Selasa, 29 Oktober 2013

Penembakan Polisi dan Masyarakat Anomalik

Penembakan Polisi dan Masyarakat Anomalik
Musa Asy’arie  Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
KOMPAS, 28 Oktober 2013


PENEMBAKAN terhadap polisi yang terjadi akhir-akhir ini sungguh merisaukan kita semua. Polisi saja bisa ditembak, apalagi rakyat biasa. Padahal, rasa aman adalah salah satu kebutuhan psikologis yang fundamental bagi kehidupan masyarakat di mana pun mereka berada. Karena itu, peristiwa penembakan terhadap seorang polisi akan berdampak pada terganggunya ketenangan dan kedamaian hidup masyarakat.

Pada sisi lain, wibawa polisi kita juga makin merosot. Hal itu terjadi bukan hanya karena konflik kekerasan antara polisi dan masyarakat di sejumlah daerah, melainkan juga terkuaknya rekening gendut petinggi kepolisian dan korupsi yang begitu besar dalam tubuh aparat kepolisian kita. Kalau di kepolisian terjadi krisis moral, masih mungkinkah polisi efektif menjaga keamanan hidup masyarakat?

Anehnya, pemerintah sepertinya tidak berdaya dan kemudian menyikapinya sebagai hal yang biasa saja. Pengusutan memang dilakukan. Mereka yang tertangkap dan terlibat diadili dan dihukum, tetapi pengadilan itu terasa tidak berjalan sesuai harapan masyarakat. Perbaikan hanya menyentuh permukaan sehingga peristiwa terus berulang dan tidak ada kaitan dengan usaha perbaikan sistemnya.

Ironi kepolisian

Sebagai bangsa yang jumlah penduduknya amat besar, dengan tingkat kemiskinan tinggi disertai kesenjangan sosial tajam, kehadiran polisi sesungguhnya mutlak diperlukan karena kompleksitas permasalahan bangsa yang dihadapi semakin sulit diatasi. Tanpa kehadiran polisi yang merakyat dan berwibawa, situasi keamanan akan semakin terganggu dan kehidupan masyarakat makin jauh dari ketenangan. Bagaimana polisi menjaga keamanan hidup masyarakat kalau menjaga diri sendiri saja tidak bisa?

Peranan kepolisian pascareformasi semakin besar karena tentara ditarik ke baraknya dan baru diturunkan jika keamanan negara terancam. Keamanan rakyat diserahkan kepada polisi. Polisi pun mengisi semua penjagaan keamanan kehidupan masyarakat yang semula diisi tentara. Maka, tentara kehilangan lahan tambahannya sehingga penghasilannya mengecil karena hanya mengandalkan gaji yang tidak seberapa. Hal ini menimbulkan kecemburuan yang mudah menyulut konflik antara polisi dan tentara di sejumlah daerah.

Bisnis keamanan adalah bisnis yang besar untuk menjaga perusahaan, pertokoan, lalu lintas perdagangan, apalagi untuk menjaga kelangsungan bisnis yang ilegal, seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan narkoba. Para petinggi keamanan bisa memainkan peran secara formal dan struktural, baik sebagai komisaris perusahaan maupun penanggung jawab penjagaan keamanan formal dalam perusahaan besar. Akan tetapi, prajurit di tingkat bawah biasanya hanya akan kebagian menjadi penjaga bisnis ilegal di lokasi marjinal. Bisnis keamanan berlangsung diam-diam ini tentu saja menjadi rebutan para pihak dan sekali lagi rawan konflik.

Kebingungan rakyat

Ketika polisi mengalami krisis kewibawaan dan masyarakat merasa tidak memperoleh jaminan keamanan, mereka akan mencari jalan sendiri untuk memenuhi rasa aman. Mereka yang bergerak di bisnis ilegal biasanya akan mencari perlindungan dari para preman, kalau perlu dengan double cover plus berkolusi dengan para penguasa formal di daerah setempat. Sementara mereka yang bergerak dalam bisnis legal ada yang mencari perlindungan diam-diam dari aparat keamanan lain atau dengan mengikuti ritual keagamaan dan menyandarkan diri kepada tokoh-tokoh spiritual.

Dalam konteks ada tidaknya polisi adalah sama saja, munculnya premanisme tidak bisa dihindarkan lagi dan bahkan masyarakat kemudian terjebak dalam tindakan premanisme. Mereka akan menyelesaikan masalah dengan cara-cara premanisme. Kekuatan otot akan mengalahkan kekuatan akal sehat. Akhirnya, kehidupan masyarakat mengalami anomali.


Suatu saat kebinekaan dan keanekaragaman bangsa akan diprovokasi menjadi pemicu konflik dan bisnis keamanan pun akan dikendalikan oleh premanisme. Akhirnya, bangsa ini akan dikoyak-koyak oleh premanisme, baik oleh mereka yang berbaju hitam maupun berbaju putih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar