Rabu, 30 Oktober 2013

Ironi Bangsa Banyak Libur

Ironi Bangsa Banyak Libur
Toto Subandriyo   Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal
SUARA MERDEKA, 29 Oktober 2013


"Pemerintah mempertahankan cuti bersama meski kehidupan sektor pariwisata domestik telah kembali bergairah"

PENGUSAHA merasa dirugikan akibat banyaknya cuti bersama di Indonesia. Mereka khawatir kebijakan itu mengganggu kegiatan produksi industri dalam negeri, yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Harus ada upaya keras supaya dapat bersaing dari produk-produk impor. Apalagi ke depan, perdagangan akan sangat terbuka setelah ke berlangsungan Masyarakat Ekonomi ASEAN (SM, 14/10/13).

Keluhan seringnya jadwal cuti bersama dilontarkan dari berbagai kalangan pengusaha, termasuk pengusaha tekstil. Produksi dan proses pengiriman pesanan produk tekstil terganggu. Padahal pembeli tidak peduli ada cuti bersama atau tidak. Akibat penerapan cuti bersama, pengusaha tekstil harus mengeluarkan dana tambahan untuk membayar pekerja yang lembur saat cuti bersama.

Polemik menyangkut kebijakan cuti bersama seperti ini sudah lama mencuat. Menjelang dan sesudah Lebaran lalu, kebijakan cuti bersama juga menuai pro dan kontra. Kebijakan cuti bersama ditetapkan pemerintah melalui SKB tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Contoh, cuti bersama perayaan Lebaran 2013 telah dilaksanakan pada 5, 6, dan 7 Agustus. Adapun cuti bersama dalam rangka Idhul Adha 1434 Hijriah ditetapkan pada 14 Oktober, dan cuti bersama dalam rangka Hari Natal ditetapkan tanggal 26 Desember 2013. Kebijakan cuti bersama kali pertama ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Cuti diberikan kepada para pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan swasta dengan cara memperhitungkan hari kejepit sebagai hari libur. Kebijakan ini bertujuan agar sektor pariwisata domestik kembali bergairah setelah ledakan bom Bali. Meski kehidupan sektor pariwisata domestik telah kembali bergairah, kebijakan cuti bersama tetap dipertahankan.

Namun karena dianggap kontraproduktif dengan upaya peningkatan daya saing dan produktivitas bangsa, kebijakan ini diminta dikaji ulang. Kebijakan ini membuat pabrik-pabrik berhenti beroperasi di luar hari libur nasional. Akibatnya, proses  produksi terganggu, ongkos produksi meningkat, dan kinerja ekspor menurun. Di sisi lain, saat ini negara kita tengah berupaya dengan tertatih-tatih meningkatkan daya saing industri dan iklim investasi. Kebijakan cuti bersama, langsung atau tidak langsung, akan memperlemah daya saing, menurunkan produktivitas nasional, dan mendorong konsumerisme.

Daya Saing

Mari kita mencermati kalender 2013. Pada tahun ini terdapat 365 hari, dengan rincian hari Sabtu dan Minggu 106 hari, libur nasional 13 hari, dan cuti bersama yang ditetapkan pemerintah 6 hari. Bagi instansi yang menerapkan kebijakan 5 hari kerja maka jumlah hari libur dalam tahun ini mencapai 125 hari, atau 4 bulan lebih. Hari kerja efektif pun tinggal 240 hari.

Libur selama 4 bulan lebih dalam satu tahun ini sungguh sangat fantastik.  Jarang sekali negara-negara di dunia, termasuk negara maju sekalipun, menerapkan kebijakan cuti jumbo seperti Indonesia. Hitungan jumlah hari libur itu belum memasukkan cuti insidental dan hari libur lokal, seperti saat pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres. Termasuk dalam rangka prosesi keagamaan seperti cuti nyadran menjelang bulan Ramadan yang selama ini diberikan kepada para PNS di kabupaten/kota di Jateng.

Dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini, kita dapat memahami keluhan pengusaha. Cuti bersama merefleksikan bangsa  yang telah sejahtera. Bukan hanya itu, cuti besar semestinya diberikan usai menunaikan kerja keras, atau usai memenangi sebuah kompetisi. Permasalahannya, kita masih jauh dari predikat bangsa sejahtera, daya saing juga masih rendah. Peringkat daya saing Indonesia saat ini menurut World Economic Forum masih di posisi 50 di antara 144 negara. Pendapatan per kapita baru 3.452 dolar AS, jauh di bawah Malaysia yang telah 9.659 dolar, apalagi Singapura dengan 48.595 dolar.

Kebijakan cuti jumbo tidak saja merugikan industri yang menuntut kontinuitas produksi, pekerja juga ikut dirugikan karena upah mereka otomatis terpotong. Pelayanan publik terhambat, pemasukan negara pun terganggu. Lebih dari itu, cuti jumbo hanya memicu inflasi karena mendorong perilaku konsumtif masyarakat.


Kebijakan cuti bersama sangat kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja  berbagai sendi kehidupan, seperti perizinan, perbankan, kesehatan, pasar modal, investasi, pendidikan, serta sektor layanan publik lainnya. Secara kasat mata kebijakan ini bahkan memicu budaya hidup konsumtif dan hedonis. Lihat saja, pusat-pusat perbelanjaan dan mal berjubel saat berlangsung cuti bersama. Saatnya pemerintah melakukan kaji ulang kebijakan cuti bersama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar