yang muncul di bawah, pimpinan punya duit banyak.

Siapa bilang duitnya jenderal banyak. Tapi, isu seperti itu muncul. Karena apa? Mereka melihat kasus simulator. Ada perwira terlibat. Namun, tidak berarti jenderal duitnya banyak. Ada juga jenderal yang susah.

Yang dikatakan banyak itu berapa? Satu juta, dua juta, tidak jelas. Ini sudah digeneralisasi. Yang membahayakan, tidak ada kepercayaan bawahan terhadap atasan. Semua ingin ngobyek, mencari tambahan. Itu boleh, tetapi di luar jam dinas.

Kita bisa mengambil contoh di negara Amerika. Ada kesempatan untuk mencari tambahan. Itu tidak dilarang, tetapi profesional. Misalnya, ada perbaikan jalan, polisi memberi bantuan. Namun, itu harus di luar jam dinas. Kalau sedang bertugas, semua untuk bangsa dan negara.

Kita tidak usah terlalu kaku juga. Namun, tugas pokok tidak boleh ditinggalkan. Nanti, ada orang yang komplain, polisi kok mencari tambahan. Bukan juga mencari tambahan yang tidak halal, tetapi harus yang halal. Misalnya, mengatur perbaikan jalan dan jangan melupakan tugas utama.

Bagaimana dengan mencari tambahan menjadi beking tempat hiburan malam atau perkebunan?

Jangan. Tidak boleh. Yang negatif-negatif jangan. Kalau tempat hiburan malam, ada satuan pengamanan. Undang-undang mengatakan, polisi dibantu satpam. Jangan kerja satpam diambil polisi. Nanti, suatu saat, terbalik. Kerjaan polisi diambil satpam.

Penempatan tugas dan jabatan di Polri juga kurang transparan?

Harus menggunakan teknologi. Penempatan tidak lagi melihat muka orang. Harus dilihat prestasi dan pendidikan. Harus online. Dalam mutasi, harus dilihat kesehatan, prestasi kerja, ranking pendidikan, pengalaman kerja.

Ada perwira menengah yang berpangkat ajun komisaris besar terus. Jabatannya, Kepala Bidang Telematika Polda Bangka Belitung. Padahal, teman seangkatannya sudah brigadir jenderal. Mengapa? Karena tidak ada yang tertarik telematika.

Mengapa kepercayaan masyarakat terhadap polisi masih rendah?

Komunikasi tidak ada. Masyarakat masih kesulitan berkomunikasi dengan polisi. Misalnya, saat orang melaporkan kelakuan polisi yang menyimpang ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), kadang-kadang tidak diterima.

Makanya, saya selalu mendorong Propam untuk membuat akses ke masyarakat. Mereka sendiri sudah mem-protect. Solusinya, sekarang, saya buka. Polisi wajib menerima laporan masyarakat.

Bagaimana perubahan kultur harus dilakukan?

Pemimpin harus menjadi contoh dan panutan. Bangun komunikasi. Jangan ada lagi kesenjangan komunikasi antara pimpinan dan yang dipimpin. Mencari pemimpin yang bisa menjadi contoh memang berat. Saya pribadi, saya bisa menggunakan barang-barang yang mahal. Namun, apakah harus dipakai?
Kalau komandan atau pimpinan menggunakan barang bermerek, anak buah juga akan berpikir, uangnya dari mana? Padahal, waktu letnan dua, pas- pasan. Sekarang sudah berpangkat komisaris, kendaraannya Land Cruiser.

Kita harus bisa menempatkan posisi. Waktu saya letda di Polda Metro sampai kapten tidak membawa mobil. Larangan tidak ada, tetapi segan saja. Saya naik bus kota, bisa ngobrol dengan kondektur dan masyarakat. Hidup sederhana itu bukan berarti harus melarat.

Intinya, jangan ada jarak dengan masyarakat. Urusan yang mudah malah dipersulit.
Contoh, saat kejadian penembakan di depan Gedung KPK. Mengapa semua sopir truk dan truknya harus dibawa ke polda. Truknya dibawa. Truknya tidak salah. Yang dipersulit, sopir, pemilik truk, pemilik barang. Yang belum tentu ada hubungan langsung dengan peristiwa penembakan itu sendiri.

Ada kendala mengungkap kasus penembakan di depan KPK?

Kita sudah mulai mengarah pada profesionalisme. Sampai sekarang, nilai kesulitan cukup tinggi. Kita perlu membuktikan siapa mereka. Jangan mengarah pada kelompok mana-kelompok mana. Yang kita butuhkan pembuktian di pengadilan. Ini bagian dari upaya menumbuhkan kepercayaan.

Ada kendala psikologis untuk mengungkap kasus itu?

Menurut saya, tidak ada. Lebih ke teknis. Rekaman CCTV hanya membantu. Perlu peran serta masyarakat.

Menjelang Pemilihan Umum 2014, apakah ada eskalasi kerawanan keamanan?

Sudah sejak 2012, seluruh desa sudah dijaga dengan Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas). Saya berharap rekan TNI, yaitu Bintara Pembina Desa (Babinsa), juga bisa bersama- sama Babinkamtibmas.

Polri pun harus bekerja sama. Paradigma lama harus dihilangkan. Babinsa, kepala desa, dan Babinkamtibmas perlu duduk bersama, saling kontrol, dan diskusi agar kalau ada kerawanan atau potensi konflik bisa dapat dengan cepat terdeteksi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar