Kamis, 31 Oktober 2013

Tanah Papua Butuh Bahasa Kejujuran

Tanah Papua Butuh Bahasa Kejujuran
Jimmy D Ijie   Pendiri Irian Jaya Crisis Centre dan Politikus PDI Perjuangan
SINAR HARAPAN, 30 Oktober 2013
  
Tanggal 28 Oktober 2013 baru saja diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda ke-85. Momentum ini sangat tepat menyegarkan kembali mengenai semangat kebangsaan sebagai satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sumpah yang diucapkan pada 85 tahun lalu ini, kiranya masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini guna semakin mengukuhkan semangat kebangsaan dan semangat mencintai bahasa Indonesia. Untuk itu, patut juga kita mengapresiasi soal penetapan bulan Oktober sebagai bulan bahasa.
Sejarah mencatat, Indonesia cukup sukses untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai persatuan, tanpa menyampingkan kehadiran bahasa daerah sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Jadi tidak terlalu berlebihan, kalau dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesungguhnya kita sedang ikut mengembangkan bahasa Indonesia.

Namun, dalam kaitan dengan peringatan Sumpah Pemuda ini, penulis menyoroti semangat sumpah pemuda dengan kondisi terkini yang terjadi di Papua. Ini karena semangat cinta Tanah Air, cinta bangsa, dan komitmen untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak boleh hanya tumbuh di wilayah lain, tapi juga harus merata bersemi di seluruh wilayah Indonesia ini.

Tiga kecintaan ini hanya bisa tumbuh subur, jika semua anak bangsa merasakan adanya kepercayaan (trust), keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari bangsa yang besar ini. Para pendiri bangsaini sejak semula sudah menggariskan, kalau nasionalisme Indonesia itu harus bertumpukan keadilan dan kemanusiaan.

Secara sederhana, ketika warga bangsa merasakan adanya keadilan dan kemanusiaan maka niscaya itu akan menumbuhkan kepercayaan dan bersemainya nasionalisme itu. Untuk itu, ketika kita asyik mengupayakan nasionalisme, tapi di sisi lain mengabaikan atau membiarkan runtuhnya keadilan dan kemanusiaan maka kita sebenarnya sedang mengabaikan dan membiarkan rontoknya nasionalisme Indonesia.

Indah di Kertas

Dalam momentum yang baik ini, sangat menarik untuk melihat implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang semula diharapkan sebagai jawaban terhadap rasa keadilan dan kemanusiaan di Papua, termasuk untuk mengembalikan rasa percaya akan adanya keinginan baik untuk mewujudkan kesejahteraan di Papua.

Namun, UU Otsus Papua hanya indah di atas kertas, tapi begitu lemah dalam implementasi di lapangan. Kelemahan itu, harus secara jujur diakui ada kelemahan dari pelaksana di daerah, tapi juga tidak kecil kontribusi dari pemerintah pusat. Di sini, semangatnya bukan saling menyalahkan atau pun melempar kesalahan kepada pemerintah pusat.

Bukan rahasia lagi, kalau ada berbagai regulasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, tapi tersendat-sendat dan diabaikan. Begitu juga masih ada kelemahan daerah dalam merampungkan berbagai regulasi sebagai prasyarat untuk mengimplementasikan UU Otsus.

Namun, menjadi pertanyaan juga ketika Papua dan Papua Barat sudah merampungkan berbagai peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus), justru terhambat atau tidak dipedulikan pejabat pusat yang berkaitan dengan hal itu.

Sebagai contoh, ada dua peraturan daerah yakni mengenai pengaturan pegawas daerah. Daerah mengambil kebijakan mengangkat pegawai honorer sebagai penjabaran dari ketentuan Pasal 27 UU Otsus yang sudah barang tentu mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, justru masih mendapat hambatan dari pusat tanpa penjelasan apa pun.

Begitu juga dengan Perdasus mengenai Pengelolaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 34 Ayat 3 dan Ayat 7 UU Otsus Papua dianggap seolah mengganggu kewenangan dan kepentingan pusat.

Padahal, perdasus itu mengatur pembagian hasil yang menjadi porsi provinsi kepada setiap kabupaten/kota. Jadi, semestinya tidak boleh ada pihak yang merasa terganggu. Hal ini karena keberadaan perdasus itu sangat penting untuk menjaga perasaan keadilan bagi daerah produksi.

Kelompok Minoritas

Dengan berbagai pengalaman yang ada dalam hubungan pusat dan Papua, sebenarnya Papua dan Papua Barat masih menantikan komitmen dan janji dari sejumlah elite di Jakarta, baik presiden, menteri, dan DPR terhadap rakyat di Papua. Implementasi UU Otsus tidak akan pernah dilaksanakan sebaik-baiknya jika tidak ada rasa saling terbuka dan kejujuran pusat dan Papua.

Untuk itu, dalam bulan bahasa yang baik ini, sesungguhnya Papua telah lama menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) dari kota hingga ke kampung-kampung yang jauh terpencil sekalipun, bahkan jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928. Papua masih perlu untuk berbahasa yang baik dan benar, tapi jauh lebih membutuhkan bahasa kejujuran sebagai bentuk keberpihakan terhadap berbagai kebijakan yang berkaitan dengan tanah dan orang asli Papua.

Kita tentu mengapresiasi, adanya 11 kursi di DPR Papua dan 9 kursi DPR Papua Barat yang diangkat dari masyarakat adat sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 6 UU Otsus Papua. Namun, sesungguhnya harapan itu bukan sekadar keberpihakan di Papua, melainkan bagaimana wujud keberpihakan di pusat pemerintahan dan parlemen.

Ke depan, perlu adanya jaminan keberpihakan baik dalam struktur pemerintahan maupun di parlemen bagi orang asli Papua. Saat ini, kursi parlemen yang merupakan jatah tanah, justru tidak semuanya diduduki orang asli Papua.

Ada berbagai macam varian bentuk keberpihakan atau afirmatf negara terhadap kaum minoritas yang diberlakukan di berbagai negara. Kita bisa menyimak perlakuan terhadap suku Maori di Selandia Baru yang memperoleh jatah 15 persen kursi di parlemen, begitu juga ada contoh suku Quebec di Kanada. Juga kita bisa melihat affirmative policy di Belgia terhadap suku Flemish. Ada banyak contoh, sebab hampir semua negara memiliki varian sendiri untuk menyatakan keberpihakan terhadap kelompok minoritas.

Harus diakui sejak penghapusan utusan golongan di MPR, sesungguhnya telah terjadi penghilangan keberpihakan negara terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Padahal, pendiri negara telah jauh-jauh hari menyediakan ruang bagi kelompok minoritas di negara ini, sehingga diatur dalam UUD 1945 (bukan hasil amendemen).

Untuk itu, menjadi sangat relevan untuk mempertimbangkan kembali posisi kaum minoritas dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena dalam UUD 1945, sesungguhnya keberadaan utusan golongan merupakan ruang untuk semua kelompok warga bangsa, termasuk kaum minoritas. Namun, ada kekeliruan dalam implementasi selama Orde Baru. Bukan keberadaan utusan golongan yang keliru, tetapi sistem rekrutmen yang seharusnya dibenahi.


Dalam konteks Papua, hanya dengan bahasa kejujuran apakah benar kita masih dan akan terus satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa persatuan yaitu Indonesia maka kita tidak perlu ragu kalau Papua selamanya akan tetap menjadi bagian NKRI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar