Selasa, 29 Oktober 2013

Pemuda Tanpa Sumpah Pemuda

Pemuda Tanpa Sumpah Pemuda
Moh Yamin   Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Mantan Aktivis Mahasiswa
SINAR HARAPAN, 29 Oktober 2013


Dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, Ir Soekarno menyatakan, “Berikanlah aku 10 pemuda, maka akan ku rubah (kuubah) bangsa ini”. Pertanyaannya adalah apakah saat ini para pemuda Indonesia sudah berjuang dan memperjuangkan nasib rakyat dari Sabang sampai Merauke?

Realitas dan kondisi para pemuda saat ini sangat tegas mengatakan, sepertinya mereka belum memiliki mimpi besar membangun negeri ini. Kendati masih ada di antara mereka yang juga bervisi besar bagi kedaulatan bangsa, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Mereka terkadang kemudian terjebak kepada kepentingan sempit dan kerdil, mereka berbicara dan menyuarakan nasib rakyat hanya di awal perjuangan, kemudian berhenti di tengah jalan sebab lebih nikmat dengan kepentingannya sendiri.

Barangkali kalau kita masih mengingat sejarah Reformasi 1998 yang dimotori dan digerakkan aktivis mahasiswa, sehingga rezim Soeharto tumbang, ternyata mereka yang bernamakan pemuda justru menjadikan peluang lengsernya penguasa Orde Baru untuk masuk ke ruang kekuasaan, meneruskan era penindasan baru bagi kepentingan hajat hidup orang banyak.

Dalam perjalanan negeri ini pascareformasi, baik ruang eksekutif, legislatif, maupun edukatif, banyak pemuda kemudian masuk dalam ruang-ruang kekuasaan. Mereka menjadi penyelenggara negara dan begitu seterusnya.

Mereka turun mengambil kebijakan ketika berhubungan dengan kepentingan publik. Mereka turut merencanakan dan memetakan persoalan-persoalan rakyat, namun kenapa mereka kemudian melakukan pengkhianatan terhadap sumpah pemuda, hanya menjadikan sumpah pemuda sebagai tong kosong nyaring bunyinya.

Pemuda Tanpa Visi

Pemuda yang sudah menceburkan diri dalam dunia politik kekuasaan saat ini, lebih tepat disebut sudah bekerja tanpa visi dalam melakukan perjuangan. Mereka telah lupa dan melupakan menjadi fondasi perjuangannya saat masih menjadi aktivis.

Bila sebagai aktivis mereka berteriak keras dan lantang melakukan kritik tajam sekaligus pedas kepada rezim, justru kemudian mengalami keredupan dan peredupan sangat luar biasa pascaberada di ruang kekuasaan. Aktivis pemuda yang kini sudah berbaju perlente, naik mobil mewah dengan sopir pribadi justru merasa malu berhubungan dengan kehidupan rakyat kecil.

Para aktivis seolah menutup mata dan telinga terhadap penderitaan rakyat yang hidup dalam lumpur kemiskinan serta kenestapaan hidup. Para aktivis yang kini sudah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan sudah tidak peduli pada perubahan kehidupan rakyatnya, yang dulu sempat diperjuangkan dengan sedemikian luar biasa progresif dan mati-matian.

Beberapa waktu lalu, ketika heboh reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, ada dua menteri muda yang menakhodai Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebut saja saat Andi Alfian Mallarangeng yang kini menjadi tahanan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di bawah komando Muhaimin Iskandar.

Mereka mendapat sorotan tajam dari pelbagai elemen publik sebab keduanya dipandang gagal dalam mengemban tugas membebaskan kementeriannya dari korupsi. Kasus korupsi Wisma Altet SEA Games di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan kasus suap proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adalah fakta atas kegagalan kepemimpinan di kementeriannya.

Kini terlepas apa pun kondisinya, pemuda saat ini yang sudah masuk dan menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan memang sudah lebih berpandangan sangat politis, praktis, dan pragmatis. Demi tetap mementingkan tujuan sektoralnya yang tidak pernah berhubungan dengan hajat hidup orang, mereka rela melakukan apa pun demi tetap duduk manis dalam kursi kekuasaan.

Oleh karenanya, realitas politik ini sudah semakin mempertegas bahwa pemuda tidak lagi melaksanakan mandat rakyat. Mereka justru menambah penderitaan rakyat dengan semakin menghabiskan uang negara.

Saat rakyat semakin sekarat, harus berjuang sendiri supaya tetap bisa hidup, pemuda yang berada di takhta kekuasaan justru semakin asyik masyuk dengan agenda-agenda yang sangat anarkistis sekaligus destruktif.

Apakah rakyat akan semakin terjebak dalam lubang kemiskinan yang kian mencekik dan mengerikan, itu sudah bukan menjadi persoalan dan tanggung jawab bagi para pemuda saat ini. Apakah rakyat kian tersungkur dalam ketidakjelasan masa depan, para pemuda sudah abai dan mengabaikan tanggung jawab politiknya itu.

Inilah yang selanjutnya disebut satu bentuk pembunuhan bagi kepentingan rakyat banyak. Para pemuda sudah kehilangan komitmen, kehendak, dan kemauan politik dalam bergerak untuk satu perubahan yang lebih baik, sekaligus bermakna bagi masa depan negeri ini.

Mereka sudah berwajah sangat rakus, tamak, dan serakah sehingga menghalalkan segala cara selama tujuannya bisa tercapai, selanjutnya perlu dipraksiskan dengan sedemikian rupa. Pemuda negeri yang seharusnya menjadi harapan bangsa sudah merusak cita-cita the founding fathers. Mereka juga melukai dan menyakiti serta menyayat-nyayat hati bangsa.

Ke depannya jangan bisa banyak berharap besar akan ada transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kebaikan dan keadaban, sementara pemuda sebagai penerus dan pemegang estafet kepemimpinan sudah sangat luar biasa buruk baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak.

Cita-cita menuju kemajuan dan perabadan bangsa hanyalah retorika an sich sebab para pemuda tidak memiliki blueprint dalam menentukan arah bangsa ini ke depannya. Negeri ini selanjutnya tetap berada dalam kegelapan dan kemuraman orientasi bergerak dan pergerakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar