Minggu, 27 Oktober 2013

Mencari Mobil Ramah Lingkungan

Mencari Mobil Ramah Lingkungan
Achmad Izzul Waro  ;   Penasihat Transportasi
pada Lembaga Kerja Sama Jerman (GIZ)
KOMPAS, 26 Oktober 2013


Kuartal II-2013, transportasi Indonesia disemarakkan oleh hadirnya mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC), yang ternyata mengundang kontroversi.
Yang mendukung beralasan, inilah saatnya masyarakat menengah ke bawah berkesempatan membeli mobil baru. Sebaliknya, masyarakat yang menentang menganggap bahwa tanpa mobil murah sekalipun, kemacetan sudah cukup kronis, khususnya di kawasan Jabodetabek, apalagi jika ditambah masuknya mobil-mobil murah.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 memberi kepastian hukum terhadap pemberian insentif pada produksi kendaraan tersebut. Animo masyarakat untuk mendapatkan mobil tersebut juga luar biasa. Hingga akhir September saja, 17.000 orang telah menyatakan minatnya untuk masuk daftar antrean calon pembeli LCGC.
Menurut Kementerian Perindustrian, kebijakan ini untuk memperkuat daya saing Indonesia pada era perdagangan bebas Asia karena mobil murah buatan Thailand dan negara tetangga lain akan dengan mudah masuk ke pasar domestik.
Di samping memperkuat sektor industri otomotif dalam negeri− karena harus lebih banyak menggunakan komponen produksi dalam negeri, −LCGC juga diyakini akan mampu menekan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
LCGC hanya diizinkan memakai bahan bakar berkualitas baik sekelas BBM nonsubsidi agar tingkat emisinya rendah.
Sampai di sini, tidak ada yang salah dalam kebijakan LCGC ini. Bahkan, LCGC sejalan dengan komitmen Indonesia di tingkat internasional terkait target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41 persen pada tahun 2020.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi GRK pun telah menyebutkan adanya tiga tahapan strategi dalam rencana aksi pengurangan emisi di sektor transportasi, yaitu ASI (avoid, shift, improve).
Nah, penerapan konsep LCGC ini adalah bagian dari strategi improve, yaitu meningkatkan efisiensi dari kendaraan bermotor. Dengan kapasitas mesin tak lebih dari 1,2 liter, LCGC juga diwajibkan untuk mampu bergerak sekurang-kurangnya 20 kilometer untuk tiap liter bahan bakar yang dikonsumsi.
Proyek janggal
Namun, justru dengan peraturan presiden inilah letak kejanggalan proyek ini mulai terasa karena seharusnya peraturan tentang LCGC ini dilengkapi dengan peraturan lain sebagai rangkaian kebijakan yang koheren.
Pertama, mengapa pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan improve, sedangkan prasyaratnya kurang mendapat prioritas.
Prasyarat tersebut adalah kebijakan avoid alias mengurangi kebutuhan perjalanan serta kebijakanshift atau beralih ke moda transportasi yang lebih efisien ruang dan bahan bakar. Kedua, perlu ada peraturan penunjang untuk memperkuat segmentasi konsumen LCGC.
Mengurangi perjalanan yang tidak perlu adalah kata kunci melawan kemacetan dan pencemaran udara di perkotaan. Sayang, kata itu tidak dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat.
Meskipun demikian, beberapa inisiatif pihak swasta perlu diapresiasi, semisal penerapan konsep belanja online, integrasi pusat perbelanjaan dengan halte bus transjakarta, dan pembangunan kawasan berorientasi transit.
Ketiga sistem tersebut sebenarnya embrio dari pengejawantahan skema avoid ini. Perlu komitmen pemerintah terkait sinergi penataan ruang dengan pengembangan sistem transportasi massal.
Untuk skema shift, diperlukan regulasi kuat dan komprehensif untuk mengakselerasi manajemen kebutuhan perjalanan. Hal itu meliputi peningkatan layanan angkutan umum yang sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012, penerapan tarif parkir yang mahal di kawasan perkotaan bagi kendaraan pribadi, hingga pelaksanaan konsep jalan berbayar, di mana uangnya untuk membenahi lalu lintas dan angkutan umum.
Stimulus kurang
Dengan demikian, para pengendara kendaraan pribadi dengan suka hati beralih menjadi pengguna angkutan massal. Namun, hingga kini belum ada skema stimulus yang mampu mendorong semua pemerintah kota/kabupaten di Indonesia mengembangkan angkutan massal sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketika peraturan-peraturan di aspek avoid dan shift telah diterapkan saksama, barulah skemaimprove bisa dijalankan dengan baik sehingga memberikan ruang bagi masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi dengan kendaraan yang lebih efisien. Di sinilah peran LCGC diharapkan bisa berjalan lebih baik. Tanpa kebijakan avoid dan shift, kebijakan LCGC hanya memperparah kemacetan dan emisi gas buang.
Selanjutnya, diperlukan peraturan tambahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 yang mampu merangsang pemilik mobil untuk meremajakan kendaraannya dengan produk-produk otomotif berjenis LCGC.
Tanpa adanya insentif, LCGC justru akan lebih banyak terserap oleh pemilik sepeda motor yang hendak beralih ke roda empat. Sebagai gambaran kasar, sepeda motor mampu memanfaatkan tiap liter bahan bakarnya untuk melaju sejauh 35 kilometer.
Sepeda motor juga membutuhkan ruang gerak tidak lebih dari 3 meter persegi. Perpindahan dari sepeda motor ke LCGC dengan demikian akan meningkatkan konsumsi bahan bakar dan kemacetan.
Masihkah kita menyebut mobil murah ini sebagai kendaraan ramah lingkungan?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar