Minggu, 27 Oktober 2013

Kongres Kebudayaan dan PSSI

Kongres Kebudayaan dan PSSI
Jean Couteau  ;  Kolumnis “Udar Rasa”Kompas
KOMPAS, 27 Oktober 2013


Butet Kartaredjasa dan ”budayawan” lainnya dari Yogyakarta diberitakan kesel terhadap penyelenggara Kongres Kebudayaan. Sebabnya? Digelar di kota perjuangan, mereka tak diundang pada acara yang konon akbar tersebut. Sebagai tuan rumah, sekaligus pelaku budaya mumpuni, tersinggung dong! Tapi lain Butet, lain pula lakon saya: saya bukan tuan rumah, malahan asing, dan justru diundang!

Bisa dibayangkan pikiran-pikiran yang berduyun di benak saya saat menerima undangan untuk bermakalah-ria pada kongres. Mulai dari yang penuh kebanggaan: ”Jean, tidak percuma kau malang-melintang puluhan tahun di bidang kebudayaan, akhirnya dapat pengakuan juga,” hingga yang bombastis-intelektual bernada narsis: ”Wah! agaknya kini kau menjadi lambang dari keindonesiaan baru, yang terbuka, plural dan humanistis!!!” Dengungan ”Indonesia Raya” terbesit sekilas di benak saya. Mengharu-biru, seakan nasib saya mesti selaras dengan nasib bangsa ini…. Mustahil diri ini tidak senang dan tidak bangga!

Senang, tetapi juga gamang, dan inilah sebabnya: Tepat waktu saya akan mengagungkan postur diri sebagai ”sang cendekia” pilihan itu, tak sengaja saya bertemu dengan salah seorang teman, sejurus acara akan dibuka dan diresmikan. Teman itu tak lain adalah salah satu dedengkot kongres ini yang berkata dengan ringan: ”Jangan-jangan kau seperti para pemain bule di PSSI, yang didatangkan ramai-ramai dengan harapan mencetak gol, bahkan dinaturalisasi segala, tetapi nyatanya gol itu boleh dikata tidak ada alias nihil, kecuali dalam siaran iklan rokok di televisi!” Wah! Itulah gol yang sebenarnya! Bagaimana mungkin tidak memerah muka saya yang memang sudah bule ini. Apalagi, belum pernah menjadi pemain liga sepak bola di negeri asal; belum pula dianugerahi kewarganegaraan oleh Presiden! Apakah ini mencerminkan bahwa kondisi ketahanan kebudayaan Indonesia dirasakan telah kuat ataukah bahwa persepakbolaan dianggap jauh lebih penting bagi harga diri bangsa daripada bidang kebudayaan? Saya tidak berani memberikan jawaban. Maaf, takut ada yang tersinggung!

Tak usah berpolemik, yang penting bagi saya: apakah pada Kongres Kebudayaan yang agung ini, pesan yang saya coba sampaikan sudah gol atau tidak. Saya tidak tahu pasti. Tetapi, bukan berarti saya tidak mencobanya. Pada waktu tampil di kongres, sebagai salah satu narasumber, saya sebenarnya cukup hadir meyakinkan, suara saya bagus dan dalam, juga tak kurang pentingnya lagak sok serbatahu saya yang pastilah cukup mengundang pandang—maklum kodrat bule—meski dari sudut isi, apa yang saya paparkan belum tentu mengena! Memang saya cukup banyak mendapat aplaus, tetapi—harus tahu diri—makalah paling hampa pun dalam acara itu sering mendapat aplaus juga. Alhasil, diri ini bertambah bingung.

Pesan banal

Pesan saya sebenarnya banal meskipun boleh jadi dianggap berani! ”Kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah,” tutur Ki Hajar Dewantara 80-an tahun yang lalu! Gaung kalimat itu terasa elok hingga kini oleh karena menyokong semangat persatuan Nusantara. Maka, tak heran apabila akhirnya disisipkan ke dalam UUD 1945. Tetapi, apa yang terjadi pada sejarah? Berubah, tentu saja! 

Pada waktu kemerdekaan, semua kebudayaan daerah berlandaskan tatanan perekonomian yang agraris. Kini, tatanan agraris itu, kalau tidak mati, ya sudah sekarat. Maka ”tradisi” asli tidak lagi produktif—paling-paling reproduktif dari memori lama. Keberadaannya telah tergantikan oleh ”invented tradition” (Hobsbawn), yang telah direkayasa, terutama oleh rezim Orba, dengan salah satu tujuannya menjauhkan para seniman dari hasrat untuk membahasakan masalah-masalah kekinian yang (terlalu) kerap sosial.

Itulah sebabnya ”kebudayaan Indonesia” (resmi) hingga kini, terutama di daerah, tetap sering identik dengan gemerlap eksotis nan hampa, sedangkan amat sedikit langkah nyata diambil untuk merekam sisa memori asli daerah atau lokal yang bersangkutan, serta tetap sulit bagi para kreator kontemporer untuk mendengungkan kreasinya, yang biar pun dianggap ”liar”, merupakan bagian penting dari tawaran ide-ide yang membangun kebudayaan yang hidup sekaligus nan adab.

Sesungguhnya, apabila Indonesia ingin tampil sebagai ”superpower” kebudayaan dalam pergaulan global, sebagaimana kadang diimpikan banyak orang, semua buah kreativitas—sisa memori asli, kreasi kekinian, dan bahkan hasil rekayasa kebijakan—masing-masing hendaknya harus dicatat dan didukung, serta diberikan keleluasaan untuk berbaur-proses di dalam kuali kebersamaan penciptaan. Pasti capaian karyanya akan jauh lebih marak dan menarik.


Namun, bagaimana pun juga aral-lintangnya, bolehlah kita tetap optimistis untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Apa pun kelak yang terjadi terkait naturalisasi saya, setidaknya dengan nada optimistis saya mencatat bahwa tim sepak bola muda PSSI kita—di bawah usia 19 tahun—terbukti bisa berjaya mencetak gol berkali-kali, bahkan melumat raksasa Asia yang berulang juara, Korea Selatan. Dan luar biasanya lagi, mereka tampil tanpa pemain bule seorang pun. Astaga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar