Rabu, 30 Oktober 2013

Perlindungan bagi Koruptor

Perlindungan bagi Koruptor
Setio Boedi   Penikmat Budaya, Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA, 29 Oktober 2013


NYATALAH adagium ”Mens Sana in Corpore Sano”, ungkapan terkenal Bahasa Latin yang sering diterjemahkan menjadi ”A Healthy Mind in a Healthy Body” (”Di Dalam Tubuh yang Sehat Terdapat Jiwa yang Kuat”) makin rontok setelah diuji oleh lamanya waktu. Di negara kita mayoritas pelaku tindak pidana, khususnya korupsi, adalah orang yang secara jasmani sehat. Bahkan ketika tampil di media, bisa seperti selebriti.

Tak ada korelasi sebab-akibat untuk urusan jasmani dengan jiwa. Banyak orang yang secara fisik mengalami kekurangan tetapi kesaksian hidupnya banyak melakukan perbuatan mulia. Thomas Alfa Edison, sampai usianya yang ke-84, mematenkan lebih dari 1.000 karya penemuannya. Padahal dia lemah dalam pendengaran. Juga motivator kelas dunia, yang memiliki keterbatasan fisik pada kaki dan tangan, Nick Vujicic, yang kehadirannya dirindukan banyak orang.

Untuk menjadi koruptor, tak perlu menanti sakit atau cacat tubuh. Karena  justru dengan badan sehat, pelaku bisa lincah lari ke sana  ke mari untuk bertransaksi. Kegeraman masyarakat terhadap koruptor paling tidak terwakili ketika Akil Mochtar di hadapan beberapa pekerja pers (12/3/12) menyampaikan, ”Miskinkan koruptor dan potong jari tangannya!”

Tiga Area

Kita perlu mewaspadai tiga areal yang memungkinkan terjadinya korupsi. Pertama; kemampuan. Hanya orang yang memiliki kekuasaan/wewenang  yang bisa menyimpangkan aturan (power tends to corrupt). Jika berada pada posisi pemegang kekuasaan, waspadalah karena Anda termasuk sasaran empuk virus korupsi. Tak ada orang yang imun terhadap serbuan dari virus ini jika  dia tidak memberi dirinya antibodi yang baik. 

Kedua; kemauan. Meskipun orang memiliki kekuasaan, kesempatan untuk korupsi, tapi bila ia tak mau melakukan, tidak akan terjadi peristiwa korupsi. Masih banyak orang yang memegang tampuk kekuasaan lokal dan nasional bisa tetap bekerja dengan jujur dan rajin. Godaan materialisme tidak  membuatnya lupa diri.

Ketiga; rasa malu. Secara sosiologis inilah benteng terakhir untuk membendung tsunami gelombang korupsi. Di tengah erosi budaya malu bagi para petinggi, terekspresi tetap percaya diri saat tampil di banyak media ketika tertangkap atau setelah duduk di kursi pesakitan, saat ini merupakan tugas kita masing-masing untuk menata ulang puing-puing rasa malu.

Bila kekuasaan berada di tangan kita, artinya kita punya kemampuan untuk korup dan pada saat yang sama pun tergoda (kemauan) menerima uang yang bukan hak kita, tiba-tiba roh rasa malu memantik hati untuk tidak melanjutkan. Pada zaman online seperti saat ini, hukuman kepada koruptor (yang tertangkap) sangatlah berat. Ketika tertangkap tangan, ia langsung ditayangkan di televisi atau media online. Posisi terhormat sebagai pemegang kekuasaan langsung runtuh. Harusnya rasa malu kepada rekan kerja, tetangga, dan keluarga besar sangat menekan pelaku tindak pidana ini.

Tekanan-tekanan hidup kepada koruptor tidak hanya terhadap dirinya tapi juga pada istri/suami, dan anak. Itu berarti lingkungan pergaulan keluarga (pekerjaan, di tempat ibadah, di sekolah atau masyarakat) seakan-akan mendera tiada henti. Label sebagai koruptor, istri/suami koruptor, atau anak koruptor, sulit dihapuskan dari lingkungan sekitar.

Bahkan yang sulit diukur adalah hukuman dari media massa. Teringat ucapan Arswendo Atmowiloto, saat tersandung kasus Tabloid Monitor tahun 1990-an. Dia yang juga wartawan senior tahu benar detak jantung pers, saat itu dia  berujar, ”Saya ngeri. Betapa tajamnya pena wartawan. Judul ‘Arswendo Diseret ke Pengadilan’ saja sungguh sangat menekan saya.”

Pelindung Sejati

Belum hukuman formal yang diketokkan hakim. Bayangkan semula menjadi raja kecil di lingkungannya, selalu dilayani, kini jadi warga binaan di lembaga pema0syarakatan. Sesungguhnya hukuman bagi koruptor sangat berat jika mereka semua masih memiliki urat malu. Apalagi bila imbauan Akil Mochtar itu diterapkan.

Kepada siapakah koruptor berlindung ketika semua sudah terbongkar? Sulit mencari pelindung sejati. Justru teman-teman baik akan pergi, minimal enggan mendekat, takut kalau-kalau ikut terjerat. Sebuah kisah klasik  bertutur, suatu saat guru yang bijak tiba di sebuah kampung. Dia didatangi beberapa orang yang membawa seorang perempuan yang tertangkap tangan berzinah. ”Guru, apa yang harus kita lakukan kepadanya?”

Sang guru menulis dengan jari ke tanah dan berkata, ”Barang siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.” Apa yang terjadi? Pergilah mereka satu per satu meninggalkan kerumunan dan perempuan itu. Tidak ada penghukuman terhadap perempuan itu.


Kisah ini menjadi menarik bukan hanya mengungkap perlindungan kepada sosok perempuan (karena tiap terjadi perzinahan tentu ada dua orang lawan jenis), melainkan juga ucapan guru itu kepadanya, ”Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan mengulangi lagi!”
Apa korelasi kisah itu dengan  pertanyaan ”kepada siapa koruptor berlindung”? Jelas koruptor tidak bisa lepas dari jerat hukum. Hadapilah sebagai seorang kesatria yang menerima tiap konsekuensi tindakan. Tetapi tetaplah berlindung kepada Tuhan, Pencipta dan Pemelihara seluruh kehidupan. ”Pergilah (dari perilaku korup) dan jangan mengulangi lagi!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar