Sabtu, 28 September 2013

Presidential Threshold : Ya atau Tidak?

Presidential Threshold : Ya atau Tidak?
Jamal Wiwoho  ;   Dosen Program Doktor Fakultas Hukum
dan Pembantu Rektor II Universitas Sebelas Maret Solo
KORAN SINDO, 27 September 2013



Soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam pemilihan presiden 2014 sampai saat ini masih dalam perdebatan yang belum berujung.

Sembilan fraksi dalam DPR dengan sikap terbelah masih dengan konsep dan kepentingan masing-masing. Menurut Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ignatius Mulyono, setelah ada pandangan sembilan fraksi, parlemen tidak mendapat kata sepakat. Lima fraksi menolak mengubah Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU Pilpres), yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. 

Sementara fraksi mendukung revisi UU Pilpres ialah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera,Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura. Dari fraksi yang setuju atas revisi UU Pilpres, misalnya, Lukman Hakim Saifuddin—wakil ketua umum PPP yang juga wakil ketua MPR itu, mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden (PT) itu inkonstitusional karena berapa pun yang ditentukan tidak sejalan dengan hakikat Pasal 6A UUD yang menegaskan bahwa partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon presiden dan calon wakil presidennya. 

Pasal 6A tidak menentukan adanya dukungan minimal berupa kursi atau suara. Oleh karena itu, UU Pilpres harus diubah sehingga mampu menangkap jiwa dan norma yang ada dalam konstitusi terkait pilpres. Dengan kata lain, persoalan ambang batas tersebut akan memasung hak partai politik dan masyarakat yang menghendaki adanya alternatif capres. Sementara itu Tjahjo Kumolo, sekretaris jenderal PDI Perjuangan, menganggap UU Pilpres tidak perlu diubah karena masih rasional dengan dinamika masyarakat. 

Seperti kita ketahui, pembahasan revisi UU Pilpres yang tertuang dalam UU No 42 Tahun 2008 ini beberapa kali ditunda lantaran persoalan krusial satu pasal, yakni Pasal 9 UU Pilpres. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres hanya bisa diajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik yang memiliki 20% kursi di parlemen dan 25% suara nasional. Keinginan partai-partai besar menolak revisi UU Pilpres ini dapat dimaklumi sebagai upaya memperkuat bargaining position presiden terpilih. 

Jika opsi ini yang dipilih maka diperkirakan hanya akan ada tiga atau maksimal empat figur capres minus figur alternatif yang merupakan representasi publik. Keempat calon presiden tersebut adalah Joko Widodo dari PDI Perjuangan (jika diajukan oleh PDI Perjuangan), Aburizal Bakrie dari Partai Golongan Karya, Prabowo Subijanto dari Partai Gerindra, dan satu calon presiden pilihan Partai Demokrat dari hasil konvensi yang sedang berproses.

Pro-Kontra 

Kalau kita cermati mengapa ”partai-partai besar” setuju tidak adanya revisi UU Pilpres 2008, hal ini diilhami beberapa pertimbangan antara lain: Pertama, keinginan dominasi parpol besar untuk tetap eksis dalam kancah politik nasional dengan harapan presiden periode mendatang ”hanya” dari parpol besar atau gabungan yang didominasi parpol besar. 

Dasar pemikiran ini dapat tumbang dan dipertimbangkan kembali manakala kita menengok ke belakang, di tahun 2004 untuk pertama kali sistem pilpres langsung dilaunching dan dilaksanakan dengan terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla yang diusung Partai Demokrat, yang”hanya” memperoleh8% suara dalam pemilihan umum legislatif dan mengalahkan Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Partai Golkar, dengan 19% suara parpol hasil pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kala itu. 

Kedua, penolakan merevisi UU Pilpres didasarkan atas pertimbangan praktis yakni mencegah adanya capres/cawapres dari partai ”gurem” dan terjadinya banyak koalisi partai-partai kecil. Manakala capres dan cawapres berasal dari gabungan partai gurem maka dikhawatirkan adanya ”minoritas presiden” dan akan selalu diganggu oleh kekuatan-kekuatan eksternal dari DPR. 

Secara teori, hal ini dapat dibenarkan. Namun dalam praktik (dalam skala yang lebih kecil), ada kepala daerah yang berasal dari ”partai suara kecil” tetap eksis dan berani berseberangan dengan kekuatan DPRD manakala program dan kegiatan selalu berorientasi pada masalah kemaslahatan rakyat. 

Misalnya Gubernur Jokowi, yang hanya didukung oleh duet PDI Perjuangan dan Partai Gerindra dengan 17 anggota dari 96 anggota DPRD DKI berani berhadap-hadapan dengan DPR soal Kartu Jakarta Sehat, Penataan Pedagang Kaki Lima Tanah Abang, Waduk Pluit dll. Ketiga, kembali saja ke UU Pilpres yang lama, tanpa perlu melakukan revisi atas UU Pilpres telah ada. Langkah ini tentunya ”walau sudah terlambat”, namun harus diapresiasi karena sebagian besar melakukan penolakan atas ide revisi UU Pilpres tersebut.

Pada sudut pandang yang lain beberapa dorongan tidak perlunya melakukan revisi UU Pilpres, antara lain: Pertama, tanpa adanya revisi UU Pilpres maka akan tetap berlaku UU No 42 Tahun 2008, sehingga berdampak hanya ada sedikit pasangan capres-cawapres yang ikut pilpres 2014. Seperti penulis utarakan di atas, bila PT adalah 20% maka pilpres 2014 hanya akan diikuti oleh 3 atau 4 pasangan dan tidak memunculkan calon-calon alternatif pilihan ”masyarakat” dan hanya terpasung oleh capres pilihan partaipartai besar. 

Misalnya pasangan capres Wiranto-Hary Tanoesoedibjo dari Partai Hanura dan capres Mahfud MD—mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang cukup banyak diharapkan oleh masyarakat menjadi kandidat presiden 2014 sangat sulit bisa ”nyalon” karena partai-partai besar telah jauh-jauh menimang-nimang calon presiden yang berasal dari partainya sendiri. 

Kedua, tanpa ambang batas yang cukup tinggi pada pencalonan presiden dan wakil presiden, maka ada kecenderungan koalisi dengan politik dagang sapi meningkat, tanpa ada pembatasan ambang batas yang cukup tinggi maka parpol-parpol kecil dapat dengan mudah melakukan politik dagang sapi ”jual-beli suara” untuk menentukan siapa pasangan capres dan cawapres yang diajukan. Partai politik kecil memiliki kartu truf untuk dapat menentukan pasangan capres-cawapresnya. 

Ketiga, dampak dari dihapuskannya PT atau penggunaan pembatasan ambang batas yang kecil (misalnya 3,5 seperti dalam parliamentary threshold) maka berakibat pada sistem presidensial tidak kuat karena penyanderaan presiden dan loyalitas menteri berorientasi ke partai yang mengusungnya daripada ke Presiden. Keempat, tanpa ambang batas, maka banyak kepentingan dan kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen sehingga melahirkan ”presiden minoritas”, seperti Presiden Abdurrahman Wahid (1999–2001), dan Presiden Megawati (2001– 2004), lalu SBY pada periode (2004–2009) Mengakhiri tulisan ini, sebenarnya dalam hati masyarakat hanya ingin mengetahui segera adanya ketegasan dan kepastian anggota DPR apakah direvisi atau tidak atas UU Pilpres. 

Hal ini penting mengingat presidential threshold ini merupakan alat menentukan sebagai rule of game dalam pemilihan capres dan cawapres di tahun depan. Selain itu, ”kepastian revisi atau tidak (revision or no) dapat menentukan tahapan pilpres oleh KPU di mana KPU telah menjadwalkan pilpres pada bulan Juli 2014 atau dua bulan setelah pemilu legislatif berlangsung. Jika kepastian menyangkut PT dan aturan lainnya belum ditetapkan maka dapat dipastikan kapan tahapan, persiapan, dan penganggaran serta pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dapat dilaksanakan pada Juli 2014.

 Ketidakpastian ini juga menambah deretan panjang bukti bahwa parpol bukannya sibuk mencari solusi minimnya kepemimpinan nasional dalam konteks yang lebih krusial, namun yang dipertontonkan adalah upaya saling jegal antar parpol yang berakibat capres alternatif pilihan rakyat akan bernasib sial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar