Kamis, 31 Oktober 2013

Harapan bagi BPJS Kesehatan

Harapan bagi BPJS Kesehatan
Sulastomo   Ahli Asuransi Kesehatan
KOMPAS, 31 Oktober 2013

Presiden SBY, Senin (21/10/2013), meluncurkan ”Gerakan Sadar Memiliki Jaminan Kesehatan”. 
Sejumlah 140 direktur utama BUMN telah berkomitmen mengikutsertakan karyawannya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dengan demikian, ketika BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, pesertanya sudah akan mencapai lebih dari 100 juta. Menurut peta jalan BPJS Kesehatan, pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dengan gambaran seperti itu, momentum untuk mengimplementasikan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN ) akan terbuka lebar. Dimulai dengan penyelenggaraan program JKN pada 1 Januari 2014, secara bertahap seluruh penduduk Indonesia akan memperoleh jaminan sosial lainnya: jaminan kecelakaan kerja (JKK ), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan kematian (JKM). Upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial, dengan demikian akan semakin didekati.

Meskipun demikian, masih banyak pertanyaan: bagaimana semua itu dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya? Bagaimana cara memperoleh pelayanan kesehatan? Jenis pelayanan kesehatan apa saja yang akan diperoleh? Bagaimana pembiayaannya? Dapatkah berkelanjutan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang masih harus dijelaskan kepada masyarakat.

Konsep pengelolaan

Terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat, dibanyak negara—termasuk di negara-negara tetangga kita—sudah terlebih dahulu diselenggarakan. Indonesia memang agak terlambat. Namun, keterlambatan itu mungkin ada hikmahnya. Kita bisa belajar dari kekeliruan negara lain sehingga kelangsungan jaminan kesehatan yang akan kita selenggarakan lebih terjamin kelangsungan hidupnya: tidak tersendat-sendat, apalagi menimbulkan beban ekonomi yang berat dan akhirnya bangkrut.

Pelajaran itu, antara lain, introduksi konsep yang disebut managed healthcare dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Konsep ini memungkinkan kualitas pelayanan dan pembiayaan kesehatan dapat terselenggara seefisien mungkin, tidak boros, mencegah pemakaian yang berlebihan (over utilization) atau pemberian pelayanan kesehatan yang tidak perlu (unnecessary utilization), bahkan kemungkinan penyalahgunaan (abuse of care).

Untuk itu, perlu pemahaman, disiplin dan dukungan semua pihak terkait, baik peserta maupun pemberi pelayanan kesehatan: kalangan dokter dan rumah sakit. Begitu pentingnya introduksi managed healthcare itu, dalam UU No 20/2004 termaktub prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang perlu dilaksanakan.

Intinya, antara sistem pelayanan dan pembayaran diintegrasikan. Sistem pelayanan diselenggarakan secara berjenjang sehingga sesuai keahlian dan teknologi kedokteran yang diperlukan. Kebebasan peserta untuk memperoleh pelayanan kesehatan ditertibkan melalui konsep dokter keluarga dan rujukan. Pembayaran jasa pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan menghapus sistem fee for services yang telah kita kenal selama ini, dengan memperkenalkan pembayaran sistem kapitasi, paket, pradana, atau prospective payment system.

Demikian juga obat-obatan, yang selama ini merupakan porsi yang besar di dalam pembiayaan kesehatan, perlu dilakukan kontrol khasiat dan harganya. Diberlakukan semacam daftar standar dan plafon harga obat sehingga penggunaan obat rasional, tidak berlebih dan tidak kurang. Dengan konsep pengelolaan semacam ini pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai kebutuhan medik pasien, bukan keinginan perorangan. Dengan efisiensi seperti itu, biaya pelayanan kesehatan dapat terselenggara secara optimal, tidak boros sebagaimana dalam sistem fee for services yang ada selama ini.

Semua itu diselenggarakan di dalam mekanisme ekonomi pasar yang dewasa ini telah merebak, termasuk dalam industri kesehatan. BPJS Kesehatan nanti, dengan jumlah peserta yang demikian besar, secara ekonomi akan menguasai pasar pelayanan kesehatan sehingga posisi tawarnya meningkat. Wajar kalau BPJS memperoleh harga khusus, baik dari industri farmasi maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya, para dokter dan rumah sakit. BPJS, dengan demikian, akan memperoleh peluang besar untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, dalam jangkauan kemampuan ekonomi pesertanya.

Asuransi sosial

Pemahaman lain terkait pembiayaan kesehatan dalam BPJS adalah introduksi mekanisme asuransi sosial dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, premi atau iuran JKN tidak berdasar besarnya risiko sakit seseorang, sebagaimana asuransi kesehatan komersial. Sakit atau tidak sakit, peserta memberikan iuran/premi sebesar persentase gajinya, selain kelompok penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar oleh pemerintah atau kelompok nonformal. Bagi kelompok formal, iuran dibebankan kepada pekerja dan pemberi kerja, termasuk pemerintah sebagai pemberi kerja pegawai negeri sipil (PNS), sesuai proporsional gaji yang ditetapkan dalam peraturan yang akan diberlakukan.

Dengan mekanisme asuransi sosial, sifat kegotongroyongan lebih lengkap. Tak hanya yang sehat membantu yang sakit, juga antara yang muda dan tua, yang berisiko tinggi dan rendah, dan antara yang kaya dan miskin.

Dengan besarnya cakupan kepesertaan, sesuai prinsip asuransi, manfaat akan semakin besar. Sebaliknya, iuran/premi semakin mengecil. Semua akan memperoleh manfaat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medik, termasuk pelayanan canggih dan biaya tinggi, misalnya operasi jantung, cuci darah, dan kanker. Tetapi, sesuai prinsip asuransi, besaran iuran/premi secara nominal juga harus dapat diwujudkan dalam manfaat pelayanan nonmedik. Misalnya, pelayanan rumah sakit di kelas II, kelas I sebagaimana telah berjalan terhadap pelayanan yang diberikan kepada PNS/PP oleh PT (Persero) Askes Indonesia.

Dengan gambaran di atas, apabila berjalan sebagaimana diharapkan, akan terjadi perubahan besar dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan sebagai ”revolusi” di bidang penyelenggaraan pelayanan kesehatan.


Kualitas dan biaya kesehatan akan dapat terkontrol sehingga berbagai keluhan pelayanan kesehatan yang selama ini sering terdengar akan dapat ditekan serendah mungkin. Secara bertahap, wujud kesejahteraan yang berkeadilan sosial dapat didekati, setidaknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar