Rabu, 30 Oktober 2013

Apolitisasi Kaum Muda

Apolitisasi Kaum Muda
Umbu TW Pariangu   Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2013

HARI Sumpah Pemuda yang dirayakan setiap 28 Oktober merupakan momentum emas yang menandai spirit terbangunnya kesadaran magis keindonesiaan. Sebuah kesadaran penanda lipatan sejarah kelam yang membakar semangat pikiran kaum muda saat itu untuk melawan eksploitasi, penindasan atas kebebasan, keadilan, dan tumpukan warisan biologis dan keunikan ras yang membatasi pikiran progresif dan lahirnya elite-elite urban juga terdidik di Nusantara.

Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928, menjadi suluh historis berkobarnya cita-cita kepemimpinan kaum muda sebagai agen sejarah (the historic people) yang dicetuskan Soegondo Djojopuspito, 24, Mr Sunario, 25, dan Muhammad Yamin, 25, yang mengusung simbol bahasa-­Melayu--sebagai dasar perjuangan kolektif. Di forum ini pula nama `Indonesia' diperkenalkan setelah di 1913, Suwardi Suryaningrat memakai `Indonesia' ketika mendirikan Biro Pers Indonesia di Belanda.

Simbol bahasa tidak saja menunjukkan perjuangan artikulatif untuk menggusur fatalisme (pasrah pada keadaan), inferioritas pribumi oleh tekanan primordialisme agama, etnik, dan feodalisme yang merestriksi cakrawala berpikir masyarakat (Sutherland, 1983), tetapi juga roh kata-kata yang membangkitkan fantasi spiritual untuk membumikan eksistensi kebangsaan dalam pengakuan kolektif: tumpah darah satu, bangsa satu, dan bahasa persatuan, yang kemudian menjadi lahan persemaian tumbuhnya identitas kolektif bernama `Indonesia Merdeka'.

Terbentur

Kini, 85 tahun nyala api Sumpah Pemuda menerangi politik revolusioner yang mengantar ke era Reformasi. Ada sebaris harapan bahwa semangat perubahan yang berduyunduyun dalam pikiran segenap rakyat terus meniti gelombang sejarah di tengah perubahan sosial-politik yang berjalan dengan cepatnya.

Namun, harapan itu kini se perti membentur batu karang. Eksistensi kaum muda sebagai pelopor p kekritisan dan pembuk jalan bagi rekonstruksi diskan kursus panjang keindonesiaan yang kuat di bawah sendi-sendi demokrasi seolah tenggelam oleh hiruk pikuk kekuasaan yang pragmatis dan liar. Politik menjadi kaca bening yang cocok untuk mengukur sepak terjang kaum muda kita yang dari hari ke hari kian apolitis. Para aktivis muda pasca-1998 yang mencoba mewarnai politik parlemen--dari pusat sampai daerah--maupun eksekutif untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan HAM tampaknya tak mampu berbuat apa-apa.

Mereka justru terpapar radiasi pemikiran politik konvensional kaum elite tua yang lebih dahulu bermimikri dari kelompok status quo menjadi kelompok reformis dan membangun jaringan kekuasaan dalam skala padat modal dan politik tertutup. Model politik tertutup itu diperlihatkan dalam struktur kekuasaan partai politik yang tidak pernah serius melakukan edukasi dan kaderisasi. Sistem rekrutmentasi dan model seleksi politik partai dengan sistem suara terbanyak dalam pemilu membuat kaum muda kesulitan memobilisasi ide-idenya karena miskin modal dan kemampuan komunikasi politik dengan rakyat.

Kalaupun ada yang berhasil lolos dalam parlemen maupun eksekutif, lebih karena dukungan klientalisme dan kesanggupan menempuh jalan pintas (penguasaan modal dan ketenaran) yang mengabaikan kemampuan imajinasi, visi, gagasan konstruktif, dan peng alaman menggalang dukungan sosial untuk mengusung agenda perubahan. Akibatnya, kehadirannya di struktur kekuasaan menjadi antiklimaks, di satu sisi terbawa arus pragmatisme, di sisi lain menjadi boneka politik dari bosisme kekuasaan.

Pada 2011, Lingkaran Survei Indonesia pernah membuat survei tentang kiprah politisi muda sebagai anggota DPR, DPRD, DPD, menteri, dan lembaga politik lain. Ketika ditanya tentang kualitas dari pemimpin politik atau elite politik yang berusia muda tersebut, hanya 24,8% publik yang menyatakan kiprah politisi muda saat ini baik/sangat baik.

Bahkan responden yang mendiami daerah perkotaan lebih kecewa lagi dengan kinerja politisi muda. Yang menjawab kinerja politisi muda lebih baik daripada politisi tua untuk responden di desa 26,5% dan di kota 21,2%, Laki 22,7%, Perempuan 26,8%, sedangkan terpelajar 19,7%, dan SMU, SMP, SD 25,3%. Publik yang menjawab kinerja politisi muda lebih baik daripada politisi senior hanya 15,4%, sedangkan yang menjawab politisi senior lebih baik daripada politisi muda 23,8%. Sebanyak 37,6% menjawab sama saja.

Seretnya performa politisi/ pejabat muda antara lain karena maraknya berita korupsi yang menerpa, serta tingginya ekspektasi publik terhadap politisi muda sebagai agen dan simbol perubahan. Hasil survei di atas tentu masih relevan untuk mengukur kecenderungan kinerja politisi muda saat ini.

Inferioritas

Karena itu, tak mengherankan jika kegagalan kaum muda mewariskan peluang dan perubahan menjadi kontribusi utama bagi Benedict Anderson untuk menyebut masyarakat kita sebagai old state, new society di mana negara tetap memelihara karakter dasarnya meskipun masyarakat terus berkembang. Bahkan gambaran kaum muda zaman pergerakan tempo doeloe oleh R Mrazek yang mengatakan, “...apakah anak muda akan mengikuti perjuangan kaum nasionalis atau meniru ayah dalam kegiatan rutin mereka yang membosankan, dengan patuh dan senang hati melaksanakan perintah dari atas, meninggalkan hasrat, memperjuangkan cita-cita apa pun, dan hanya memikirkan karier...“ (Mrazek, 1996:112), justru makin terlihat jelas saat ini.

Mereka tampak lemah dan tak berani untuk mendinamisasi pemikiran independen dan kritis yang melawan arus pemikiran seniornya di kamar-kamar pengambilan keputusan. Inferioritas pendirian ini bukan saja karena kelemahan pengalaman, skill, basis dukungan politis, tetapi juga ketidakmampuan kaum muda membangun kaukus politik perubahan lintas faksi sebagai haluan dasar melawan wacana mainstream kekuasaan yang ada (Fakih, 2004). Tak mengherankan jika politisi muda mudah kehilangan identitas dan orientasi dan akhirnya gampang terjeru mus dalam mentalitas konsumtif dan banalitas korupsi.

Hal itu akan semakin memperbesar lingkaran apatisme politik terutama kaum muda terhadap politik. Apolitisasi ini sangat merugikan bagi proses pematangan demokrasi karena ketika politisi bertalenta cemerlang lebih suka memilih karier profesional, maka ruang politik akhirnya diisi oleh politisi junk food, bertalenta buangan, dengan segala warisan kedangkalan politik yang mengontaminasi prinsip-prinsip demokrasi. Padahal dalam dunia politik inilah desain nasib bangsa dipertaruhkan.


Karenanya komponen masyarakat kritis memerlukan spiritualitas baru untuk mendorong kader-kader pemimpin muda berkualitas untuk bergabung dalam politik. Partai politik harus didesak untuk mentransendensi kesempatan ini lewat penciptaan ramuan sistem rekrutmentasi politik afirmatif yang mementingkan kaderisasi dan meritokrasi, termasuk menekan partai membuka pintu seluas-luasnya bagi capres-capres muda untuk berkontestasi dalam Pilpres 2014. Akan tetapi, yang terpenting dari sekadar usia, negara ini sejatinya memerlukan kader pemimpin bermental kejiwaan muda yang berani mengambil risiko dan mau memberikan badannya untuk menyelamatkan kepentingan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar