Selasa, 29 Oktober 2013

Anatomi Fraud Perbankan

Anatomi Fraud Perbankan
Susidarto Hartosumaryo   Praktisi Perbankan dan Aktivis Antikorupsi di Jogjakarta
JAWA POS, 29 Oktober 2013


INTERNAL fraud kembali menerpa jagat perbankan Indonesia. Kasus yang dialami Bank Syariah Mandiri (BSM) Kantor Cabang Bogor diberitakan banyak media massa. Potensi kerugian negara hampir Rp 59 miliar (dari total nominal fraud Rp 102 miliar). Pelakunya orang dalam.

Setidaknya, ada pihak yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Perhitungan kerugian masih terus dilakukan atas kejadian kredit fiktif yang melibatkan tidak kurang dari 197 debitor BSM itu. Fenomena tersebut sebenarnya merupakan masalah klasik banyak perbankan di tanah air.

Fraud berdasar Surat Edaran BI No 13/28/DNDP tanggal 9 Desember 2011 memiliki pengertian yang cukup panjang. Yakni, tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank, nasabah, atau pihak lain yang terjadi di lingkungan bank dan/atau menggunakan sarana bank sehingga mengakibatkan bank, nasabah, atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku fraud memperoleh keuntungan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Fraud internal dalam bentuk kredit fiktif tersebut sebenarnya sulit terjadi di sebuah kantor cabang bila semua proses dual custody (dual control) terlaksana dengan baik. Artinya, kita disiplin dalam menjalankan standard operating procedure (SOP). 

Bisa dibayangkan, proses sebuah kredit sangatlah panjang, mulai inisiasi awal, analisis kredit, persetujuan kredit, akad kredit, pembukuan kredit, dan monitoring kredit yang melibatkan banyak unit kerja mulai unit pembukaan rekening, account officer, team leader kredit, komite kredit cabang (lebih dari dua orang), administrasi kredit, legal, notaris (PPAT), appraisal independen (atau internal), serta internal control unit (ICU). 

Nah, kalau rangkaian panjang proses sebuah kredit itu bisa terlampaui dengan mulus, dalam arti kredit fiktif bisa lolos dan jumlahnya sangat fantastis mencapai 100 debitor, berarti ada yang salah dalam proses pengambilan keputusan kredit. Atau, ada banyak pelanggaran SOP oleh karyawan bank, dalam hal ini karyawan BSM. Tentunya, tidak sekadar dilakukan segelintir karyawan unit bisnis yang secara langsung menangani proses kredit di lapangan. Disebut fiktif karena mulai KTP, izin usaha, kebenaran debitor, appraisal, approval kredit, pengikatan kredit (proses legal), pencairan kredit, dan proses lainnya dilakukan secara fiktif. 

Atau, kalaupun terjadi, berarti ada begitu banyak pihak (banyak unit kerja) yang terlibat atas terjadinya internal fraud. Mabes Polri hendaknya bisa melibatkan saksi ahli, yang bisa melihat persoalan semacam kredit fiktif itu secara proporsional, sehingga semua pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan dengan baik.

Di sinilah perlunya risk awareness (waspada risiko) didengungkan lagi untuk menyadarkan para awak perbankan. Langkah tersebut biasanya dikenal sebagai gerakan antifraud perbankan. Beberapa hal di bawah ini bisa dilakukan.

Pertama, menerapkan know your employee (KYE). Prinsip mengenal karyawan dengan baik harus dijalankan terus-menerus sepanjang karir karyawan, tidak hanya saat rekrutmen masuk ke bank. Rekam jejak karyawan harus jelas, baik catatan kriminal, black list BI, karyawan tercela, teroris, atau konfirmasi ke perusahaan sebelumnya. Rotasi karyawan perlu terus dilakukan, menghindari rangkap jabatan, pelatihan yang kontinu, dan sejenisnya. Di sini termasuk mengenal rekan kerja dan bawahan. Misalnya, prestasi kerjanya diperoleh dengan benar tanpa penyimpangan serta gaya hidupnya tidak berubah drastis dalam tempo singkat.

Kedua, know your customer (KYC). Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah verifikasi atas validitas dokumen pembukaan rekening disertai proses face-to-face dengan petugas dan pejabat bank. Kenali kebiasaan nasabah mulai pembukaan rekening hingga kebiasaan transaksinya kalau ada yang menyimpang dari profil dan kebiasaan transaksi, monitoring transaksi nasabah terkait dengan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta secara disiplin dan rutin memperbarui (update) data nasabah.

Ketiga, menciptakan employee awareness sebagai ''pagar'' bagi karyawan untuk tidak memilih jalan fraud. Katakan tidak pada fraud. Hal itu ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiagaan karyawan bank terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ketentuan serta peraturan bank melalui pelatihan dan sosialisasi secara berkala. Di sini termasuk langkah tidak menoleransi tindakan fraud dan berkomitmen untuk mengembangkan budaya antifraud dengan statemen ''zero tolerance to fraud''. Termasuk, memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku fraud untuk memberikan efek jera bagi karyawan lainnya.

Itulah serangkaian gerakan antifraud yang harus terus-menerus dilakukan segenap jajaran awak perbankan, mulai manajemen puncak (termasuk komisaris) hingga level kantor cabang bank tempat kasus fraud banyak muncul. Kalau serangkaian langkah itu sudah dilakukan, niscaya ruang gerak para pembobol bank akan terbatasi sehingga niat jahat mereka bisa tereduksi. Kalaupun kemauan untuk melakukan fraud masih ada, mereka tetap akan dibatasi kesempatan yang tidak pernah ada. 

Ingat, lebih dari 90 persen kejahatan perbankan senantiasa melibatkan peran orang dalam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar