Rabu, 30 Oktober 2013

Nasib Buruh dan Laporan BPS

Nasib Buruh dan Laporan BPS
Nining Elitos   Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
SUARA KARYA, 28 Oktober 2013

Regulasi baru seputar upah akan menempatkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam posisi sangat menentukan. Instruksi Presiden (Inpres) tentang penetapan upah minimum yang ditujukan kepada gubernur dan menteri, menurut Menteri Koordi-nator Perekonomian Hatta Rajasa, memuat penetapan KHL (kebutuhan hidup layak) yang tak boleh lagi berdasarkan masing-masing survei (buruh, pengusaha). Dewan Pengupahan harus mengacu pada survei yang dilakukan BPS. Besaran upah, maka, bersandarkan pada nilai KHL versi BPS, produktivitas kerja, dan inflasi.

Sebelumnya, mekanisme penetapan UMP (upah minimum provinsi) atau UMK (upah minimum kabupaten/kota) diawali dengan survei KHL, baik oleh pengusaha maupun buruh. Biasanya terdapat gap yang amat lebar antara kedua survei. Hasil survei KHL lalu dibawa ke rapat pleno dewan pengupahan kabupaten/kota, dan diteruskan ke provinsi untuk kemudian diajukan kepada gubernur supaya ditetapkan. Komponen KHL bersandarkan pada 60 jenis kebutuhan sesuai Kemenaker No 13 tahun 2012 (sebelumnya hanya 46 jenis).

Berpuluh-puluh tahun lamanya, kenaikan UMP (dulu UMR) berlangsung konservatif. Tahun 2013 adalah perkecualian. Pertambahan 15 komponen KHL baru, demonstrasi buruh yang tak kenal lelah, serta faktor gubernur baru, menghasilkan nilai UMP DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta atau naik 44 persen. Keputusan Gubernur Jokowi menimbulkan efek kejut bagi daerah-daerah sekitarnya. Buruh di Bekasi, Bogor, Karawang, Cilegon, Tangerang kontan ikut menikmati upah sekitar Rp 2 jutaan.

Kalangan pengusaha khawatir kenaikan drastis UMP dan UMK di Jakarta dan sekitarnya berulang pada tahun depan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun bergerak cepat dengan 'bergerilya' merangkul pemerintah. Hasilnya instan. Pemerintah langsung merespon dengan mengeluarkan Inpres tentang pengupahan. Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, mengamandemen UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan perlu proses yang lama, sehingga pemerintah melakukan manuver lain, yaitu menyusun instruksi presiden.

Berdasarkan Inpres ini, upah minimum tahun depan hanya boleh naik maksimal 10% dari angka inflasi tahunan. Sejumlah serikat buruh tegas menolak keberadaan Inpres yang memasung kenaikan upah ini, dan gencar menuntut kenaikan upah hingga 50%.

Terlepas dari pro-kontra Inpres pengupahan, penulis tertarik meninjau potensi peran baru BPS di bidang penentuan upah melalui survei KHL. Bagi Hatta Rajasa dan Muhaimin Iskandar, BPS dianggap pihak independen sehingga akan lebih objektif dalam menentukan KHL. Namun 'independensi' (apalagi disematkan pada lembaga negara) bukanlah murni tanpa keberpihakkan. Berbagai intervensi, secara politik maupun sogokan yang tak kasat mata, dengan gampang menggoyahkan nilai-nilai independensi, bahkan pada tataran akademik (merujuk pada istilah statistik) sekalipun.

Nir-keberpihakkan statistik sendiri sudah banyak digugat. Salah satunya oleh penulis AS, Darrel Huff. Dalam bukunya berjudul 'Berbohong dengan Statistik', secara satir diungkapkan adanya tiga jenis kebohongan, dan statistik merupakan kebohongan tingkat tertinggi! Hal ini karena statistik dapat digunakan sebagai alat untuk menipu pembaca secara halus, membuat pembacanya tidak merasa kalau sedang ditipu. Data yang mereka berikan mungkin benar, tetapi dengan berbagai penyajian yang bisa mengecoh pembacanya.

Kita tidak berharap BPS sebagai lembaga resmi di bidang pengumpul data mewakili ketidakpercayaan Darrel Huff terhadap statistik. Namun, BPS sendiri sekama ini memang tidak bebas kritik. Antara lain, kritik terkait kriteria garis kemiskinan versi BPS yang jauh di bawah standar Bank Dunia. Pada Juli tahun lalu, misalnya, garis kemiskinan yang digunakan BPS saat itu sekitar Rp 8 ribu per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Garis kemiskinan ini hanya menjaring 9,13 juta orang (11,96%) sebagai miskin. Dengan standar Bank Dunia (2 dolar AS per orang per hari), penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa. (Dr Ir M Kusman Sadik, 2012).

BPS pun panen anggapan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, sebagai tukang stempel keberhasilan kinerja pemerintah. BPS tidak mampu menjaga jarak dengan pemerintah (terkooptasi), sehingga mengaburkan perannya dalam memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat maupun dalam penyusunan kebijakan pembangunan. (Leo Kusuma, 2012) Apabila angka-angka di atas kertas selalu berbeda dengan fakta riil, kebijakan yang diambil otomatis semakin jauh dari 'kompas kebenaran' dan justru menghalangi negara mencapai tujuan-tujuannya.

Pengamat ekonomi dari LIPI Latif Adam menilai, hasil survei BPS bersifat politis, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya manipulasi metodologi survei. Hal ini disebabkan data hasil olahan BPS kerap sangat jauh dari kenyataan.

Kekhawatiran serupa layak dimunculkan apabila peran utama penentuan KHL benar-benar diambil alih oleh BPS. Apa yang disebut hidup layak menurut buruh bisa jadi sangat berbeda dengan versi hidup layaknya BPS. Buruh bersandarkan pada kebutuhan-kebutuhan lebih berkualitas dan beragam yang sebenarnya wajar, dan manusiawi (juga tidak muluk-muluk seperti mampu membeli mobil dan rumah mewah), sementara pihak lain menetapkan kebutuhan buruh pada nilai 'sekedar bertahan hidup'.

Menyikapi survei KHL ala BPS, serikat buruh mesti tetap menjalankan surveinya sendiri. Setidaknya, survei-survei mandiri ini menjadi pembanding yang sepadan dan mendekati realitas kehidupan layak buruh. Jika indikasi politisasi BPS kentara (sebagai agen pendukung rezim upah murah), serikat-serikat buruh juga harus menanggapi BPS dengan tindakan-tindakan politis yang patut dan diperlukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar