Senin, 28 Oktober 2013

DPT Pemilu 2014 : Antara Persepsi dan Kenyataan

DPT Pemilu 2014 : Antara Persepsi dan Kenyataan
Ramlan Surbakti   Wakil Ketua KPU 2001-2007
MEDIA INDONESIA, 28 Oktober 2013


DAFTAR pemilih tetap (DPT) bukan sekadar masalah teknis untuk menentukan pengadaan logistik pemilihan umum, melainkan merupakan isu persamaan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Setidak-tidaknya terdapat tiga pasal dalam UUD 1945 yang menjadi rujukan dalam penyusunan DPT. 

Pertama, Pasal 22E ayat (1) yang mengatur asasasas pemilihan umum, khususnya asas umum dan asas adil. Berdasarkan asas umum (universal suffrage), setiap warga negara, apa pun latar belakang suku bangsa, ras, agama, jenis kelamin, di manapun domisilinya, jenis, serta tingkat kesehatan jasmani dan mentalnya, jenis cacat tubuh (difabel), tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, jenis pekerjaan, bahkan jenis dan lama hukuman yang harus dijalani di lembaga pemasyarakatan, berhak didaftar sebagai pemilih. Asas adil menjamin perlakuan yang sama dan setara setiap warga negara yang berhak memilih.

Kedua, Pasal 27 ayat (1) yang pada dasarnya menjamin kesetaraan kedudukan antarwarga negara dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga, Pasal 28D ayat (1) yang pada dasarnya menjamin hak setiap warga negara atas pengakuan, kepastian hukum yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketiga pasal tersebut tidak hanya menjamin kesetaraan perwakilan (equal representation) antarwarga negara yang telah berhak memilih, tetapi juga menegaskan prinsip `satu orang, satu suara, dan setara' (one person, one vote, one value/OPOVOV).

DPT demokratis

Berdasarkan ketiga pasal itu, dapatlah dirumuskan tiga indikator DPT yang demokratis. Pertama, derajat cakupan merujuk pada jumlah warga negara berhak memilih yang telah terdaftar dalam DPT. Berdasarkan prinsip kesetaraan kedudukan warga negara tersebut, seharusnya seluruh warga negara yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih. Akan tetapi, prestasi tertinggi dalam derajat cakupan pemilih yang dicapai negara demokrasi berkisar 95%-97% (seperti Australia).

Kedua, derajat kemutakhiran daftar pemilih. Apakah DPT berhasil disesuaikan dengan perkembangan data identitas warga negara, seperti kematian, perubahan umur, domisili, status perkawinan, bahkan status pekerjaan. DPT yang mutakhir berarti seluruh warga negara yang pada hari pemungutan suara akan berhak memilih termasuk dalam DPT dan warga negara yang tidak lagi berhak memilih dikeluarkan dari DPT. Prestasi tertinggi dalam derajat kemutakhiran daftar pemilih yang dicapai berkisar 90%-95%.

Ketiga, derajat akurasi daftar pemilih. Apakah pencatatan semua identitas pemilih, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, dan nomor induk kependudukan, dilakukan secara benar (sesuai dengan kenyataan) dan akurat. Prestasi tertinggi dalam derajat akurasi daftar pemilih yang dicapai berkisar 90%-95%. DPT yang berakurasi tinggi menjamin pemilih yang berhak saja yang terdaftar dalam DPT, dan mencegah pemilih ganda dalam DPT. Apakah DPT Pemilu Legislatif 2014 sudah mencapai derajat tertinggi yang pernah dicapai negara tersebut?

Antara persepsi dan kenyataan

Penilaian berbagai pihak tentang DPT Pemilu 2014, sebagaimana diberitakan/ disiarkan oleh berbagai media, sungguh menyeramkan, seperti DPT karut-marut karena KPU tidak serius melaksanakan tugas, masih ada 20 juta lebih pemilih belum terdaftar, DPT menjadi ancaman bagi Pemilu 2014, banyak orang yang sudah meninggal masih tercatat sebagai pemilih dalam DPT, banyak pemilih ganda dalam DPT Pemilu 2014, dan Mendagri Gamawan Fauzi agar mengundurkan diri karena menjadi penyebab DPT amburadul. Sebagian besar pihak juga semata-mata menyalahkan KPU dan tidak ada yang menyalahkan unsur masyarakat, seperti partai politik yang menerima salinan DPS pada tingkat kecamatan. Apakah penilaian ataupun persepsi tersebut sesuai dengan kuantitas dan kualitas DPT Pemilu Legislatif 2014 yang dipersiapkan KPU?

Berapa persen derajat cakupan pemilih yang berhasil dicapai KPU beserta seluruh jajarannya di daerah? Berapa pemilih dari seluruh penduduk yang menjadi warga negara suatu negara? Tidak ada rumusan yang pasti mengenai hal itu, kecuali semacam konvensi, yaitu jumlah pemilih mencapai sebanyak 70% dari seluruh warga negara kalau suatu negara mengadopsi umur pemilih 18 tahun atau lebih. Jumlah pemilih dari seluruh penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 75% karena persyaratan umur pemilih di Indonesia lebih rendah daripada sebagian besar negara demokrasi di dunia.

Pertama, telah berumur 17 tahun atau lebih pada hari pemungutan suara. Kedua, belum berumur 17 tahun, tetapi sudah kawin atau pernah kawin. Tingkat pernikahan dini, baik yang masih sesuai dengan UU Perkawinan, yaitu berumur 16 tahun untuk perempuan-sepanjang mendapat izin orang tua maupun yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan, yaitu di bawah umur 16 tahu tetapi sudah mengalami menstruasi-di daerah perdesaan masih cukup tinggi. Di samping itu, struktur umur penduduk Indonesia ialah berusia muda (umur 17 sampai dengan 30 tahun mencapai sekitar 60 juta). Bahkan warga negara yang ‘hilang ingatan’ pun berhak memilih.

Kalau jumlah warga negara Indonesia yang berhak memilih pada 9 April 2014 mencapai 250 juta, jumlah pemilih yang seharusnya terdaftar dalam DPT diperkirakan sebesar 187.500.000. Data pemilih terdaftar yang telah direkapitulasi, tetapi ditunda pengumumannya oleh KPU berdasarkan rekomendasi Bawaslu, terungkap jumlah berikut. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT mencapai 186.842.553 orang. Jumlah itu belum termasuk daftar pemilih Kabupaten Nduga, Papua. Dengan demikian, terdapat sebanyak 657.447 (187.500.000 dikurangi 186.842.553) pemilih belum masuk DPT, termasuk pemilih dari Kabupaten Nduga. Mereka yang belum terdaftar tidak hanya berdomisili di dalam negeri, tetapi juga yang tinggal di luar negeri.

Kalau kemutakhiran dan akurasi masih menjadi persoalan, jumlah warga yang belum terdaftar mungkin lebih besar daripada 657.667 orang. Migrant Care melaporkan sekitar 6 juta pemilih Indonesia berdomisili di luar negeri, tetapi data itu dinamis (berubah setiap saat) sehingga sukar dipegang sebagai data yang valid. Namun, kenyataan yang tidak dapat dibantah ialah pekerja Indonesia yang kebanyakan di Malaysia dan Timur Tengah tidak terdata secara akurat oleh KBRI. Walaupun demikian, dari derajat cakupan pemilih, sudah dapat disimpulkan bahwa: (a) DPT Pemilu 2014 sekurangkurangnya sama dengan DPT Pemilu 2004 yang mencapai 93%-95% (DPT Aceh pada 2003 berdasarkan audit LP3ES mencapai 92%); dan (b) DPT Pemilu 2014 jauh lebih tinggi daripada DPT Pemilu 2009 yang hanya mencapai sekitar 85%.

Pengumuman data hasil rekapitulasi DPT diundur selama dua minggu untuk memberikan kesempatan kepada KPU memperbaiki DPT tersebut. Yang perlu diperbaiki menurut Bawaslu dan wakil partai politik ialah ketidaksesuaian data yang ditetapkan daerah dengan data Sidalih KPU, akurasi identitas pemilih karena sebanyak 432.308 data tanpa tanggal lahir, 99.513 tanpa status kawin, NIK yang tidak valid, memiliki e-KTP tetapi tidak masuk DPT, NIK seseorang terdapat dalam DPT tetapi atas nama orang lain, pemilih yang sudah meninggal masih tercatat sebagai pemilih, dan warga negara berhak memilih baik yang berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri belum terdaftar. Berdasarkan data tersebut dapat pula disimpulkan bahwa derajat akurasi DPT Pemilu 2014 setidak-tidaknya sudah mencapai 90%, yang berarti jauh lebih tinggi daripada derajat akurasi DPT Pemilu 2009 yang hanya mencapai sekitar 85%.

Kelemahan DPT sebagaimana yang disampaikan tadi dapat diketahui Bawaslu, wakil partai politik, dan warga masyarakat umum lainnya karena KPU menerapkan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) yang dapat diakses siapa saja secara daring (online). Sidalih mengandung data identitas setiap pemilih dalam 16 digit sehingga dapat dideteksi unsur identitas yang kosong atau tidak valid. Pengolahan data pemilih pun secara sentral sehingga dapat mendeteksi kemungkinan pemilih ganda antarprovinsi, antarkabupaten/kota, antar-kecamatan, dan antardesa/kelurahan. Data seperti ini sama sekali tidak dapat dideteksi pada Pemilu 2009. Singkat kata, kelemahan akurasi DPT Pemilu 2014 dapat dideteksi oleh publik justru karena Sidalih yang diadopsi KPU.

Sepanjang Bawaslu, partai politik, dan pemilih pada umumnya mampu memberikan data konkret (identitas pemilih yang dinilai bermasalah, dan identitas pemilih yang belum terdaftar) kepada KPU, sebagian besar persoalan ini dapat diselesaikan oleh KPU. Karena itu, berdasarkan uraian yang telah disebutkan, dapat disimpulkan betapa kuantitas dan kualitas DPT Pemilu 2014 jauh lebih baik daripada penilaian atau persepsi masyarakat.

Permasalahan DPT Pemilu 2014

Permasalahan DPT Pemilu Legislatif 2014 muncul setidaktidaknya karena tiga faktor. Pertama, kelemahan KPU menggerakkan seluruh panitia pendaftar pemilih (pantarlih) di setiap desa/kelurahan untuk mencocokkan antara draf DPS dan data penduduk dengan mendatangi setiap rumah di RT/RW atau nama lain di desa/kelurahannya. Kalau DPS yang diumumkan itu sudah merupakan hasil pencocokan dan penelitian dengan data pemilih di setiap rumah tangga, jumlah persoalan dalam ketiga indikator itu niscaya akan bisa dikurangi semaksimal mungkin. Karena hanya berhasil menggerakkan sebagian pantarlih, persoalan cakupan, kemutakhiran, dan akurasi pemilih muncul di KPU.

Faktor kedua berkaitan dengan ketidaksiapan sejumlah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Ketidaksiapan itu terungkap pada empat hal. Pertama, tidak semua KPU kabupaten/kota memiliki sarana teknologi informasi untuk mampu mengolah data pemilih (misal nya perangkat lunak komputer yang dimiliki sejumlah daerah hanya mampu menampung data identitas sebanyak 15 digit, sedangkan data pemilih yang harus dientri dan diolah mencapai 16 digit). Kedua, sejumlah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tidak memiliki tenaga terlatih untuk menggunakan teknologi informasi guna mengolah data pemilih. Hal yang ketiga berkaitan dengan motivasi anggota sejumlah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang rendah untuk melaksanakan proses pemutakhiran daftar pemilih karena masa jabatannya akan segera berakhir (kurang dari setahun sebelum Pemilu 2014). Hal yang keempat berkaitan dengan tugas sebagian KPU provinsi dan KPU kabupaten/ Kota menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah pada saat bersamaan dengan tahap pemutakhiran daftar pemilih sehingga tidak dapat fokus pada tugas penting ini.

Faktor penyebab ketiga ialah partisipasi masyarakat yang amat sangat rendah, baik dalam mengecek namanya atau anggota keluarganya dalam DPS maupun dalam mengajak sesama pemilih lain untuk mengecek namanya dalam DPS. Tingkat partisipasi yang rendah ini sebagian karena ketidaktahuan publik perihal kapan, di mana, dan bagaimana proses pengecekan DPS tersebut. Sosialisasi tentang DPS yang dilakukan KPU beserta seluruh jajarannya di daerah tampaknya kurang efektif. Akan tetapi, unsur masyarakat yang seharusnya berperan aktif dalam proses pemutakhiran daftar pemilih ialah partai politik, tidak hanya karena semua partai politik peserta pemilu berkepentingan terhadap pemilih, tetapi juga karena semua partai politik peserta pemilu mengetahui secara lengkap dan akurat proses pemutakhiran daftar pemilih (KPU secara rutin berkonsultasi dengan Komisi II DPR, dan semua partai politik peserta pemilu menerima salinan DPS).

Berdasarkan data DPS tersebut, para pengurus dan kader partai politik pada tingkat akar rumput seharusnya mengingatkan dan mendorong anggota dan simpatisan partai pada khususnya serta pemilih yang belum terdaftar pada umumnya untuk memastikan nama dan anggota keluarga mereka telah masuk DPT. Hanya satu partai (PKS) yang mengapresiasi hasil kerja KPU karena mendayagunakan data yang diberikan KPU. Selebihnya lebih memilih mengkritik KPU tanpa data konkret.

Sepanjang Bawaslu, wakil partai, dan pemilih pada umumnya mampu memberikan data konkret (identitas pemilih yang dinilai bermasalah) kepada KPU, semua persoalan ini dapat diselesaikan oleh KPU.

Kalau dalam dua minggu ini KPU belum dapat menyelesaikan persoalan DPT secara tuntas, masih terdapat dua kesempatan lagi bagi pemilih yang belum terdaftar untuk dapat menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014. Pertama, KPU provinsi akan mendaftar pemilih yang tidak memiliki KTP atau paspor, tetapi memiliki surat keterangan yang menunjukkan identitasnya sebagai warga negara yang berhak memilih (inilah yang disebut daftar pemilih khusus dalam Pasal 40 ayat 5 UU Nomor 8 Tahun 2012).


Kedua, warga negara Indonesia berhak memilih yang belum terdaftar di DPT dapat menggunakan hak pilihnya pada 9 April 2014 pada pukul 12.00-13.00 apabila mampu menunjukkan KTP atau paspor (Pasal 150 UU Nomor 8 Tahun 2012). Daftar pemilih begitu penting sehingga sebaiknya KPU terus memutakhirkan DPT setidak-tidaknya sampai pada akhir tahun ini karena DPHP (yang jumlahnya sudah sesuai dengan persentase cakupan pemilih maksimal) sudah digunakan sebagai dasar penentuan logistik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar