Senin, 28 Oktober 2013

UN Menuju Indeks Kompetensi Sekolah

UN Menuju Indeks Kompetensi Sekolah
Sukemi   Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 28 Oktober 2013

PERDEBATAN pelaksanaan ujian nasional (UN) pascakonvensi masih berlanjut. Prokontra sedikit bergeser bukan pada masalah payung hukum dan sah-tidaknya pelaksanaan UN, melainkan lebih mengerucut ke substansi proses evaluasi dan pemanfaatan hasil UN.

Pertanyaan dari mereka yang kontra antara lain tentang pemahaman dan kedudukan evaluasi, yang dipandang semata sebagai alat ukur dan pemetaan sehingga tidak perlu dilakukan secara masif pada siswa dan satuan pendidikan atau lembaga.

Tulisan berikut ingin menjelaskan salah satu pemanfaatan hasil UN berkaitan dengan upaya untuk mengetahui indeks kompetensi sekolah, yang melalui indeks kompetensi sekolah ini bisa diketahui lebih lanjut terhadap sebab musababnya kenapa bisa terjadi, dan bagaimana serta langkah apa yang harus dilakukan untuk upaya perbaikan.

Konvensi UN, yang telah digelar beberapa waktu lalu, sesungguhnya tidak membahas masalah teknis semata, seperti diserahkan ke daerah atau bagaimana, tetapi membahas juga sistem UN secara substansial, di antaranya UN diharapkan menjadi indikator untuk berbagai hal. Dalam konteks itulah perlu dipahami bahwa UN sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005 (jo PP 32/2013) tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 68 tidak hanya bertujuan untuk pemetaan, tapi juga seleksi, kelulusan, dan pembinaan secara berkesinambungan.

Indeks kompetensi

Meminjam kalimat yang kerap digunakan Mendikbud, dengan indeks kompetensi sekolah, ibarat orang sakit, hasil UN akan jelas menunjukkan bagian mana yang sakit. Kalaupun diketahui bagian kepala yang sakit, misalnya, akan diketahui kepala yang sakit itu di bagian mana tepatnya sehingga untuk mengobatinya (baca: upaya perbaikan) pun akan diberikan obat yang tepat, menyangkut jenis dan dosis obatnya, agar tidak terjadi malapraktik.

Indeks kompetensi sekolah merupakan suatu ukuran perbandingan antara capaian dan target dari 
komposit kompetensi mata pelajaran sehingga melalui indeks kompetensi sekolah, dapat dipetakan kompetensi sekolah menurut sekolah, kabupaten-kota, provinsi, dan nasional yang digunakan untuk pendefinisian jenis intervensi program menurut prioritasnya. Dalam menentukan prioritas perbaikan atau intervensi positif kepada satuan pendidikan itulah digunakan suatu analisis yang bertitik tolak pada perbedaan tiap kompetensi mata pelajaran dengan menggunakan satu ukuran yang bisa dibandingkan.

Saat ini, sebagian publik mungkin hanya mengetahui hasil UN selain untuk menentukan kelulusan, dipakai untuk pemetaan dan tiket masuk ke perguruan tinggi negeri. Masih sedikit masyarakat yang mengetahui hasil UN juga telah digunakan untuk melakukan pembinaan dalam bentuk intervensi positif berupa perbaikan mutu sekolah melalui pelatihan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan, serta perbaikan dan melengkapi infrastruktur satuan pendidikan.

Kalau hasil UN digunakan sekadar untuk pemetaan, mungkin benar jika ada masyarakat yang kemudian mempertanyakan kenapa mesti dilakukan secara menyeluruh, bukankah cukup melalui sampel beberapa sekolah dengan variasi pada kelengkapan infrastruktur dan kewilayahan, misalnya, sehingga tidak perlu UN?

Mutu pendidikan

Perlu dipahami, karena UN bukan sekadar pemetaan, melainkan juga untuk menentukan indeks kompetensi sekolah, yang bermuara pada pengendalian mutu sekolah, termasuk di dalamnya siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta infrastruktur pendukung sekolah, pengukurannya pun dilakukan secara menyeluruh.

Memang dalam teori pengendalian mutu dikenalkan pengendalian statistika mutu (statistical quality control). Dalam teori itu, untuk produk massal tidak perlu dinilai semua, cukup diambil sejumlah sampel yang mewakili populasi produk yang dikendalikan mutunya.

Metode itu dikembangkan karena beberapa alasan. Pertama, pengujian tersebut dilakukan dengan merusak produknya sehingga tidak mungkin dilakukan pengujian terhadap keseluruhan produk. Kedua, pengujian tersebut memakan waktu terlalu lama sehingga menghambat proses penyampaiannya kepada pengguna.

Dengan demikian, dalam pengujian keberterimaan dilakukan penyampelan keberterimaan (acceptance sampling). Dalam metode itu, diambil sejumlah sampel produk akhir untuk diuji. Bila hasil pengujian sampel tersebut memenuhi kriteria tertentu--yang dirumuskan berdasarkan dalil-dalil statistik-keseluruhan populasi produk akhir dikatakan memenuhi syarat, termasuk yang tidak diuji.

Tentu berbeda dengan pengendalian mutu pendidikan. Tidaklah tepat jika menggunakan pengendalian statistika mutu. Bayangkan, sejumlah calon lulusan dipilih berdasar kan teknik pengambilan sampel, kemudian mereka diuji kompetensi untuk penentuan berapa banyak yang me menuhi standar, lalu hasilnya diolah berdasarkan dalil-dalil statistik untuk menyimpulkan karakteristik populasi calon lulusan, dan bila tidak memenuhi syarat, keseluruhan lulusan dikatakan cacat, dan semuanya harus diuji kembali.

Sekali lagi, pendekatan statistik seperti ini tentu tidak cocok. Ada bebe rapa alasan bisa dikemu kakan. Pertama, pendidikan bukan produk mas sal. Tiap peserta didik ialah unik sehingga ti dak boleh dihakimi berda sarkan kinerja peserta didik lain.

Kedua, pengujian sampel hanya dipakai untuk produk dengan tingkat kualitas biasa dan bukan produk 
yang kritis. Lulusan pendidikan ialah produk kritis bagi kemajuan bangsa dan tingkat kualitas yang diinginkan ialah terbaik (finest).

Ketiga, pengujian sampel selalu diiringi dengan risiko, yaitu risiko menyatakan baik padahal jelek (risiko produksi) dan risiko menyatakan jelek padahal baik (risiko konsumen). Risiko semacam itu akan memberikan dampak yang luar biasa sehingga tidak layak dipakai terhadap lulusan pendidikan.
Keempat, pengujian berda sarkan sampel tidak dapat dipakai untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap individu satuan pendidikan dan peserta didik sehingga ketepatan sasaran program afirmatifnya tidak terjamin. Kelima, pengujian sampel hanya boleh dipergunakan bagi populasi yang dari sejarahnya diketahui memiliki proporsi catat yang relatif kecil, yaitu kurang dari 10%.

Dengan alasan-alasan itu, teknik pengendalian statistika mutu tidak dapat dipergunakan dalam pengendalian mutu pendidikan walaupun banyak dipergunakan dalam pengendalian produk massal pada umumnya.

Penghematan yang diperoleh tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Sebagai konsekuensinya, pengendalian mutu pendidikan ialah berdasarkan populasi produk yang diuji sebagaimana dilakukan selama ini dan pada masa-masa yang akan datang. Praktik terbaik di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik pengendalian statistika mutu untuk menjamin mutu pendidikan.

Pertanyaannya, bagaimana dengan pengukuran yang dilakukan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment) yang pengukurannya hanya menggunakan sampel. Jawabnya, TIMSS dan PISA tidak dirancang sebagai alat penjaminan mutu, tetapi sekadar alat pengukur dan pembanding mutu, terhadap capaian peserta didiki dari beberapa negara. UN dirancang sebagai alat untuk penjaminan mutu sehingga dilakukan secara menyeluruh di tingkat satuan pendidikan dan pada seluruh peserta didik.

Sembunyikan fakta

Kembali pada pro-kontra. Sebenarnya, baik yang pro maupun kontra jika melihat payung hukum yang digunakan--dalam hal ini UU Sisdiknas--sudah menemukan titik temu. Perbedaan lebih terjadi karena pasal yang digunakan hanya sebagian, tidak utuh. Padahal diketahui, pasal dalam sebuah UU, antara satu dengan lainnya saling mengait, tidak bisa berdiri sendiri.

Benar dan memang tidak bisa dibantah bahwa Pasal 58 ayat (1) menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Itu yang selama ini dilakukan pendidik di dalam menentukan peserta didik untuk naik atau tidak ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Proses itu sebagai bagian dari evaluasi internal.

Mereka yang kontra UN kerap kali hanya menggunakan dan membaca ayat (1) itu, dan berusaha menyembunyikan fakta ke ayat (2) yang menyatakan evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemis, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Proses itu dikenal sebagai evaluasi eksternal, dan lembaga mandiri yang menyelenggarakannya itu adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Di sinilah sesungguhnya letak perbedaan yang memunculkan pro-kontra terhadap UN, terkait dengan payung hukum, karena mereka yang kontra membacanya tidak utuh dan berusaha menyembunyikan fakta pada ayat (2) sehingga penalarannya pun tidak sempurna, dan ketidaksempurnaan itulah yang mengundang kontra.


Bagi pemerintah, sepanjang UU-nya masih berlaku, tentu menjadi keharusan untuk tetap menjalankan amanah UU. Jika tidak, justru pemerintah dianggap tidak patuh di dalam menjalankan perintah UU. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar