Senin, 28 Oktober 2013

APBD dan Manajemen Sarung

APBD dan Manajemen Sarung
Husnun N Djuraid  Jurnalis Malang Post (Jawa Pos Group),
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 25 Oktober 2013


MASYARAKAT kerap bertanya, mengapa proyek pembangunan fasilitas umum seperti perbaikan jalan, saluran air, trotoar, dan sebagainya dilakukan pada musim penghujan. Pembangunan itu sendiri sudah mengganggu aktivitas masyarakat. Apalagi kalau dilakukan pada musim hujan, kondisinya akan semakin mengganggu. Jalan menjadi macet, becek, dan licin, menyebabkan banyak orang celaka. Kenapa proyek tersebut tidak dimulai pada waktu tidak banyak hujan seperti akhir tahun. 

Pertanyaan itulah yang sampai sekarang belum menemukan jawaban yang memuaskan. Berita soal proyek musim hujan yang mengganggu kenyamanan masyarakat sekaligus mencelakakan sudah sering dimuat media. Tapi, belum banyak media yang memuat, mengapa proyek fasilitas umum itu dilaksanakan pada musim hujan. Bukankah tahun anggaran itu dimulai pada Januari. Kalau harus menunggu pencairan dana dan sebagainya butuh waktu, paling tidak sebulan atau dua bulan berikutnya proyek sudah bisa dimulai. 

Tapi, kondisinya tidak begitu. Banyak proyek yang justru dikerjakan setelah pertengahan tahun. Ada yang beralasan bahwa administrasi proyek yang didanai pemerintah pusat rumit dan butuh waktu lama. Ternyata, bukan hanya proyek pusat, proyek yang didanai APBD pun mengalami hal sama. Masyarakat tidak hanya bertanya kepada pemerintah, tapi juga kepada media, kenapa behind the news proyek musim hujan itu tidak diungkap. 

Sebagai konsumen, masyarakat tentu berhak mendapatkan informasi yang lengkap tentang sebuah kasus. Kalau bicara tentang proyek, tidak bisa dilepaskan dari anggaran. Kalau proyeknya bermasalah, coba dilihat bagaimana anggarannya, tentu bermasalah juga. Seharusnya banyak jurnalis yang tergelitik dengan fakta ini, APBD sudah diputuskan pada Januari, tapi mengapa proyek baru dimulai Agustus. Tapi, itulah faktanya. Banyak jurnalis yang lebih suka berita instan yang tidak harus bersusah payah membuka bukup APBD yang bisa mencapai setengah meter. Karena itulah, asyik juga mengikuti kegiatan lokakarya "membaca cepat APBD" yang digelar Australia-Indonesia Partnership of Decentralisation (AIPD) bekerja sama dengan JPIP untuk Kabupaten Malang sejak Kamis (24/10) hingga hari ini. 

Bila dicermati, semua proyek itu sebenarnya sudah tercantum dalam APBD, mulai jadwal pelaksanaan sampai anggaran yang dibutuhkan. APBD bukan dokumen rahasia yang harus disembunyikan dari publik. 

Terbesar untuk "Amil" 

APBD merupakan acuan untuk membiayai kegiatan pemerintahan di daerah yang semuanya bersumber dari rakyat. Semua komponen pemasukan dalam APBD berasal dari kontribusi rakyat, misalnya retribusi atau pajak yang kini komposisinya lebih dari 70 persen dari anggaran negara. Kalau rakyat sudah memenuhi kewajibannya, tentu hak mereka juga harus dipenuhi melalui belanja atau pengeluaran pemerintah. Semua pengeluaran harus ditujukan untuk kepentingan rakyat agar APBD benar-benar menjadi rahmat. 

APBD diperuntukkan bagi anggaran rutin dan pembangunan dengan komposisi yang tidak seimbang. Hampir semua APBD menempatkan anggaran rutin - salah satunya untuk gaji pegawai - lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Persentasenya bergantung daerah masing-masing. Di Kabupaten Malang, misalnya, 70 persen APBD digunakan untuk kegiatan rutin, sedangkan untuk kepentingan rakyat hanya 30 persen. Pengelolaan APBD itu ibarat orang memakai sarung. Kalau diturunkan, perutnya kelihatan, sebaliknya kalau dinaikkan, kakinya akan kelihatan. 

Kalau anggaran rutin dinaikkan, anggaran pembangunan akan turun, begitu juga sebaliknya. Tapi, kalau melihat asal usul APBD yang berasal dari rakyat, pembagian itu tidak adil. Seharusnya porsi untuk rakyat lebih besar daripada alokasi untuk membayar pegawai. Kenaikan anggaran untuk rakyat harus dilakukan dengan kosekuensi menurunkan anggaran belanja rutin. 

Sebenarnya belanja rutin tidak harus memakan porsi yang sangat besar dari APBD kalau pengelolaannya tidak korup. Misalnya, seorang pegawai selain mendapat gaji tetap plus tunjangan masih mendapat aneka honor untuk pekerjaan yang ditangani. Tentu tidak perlu lagi honor khusus karena mereka sudah mendapat gaji dan tunjangan. 

Kalau pemborosan itu bisa ditekan, manajemen sarung dengan menaikkan anggaran untuk rakyat bisa dilakukan tanpa harus mengurangi hak para pegawai. Rakyat dan pegawai sama-sama sejahtera. Model pengelolaan seperti itu terjadi karena pengelolaan anggaran mengacu pada prosedur. Selain prosedur, ada pertimbangan politik/kebijakan, filosofi, dan moral yang menempati posisi tertinggi. 

Kalau pertimbangan itu dipakai, sungguh tidak bermoral pihak yang memanfaatkan APBD lebih banyak daripada rakyat yang merupakan penyumbang utama. Sebenarnya pengelolaan APBD bisa mencontoh pengelolaan zakat di masjid yang terbuka, setiap Jumat diumumkan baik lisan maupun tertulis sehingga masyarakat bisa mengetahui. Pengelola atau amil zakat mendapatkan bagian 1/8 dari zakat yang diterima, selebihnya digunakan untuk penerima zakat yang berhak. 

Bandingkan dengan APBD, yang menurut istilah Ismail Amir, instruktur dari Fitra, "amilnya" bisa mendapat 70 persen, sedangkan sisanya untuk rakyat. Itu pun yang diterima tidak bulat 30 persen karena masih ada potongan lain. Ayo berubah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar