Sabtu, 30 November 2013

Memaknai Mogok Dokter

Memaknai Mogok Dokter
JB Soebroto  ;   Pengurus IDI, Perhuki, Persi; Direktur RS Puri Husada Yogyakarta
KOMPAS,  30 November 2013
  


BANYAK orang mengatakan,  profesi dokter adalah profesi mulia. Profesi yang kehadirannya dibutuhkan masyarakat setiap saat sehingga tidak selayaknya beraksi mogok.

Etika, disiplin, bahkan sumpah dokter pun berkata demikian. Maka, peristiwa pemogokan dokter yang dipicu kasus di Manado, Sulawesi Utara (yang mungkin baru pertama kali ini),  tentu membuat prihatin dan harus menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Kronologi

Tahun 2010 dr A mengoperasi persalinan Ny Y dan kemudian meninggal. Hasil otopsi menunjukkan bahwa Ny Y mengalami emboli udara saat proses melahirkan. Emboli menyumbat aliran darah yang menuju ke jantung dan paru.

Perhimpunan profesi setempat telah mengujinya dan  Pengadilan Negeri Manado membebaskan dr A. Namun, di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan, dr A  bersalah dan menghukum penjara 10 bulan.
Dampaknya adalah pada Senin, 18 November 2013  , dokter berdemo. Kemudian para dokter kandungan atau spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) melanjutkan mogok  selama tiga hari.

Sebagai  ilustrasi banding, puluhan tahun silam seorang dokter di sebuah puskesmas di Pati, Jawa Tengah, menyuntik pasien, terjadi syok anafilatik dan meninggal. Oleh Pengadilan Negeri dokter tersebut dinyatakan bersalah. Namun, MA kemudian menyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari hukum.

Dalam tata kelola regulasi praktik dokter, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dibuat untuk melindungi pasien, meningkatkan mutu pelayanan, dan adanya kepastian hukum.

Namun, para dokter sebenarnya sudah berupaya mengatur agar pelayanan kepada pasien diberikan dengan baik dan benar. Majelis Etik dibentuk untuk mengkaji etik dokter yang relatif  kabur.

Kemudian dibentuk pula Majelis  Disiplin yang bertugas mengkaji ”pelanggaran” disiplin oleh dokter terhadap standar profesi (kewenangan, kompetensi),  standar pelayanan kesehatan (sesuai kondisi status rumah sakit), dan standar  prosedur penanganan jenis penyakit.  Dalam hal ini telah disusun  dan disosialisasikan  UUPK, peraturan pemerintah, permenkes, Konsil Kedokteran.

Mengapa pengadilan pengaduan pelanggaran standar semestinya lewat Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)?  Karena redaksional, prosedural, dan substansial kasus sering bersifat teknis sehingga sulit dipahami hakim  perdata ataupun pidana umum. MKDKI ibaratnya MA-nya dokter dengan  sanksi terberat pelanggaran disiplin berupa pencabutan izin praktik. Dengan demikian, pelanggaran disiplin profesionalisme tidak tepat masuk kategori  malapraktik.
Maka, IDI mengusulkan sanksi disiplin dalam UUPK yang hukumannya pidana dihapuskan. Demikian dan istilah standar diusulkan menjadi pedoman.

Meski demikian, dokter tetap dapat dipidanakan bila, misalnya, melakukan pelecehan seksual atau  aborsi. Yang bersangkutan bisa diserahkan ke pengadilan dengan  hukuman pidana. Inilah malapraktik yang konotasinya kesalahan atau kejahatan.

Di sisi lain setiap pasien meninggal tidak boleh dikonotasikan sebagai malapraktik, tetapi dikategorikan dalam kemungkinan adanya pelanggaran disiplin profesional. Ini berdasarkan asumsi bahwa tidak ada dokter yang dengan sengaja ingin mencelakakan pasien.

Ilmu dan pelayanan kedokteran sebenarnya upaya penyembuhan anugerah karena dalam prosesnya melibatkan Allah. Ilmu kedokteran dan dokter dengan demikian memiliki keterbatasan, jauh di bawah keagungan ketidakterbatasan Allah. Pada kasus yang memicu aksi mogok pekan ini, syok anafilaktik akibat emboli air ketuban adalah pengentalan darah saat operasi. Ini adalah kondisi yang tak dapat diprediksi dan diantisipasi.

Demikian pula halnya penanganan pasien dengan latar belakang penyakit lain atau kondisi tubuh rapuh atau berusia lanjut, yang dapat  meninggal bukan karena penyakit terkininya.

Perawatan terminal

Di sisi lain, perawatan terminal yang  bertujuan mengurangi penderitaan merupakan tugas mulia dokter, tidak boleh  dituntut hukum penyiksaan, pembunuhan terselubung ataupun terencana, praktik di luar kompetensi, atau melanggar hak mati.

Pelayanan dokter harus berorientasi patient safety; karenanya diperlukan informed consent, baik lewat komunikasi lisan, bahasa tubuh, maupun tertulis, secara timbal balik sesuai cara budaya dan bahasa populer setempat, yang mencakup penyakit, prosedur tindakan, dan risikonya. Hal ini tentu tidak mudah bagi kedua belah pihak; sehingga tidak-layaklah kesepakatan informed consent tertulis dipermasalahkan. Munculnya demo dan mogok dokter karena menyangkut masalah mendasar, substansi masa depan praktik  dokter, bahkan layanan kesehatan secara umum. Melengkapi pembelajaran kasus ini  apakah MA sudah berkonsultasi dengan MKDKI?

Semoga mogok dokter ini untuk yang pertama dan terakhir. Harapannya, seluruh  bangsa, baik dokter, masyarakat, maupun para penegak hukum, semakin cerdas dan bijaksana bersama menuju kemajuan bangsa!

Religiositas “Bangsa Wayang”

Religiositas “Bangsa Wayang”
Asep Salahudin  ;  Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat
KOMPAS,  30 November 2013



MENJADI ”bangsa wayang”, inilah tempo hari yang sangat dikhawatirkan Tan Malaka, seorang yang hidup sebagai manusia pelarian di sebelas negara dan disebut Yamin perancang republik sebelum kemerdekaannya tercapai melalui bukunya (1925) Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini lahir jauh sebelum Hatta menulis  Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) (1928) dan Soekarno menuangkan gagasan, ”Menuju Indonesia Merdeka” (1933).

Bangsa wayang semiotikanya merujuk kepada sebuah bangsa yang kehilangan jati diri. Tak ubahnya wayang yang hidup dan matinya sepenuhnya berada dalam genggaman takdir ki dalang. Dalam konteks ini, dalang itu dapat bernama gurita ”kepentingan asing” atau juga sifat serakah yang mengalir dalam nadi para penyelenggara negara.

Negara yang hilang daulatnya karena dikelola ”para pencuri” yang tidak pernah kehilangan nafsu untuk terus memburu benda dengan menghalalkan beragam cara. Administrasi publik justru tidak untuk kepentingan khalayak, tetapi bagi upaya memperkaya diri dan golongannya. Orang menyebutnya  sistem kleptokrasi (berasal dari  bahasa Yunani klepto+kratein  yang berarti ”diperintah para bandit”).

Merdeka 100 persen adalah siasat tanpa henti berkelit dari sekapan bangsa wayang. Dari watak politik yang sama sekali tidak mendistribusikan  kesejahteraan, dari ekonomi yang hanya gempita dirayakan segelintir elite, dari pendidikan yang tidak menjadi jendala mentransformasikan diri menuju kebebasan utuh, dari budaya yang hanya mengagungkan raga. Seratus persen merdeka adalah amanat  lagu yang acap kali kita dendangkan penuh riang: Sorak-sorak bergembira/Bergembira semua/Sudah bebas negeri kita/Untuk s’lama-lamanya/ Indonesia  merdeka! (Merdeka!)/Menuju bahagia! (Bahagia!)/Itulah tujuan kita/Untuk s’lama-lamanya.

Medan religius

Termasuk merdeka 100 persen adalah ketika negara tidak melakukan pemihakan terhadap keyakinan warganya. Pilihan beragama adalah hak dasar setiap insan yang dijamin Tuhan juga mendapat perlindungan undang-undang. ”Siapa yang hendak beriman, imanlah. Siapa yang mau kafir, kafirlah”. Agama adalah panggilan Sang Kuasa relasinya dengan para pemeluk agama itu sendiri. Agama adalah ”wadah” tempat membangun kohesivitas sosial satu dengan lainnya.

”Wadah” ini apabila tidak dikelola secara saksama sangat rentan menimbulkan benturan, bukan hanya intern umat beragama, melainkan juga antarumat beragama. Justru hari ini pascareformasi, seperti dalam sejumlah survei, kekerasan atas nama agama terus mengalami eskalasi. Tragisnya negara yang semestinya hadir sebagai wasit menyelesaikannya malah absen. Padahal, kekerasan simbolik seperti ini dapat menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI, bagi keragaman yang telah menjadi khitah masyarakat kita seperti dengan indah dirumuskan para leluhur lewat falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

”Wadah” dalam praktiknya menjadi pisau bermata dua: mendatangkan musibah atau memunculkan faedah. Menjadi musibah manakala agama hanya menjadi institusi primordial untuk memfasilitasi nafsu menguasai (Max Weber) atas nama kebenaran yang sebermula telah ditahbiskannya bersifat tunggal, bukan sebagai medan pemahaman guna berdialog dalam suasana komunikasi diskursif yang lapang, setara dan saling menerima (Habermas), membangun persahabatan tulus (Aristoteles)  dalam napas keterbukaan (Socrates) yang ditancapkan di atas dasar metafisis teologi kerukunan.

Hari ini yang pertama yang sering terartikulasikan dalam kamar gelap politik keberagamaan kita. Semacam agama yang telah ”dibajak” para pemeluknya, telah ditafsirkan dalam kerangka pemahaman ”pendakuan”.  JP Sartre menyebutnya sebagai penafsiran yang bertendensi terhadap pusaran modus keinginan menjadi ”tuhan” itu sendiri.  Karena telah menganggap ”tuhan”, ihwal yang di luar dirinya dipandang menyimpang, mereka yang tidak sehaluan dianggap menyesatkan yang harus diluruskan kalau perlu dengan pentungan karena dianggap sebagai akar dari segala bentuk kemungkaran.

Beragama menjadi sangat hiruk-pikuk dengan urusan mengurus ”orang lain”. Sibuk dengan upaya menyatukan dunia dalam fantasi monolitik.  Dalam kategori ”kebaikan” (baik secara personal maupun sistem) yang diimajinasikan secara subyektif, arbitrer, semena-mena, dan ahistoris. Front 
Pembela Islam yang bersemangat memberantas maksiat, Hisbut Tahrir yang berupaya mencongkel sistem demokrasi dengan khilafah, jemaah tablig yang bernostalgia dalam atmosfer kehidupan silam, atau wahabi-salafi yang menebar stigma ”bidah” kepada liyan, saya membacanya dalam konteks seperti ini. Mengkhawatirkan sekaligus mengharukan.

Barangkali menjadi tetap relevan renungan Soekarno dalam Surat-surat Islam dari Ende (1964), ”Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, melainkan seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam glory yang dulu, tidak kembali ke ’zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran bahwa kita harus mengopi ’zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?  ”

Ke dalam

Sejatinya ada hal penting yang melampaui wadah itu, yaitu isi. Inilah yang disebut penghayatan iman. Beragama dengan segala imperatif etiknya sebagai modus pergumulan melakukan perbaikan diri tanpa mengenal henti. Untuk melonjakkan harkat kemanusiaan menuju marwahnya yang utuh. Beragama sebagai medium  merasukkan rasaning daif di hadapan kuasa Tuhan yang maha melintasi.

Iman yang menyuntikkan kesadaran lekas kembali kepada fitrah keyakinan itu yaitu kepasrahan (Islam) danrawayan (jalan rohani) mencari kebenaran dalam semangat keterbukaan (hanif). Iman yang bersimpuh dalam keheningan mistik (mystic silence) menggetarkan sekaligus iman yang ”hidup dalam kekudusan”. ” Iman yang nyalanya menerangi segala arah penjuru mata angin. Iman yang memandu suara hati untuk terus berada dalam hukum moral yang bertakhta pada palung batin (Kant) sehingga terwujud    gerak  selaras manusia dan roh dalam  api emansipasi dan kebebasan (Hegel).

Atau dalam istilah Cicero yang dikutip YB Mangunwijaya (1998), qui autem omnia quae ad cultum deorum partinerent, diligenter recractarent et tamquam relegerent, sunt dicti religiosi. Dalam ungkapan Amir Hamzah, iman sebagai dialektika nyanyian sunyi yang terkadang ”Bertukar tangkap dengan lepas”.

Kepentingan Indonesia di WTO


Kepentingan Indonesia di WTO
M Riza Damanik  ;  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice
KOMPAS,  30 November 2013



SETELAH berhasil menjadi penyelenggara dua perhelatan berskala internasional: Miss World dan APEC 2013, berikutnya 3-6 Desember Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri IX WTO. Kali ini, adakah kepentingan Indonesia hendak dimenangkan?

Secara teknis, menjadi tuan rumah WTO di tengah situasi defisit neraca perdagangan dan anggaran belanja negara tentulah menjadi kurang bijak dan serba percuma. Itu karena, merujuk ongkos penyelenggaraan KTM VI 2005, Pemerintah Hongkong menghabiskan sekitar 256 juta dollar Hongkong, sedangkan kontribusi sekretariat WTO diperkirakan kurang dari 30 juta dollar Hongkong. Meski tidak ada angka pasti alokasi biaya yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia untuk empat hari konferensi di Bali, dipastikan jumlahnya lebih besar dari Hongkong!

Begitu pun masalahnya secara substansi. Konferensi dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan 159 negara anggota WTO terhadap sistem perdagangan multilateral. Langkah ini dianggap perlu untuk merespons pertumbuhan ekonomi dunia yang sedang melambat. Namun, hingga akhir perundingan di Geneva, Swiss, (26/11), justru gagal membawa rasa keadilan.

Minus keadilan

Terdapat tiga isu kunci yang hendak dituntaskan dalam formula Paket Bali. Pertama, fasilitas perdagangan, yang bertujuan memudahkan akses pasar ekspor-impor melalui standardisasi prosedur kepabeanan dan sanksi. Merujuk pada World Trade Report (2013), tren pembengkakan impor negara berkembang terus berlangsung. Bahkan pada 2012, ketika persentase pertumbuhan impor di negara-negara maju minus 0,1 persen, pertumbuhan impor di negara berkembang masih berkisar 4,6 persen.

Kenyataan masih rendahnya daya saing, penguasaan teknologi, dan standardisasi produk di negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Lalu, buruknya komitmen negara maju memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas. Jadi, isu fasilitas perdagangan (lebih) memperlancar arus barang dari negara maju ke negara-negara berkembang dan kurang berkembang, termasuk kepada 240 juta rakyat Indonesia.

Kedua, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang. Sebanyak 53 negara kurang berkembang berharap mendapatkan perlakuan khusus, berupa: duty free-quota free, ketentuan surat keterangan asal, dan kemudahan akses pasar jasa ke negara maju. Sebaliknya, negara maju hanya menjanjikan paket ini dengan komitmen rendah dan tidak mengikat (voluntary).

Isu terakhir dan paling kontroversial akhir-akhir ini adalah pertanian. Sebanyak 46 negara anggota G-33 mengusulkan penghapusan ketentuan WTO yang membatasi negara berkembang memberi subsidi bagi sektor pertanian, khususnya untuk kepentingan keamanan pangan dan cadangan pangan domestik. Jika saja proposal ini disetujui: upaya mempercepat kesejahteraan petani dan nelayan, meningkatkan produksi pangan lokal, termasuk mengurangi ketergantungan pangan impor di negara berkembang dapat tercapai.

Celakanya, negara maju justru melakukan serangan balik dengan menawarkan skema peace clause. Skema itu memberi batas waktu tertentu (baca: hanya 4 tahun) bagi negara berkembang untuk boleh memberi subsidi kepada pertanian domestiknya.

Jadi, berbeda dengan Gita Wirjawan dalam tulisannya ”KTM Ke-9 WTO dan Paket Bali” (Kompas, 19/11), saya justru berpendapat Paket Bali tidak akan memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia ataupun rakyat di negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang lain.

Kepentingan Indonesia?

Kerja sama luar negeri yang baik haruslah dalam kerangka mengarusutamakan kepentingan nasional Indonesia (national interest), termasuk di antaranya: mengentaskan rakyat dari kemiskinan, menambah lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian lingkungan, serta mewujudkan ketertiban dan keadilan global.

DPR perlu segera memanggil Menteri Perdagangan Gita Wirjawan selaku Ketua Panitia Nasional KTM IX WTO. Lalu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, serta Menko Kesra Agung Laksono, yang masing-masing ditunjuk Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2013 sebagai tim pengarah.

Pasalnya, baik secara teknis maupun substansial, hampir mustahil konferensi WTO dapat memberi manfaat bagi rakyat Indonesia. Karena itu, DPR perlu memastikan agar pemerintah tak menandatangani rumusan Paket Bali. Dan, segera mengambil inisiatif untuk mengajak negara-negara yang hadir merumuskan alternatif sistem perdagangan multilateral, dengan prinsip: solidaritas, saling melengkapi, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Tanpa keberanian itu, komitmen Pemerintahan SBY di Bali hanya akan memberi dampak buruk kepada rakyat dan pemerintahan setelah Pemilu 2014. 

Mengapresiasi Solidaritas Dokter

Mengapresiasi Solidaritas Dokter
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KOMPAS,  30 November 2013



PUTUSAN hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan pidana terhadap tiga dokter ternyata menimbulkan aksi solidaritas oleh ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk rasa) di Jakarta dan sejumlah daerah.

Mahkamah Agung memvonis tiga dokter RS Prof Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18 September 2012. Salah satu pertimbangan hukum MA, ketiga dokter itu melakukan ”malapraktik” dalam menangani Julia Fransiska Maketey yang hendak melahirkan pada 10 April 2010, yang akhirnya meninggal dunia.

Kita memahami solidaritas itu sebagai kerisauan para dokter lantaran diduga terjadi kriminalisasi dalam menolong pasien. Keniscayaan perlindungan terhadap dokter dalam melaksanakan tugasnya yang amat mulia patut diapresiasi sebagai langkah bijak untuk tak boleh mengkriminalisasi para dokter dan pekerja medis. Kriminalisasi bisa dimaknai sebagai tindakan hukum yang sebetulnya tidak bersalah, tetapi dinyatakan bersalah dalam sebuah proses peradilan.

Pemenuhan keadilan

Siapa pun akan mendukung dokter yang bekerja secara profesional, menjalankan dan menaati seluruh standar etika, moral, dan profesi. Apabila ada perlakuan yang tidak adil, bukan hanya dokter yang gerah, melainkan juga pasien dan warga masyarakat akan turut gelisah.

Akan tetapi, juga bisa muncul pertanyaan: apakah dokter tidak bisa dipidanakan jika dalam melaksanakan profesinya melanggar prosedur dalam penanganan seorang pasien sebagaimana dimaksud dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran?

Tulisan ini tidak akan terlalu jauh menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera dalam putusan MA. Namun, ada pertanyaan lain yang juga patut dicermati, selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh keadilan? Apakah pelayanan kesehatan yang mestinya juga berkeadilan buat pasien dan semuanya, tetapi banyak yang tidak terpenuhi lantaran para dokter meninggalkan tugas?

Pertanyaan ini juga sering dilontarkan para pengusaha saat buruh berunjuk rasa atau mogok kerja, yang menurut para pengusaha menimbulkan kerugian (ketidakadilan) bagi perkembangan usahanya. Semua profesi di mata hukum tidak ada yang kebal hukum, tetapi tidak boleh dikriminalisasi. 
Apalagi  hukum mengatur: siapa pun bisa dipidana jika jelas-jelas dan terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan profesinya.

Aksi solidaritas dokter dengan melakukan unjuk rasa dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi, tidak boleh berimplikasi sebagai pembenaran seolah-olah betul terjadi kriminalisasi dalam putusan MA. Upaya hukum masih bisa dilakukan melalui peninjauan kembali (PK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.

Pertama, bila terdapat keadaan baru atau bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat jika keadaan itu diketahui saat sidang masih berlangsung, hasilnya bisa membebaskan terdakwa atau dipidana lebih ringan.

Kedua, bisa juga terjadi jika sejumlah putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Ketiga, jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. Artinya, putusan MA secara nyata terjadi kekeliruan hakim dalam menerapkan pasal undang-undang. Ketiga alasan untuk mengajukan PK merupakan alasan yang bersifat limitatif.

Profesi dokter begitu mulia lantaran berada pada wilayah kemanusiaan, yang bertujuan menolong orang dan tidak berniat membahayakan pasien. Ini merupakan konsekuensi dari filosofis bahwa tidak ada pekerjaan yang mulia di muka bumi ini yang diniatkan untuk membahayakan orang lain. Kecuali, tentu saja, para penjahat atau koruptor yang memang memiliki niat jahat (mens rea) sehingga tidak bisa dijadikan argumen pembenaran untuk melakukan aksi solidaritas oleh sejawatnya.

Tidak antikritik

Profesi apa pun tidak luput dari kesalahan atau kealpaan karena yang menjalankan adalah manusia biasa. Tak boleh antikritik, apalagi arogan, dalam menyikapi putusan hukum sebab sudah disiapkan sarana untuk memperbaikinya jika putusan itu dianggap salah atau keliru.

Dalam beberapa keluhan di masyarakat, seperti profesi kepolisian, advokat, atau guru dan dosen acapkali juga menerima kritik tajam. Hal ini sesuatu yang wajar sebab dalam praktik sehari-hari, ada saja polisi yang dinilai menyalahi ketentuan, advokat yang keliru, atau guru dan dosen dicurigai tidak adil memberikan nilai. Begitu pula profesi dokter, misalnya keluhan bahwa dokter lamban atau ceroboh menangani pasien. Semuanya harus disadari bahwa kritik itu berguna sebagai introspeksi untuk diperbaiki dan tidak akan terulang di kemudian hari.

Kasus tersebut memberi pelajaran amat berharga bahwa keadilan haruslah diberikan untuk semua. Siapa pun harus berlaku adil kepada dokter, kepada pasien, dan kepada siapa saja untuk memperoleh perlakuan adil dalam kehidupan sehari-hari dan di muka hukum.

Solidaritas patut diapresiasi asalkan dilakukan dengan elegan dan bermartabat untuk menyelesaikan persoalan. Dalam negara hukum, putusan hakim selalu dihormati meski wajar dikritisi. Kalau putusan MA yang secara formal telah berkekuatan hukum tetap dianggap tidak adil, disediakan mekanisme untuk melawan ketidakadilan itu.

Karisma

Karisma
James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  30 November 2013
  

PARA tokoh yang menjadi calon presiden, atau yang diusulkan untuk menjadi calon presiden, harus menggunakan waktu yang tersisa untuk membangun karisma dalam diri mereka agar pemilih mau memilih mereka.
Tanpa karisma yang memadai, sulit bagi para calon presiden itu meraih mayoritas suara pemilih dalam pemilihan presiden secara langsung. Dan, hanya dengan karisma itu pulalah seorang presiden dapat dengan aman menduduki jabatan tersebut.
Jika karisma itu, yang di dalam kekuasaan raja di Jawa dikenal dengan Wahyu Cakraningrat, sudah meninggalkan seorang raja, atau dalam hal ini presiden, kekuasaannya akan berlalu. Tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Presiden Soekarno, yang sebelumnya begitu dipuja-puji oleh segenap rakyat Indonesia, mengalami hal itu menjelang akhir kekuasaannya. John Hughes dalam bukunya, The End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge Ran Wild, terbitan Archipelago Press, menulis, ”Selama hampir 20 tahun, Presiden Sukarno menebar pesona sihir politiknya melintasi Indonesia. Namun, di ibu kota Indonesia, Djakarta, pada suatu hari yang panas dan lembab pada bulan Maret 1967, pesona itu akhirnya lenyap, sihirnya pun kehilangan kekuatannya, dan legenda itu hancur berantakan. Sukarno dilucuti oleh wakil-wakil rakyatnya sendiri dari sisa-sisa kekuasaannya. Malahan, mereka melantik dan mengambil sumpah seorang jenderal Angkatan Darat berusia 46 tahun bernama Suharto sebagai Penjabat Presiden.”
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Presiden Soeharto. Sulit untuk menjelaskan mengapa Soeharto yang sudah memerintah lebih dari 30 tahun, dan secara bulat diangkat oleh MPR sebagai presiden untuk periode yang ketujuh (1998-2003), diminta untuk meletakkan jabatannya tidak sampai 70 hari sesudahnya.
Nasib Presiden Abdurrahman Wahid tidak jauh berbeda. MPR yang mengukuhkannya sebagai presiden untuk periode 1999-2004, adalah juga yang memberhentikannya, dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai penggantinya, 23 Juli 2001.
Keadaan Presiden Megawati Soekarnoputri berbeda. Karisma yang dimilikinya cukup untuk membuat MPR memilihnya sebagai presiden. Namun, tidak cukup untuk membuatnya meraih suara terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung yang digagasnya. Sebagai presiden yang tengah menjabat (incumbent), Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendatang baru.
Melihat arti penting dari karisma seseorang untuk memuluskan perjalanannya ke kursi presiden, maka para tokoh yang menjadi calon presiden harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang dimaksudkan mempersiapkan diri adalah membangun karisma, antara lain dengan membangun citra (pencitraan), antara lain, lewat pemberitaan di media massa, iklan, atau bahkan blusukan.
Persiapan itu tentunya bagi para tokoh yang diusung oleh partai-partai besar, yang kemungkinan meraih lebih dari 20 persen suara dalam pemilihan umum legislatif. Bagi partai-partai sedang ataupun kecil dengan perolehan suara di bawah 20 persen, keadaannya tentu tidak sesederhana itu jika tidak ingin dikatakan lebih sulit. Sebab, partai-partai sedang ataupun kecil harus berkoalisi dengan partai-partai lain untuk mengajukan calon presiden. Padahal, semua partai mempunyai calon presidennya sendiri-sendiri.
Untuk Partai Demokrat, walaupun banyak tokoh yang disemai lewat konvensi, tetap saja yang diambil untuk diajukan nanti hanya satu.
Buat tokoh-tokoh independen, tentu keadaannya lebih sulit lagi karena mereka harus menunggu pinangan dari partai-partai besar. Tokoh independen yang paling populer pada saat ini adalah Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, yang pada saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi yang menjadi tokoh kesayangan media (media darling) dianggap banyak kalangan sebagai salah seorang yang paling berpotensi menjadi presiden. Jokowi telah membuktikan dirinya memiliki karisma untuk menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, yang masih harus ditunggu adalah apakah Jokowi memiliki karisma yang cukup untuk menjadi Presiden Indonesia.
Sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), diharapkan ia akan dicalonkan sebagai presiden oleh partai tersebut. Namun, hingga sekarang belum ada kejelasan apakah PDI-P akan mencalonkan Jokowi sebagai presiden atau wakil presiden. Disebut-sebut, Jokowi akan dipasangkan dengan Megawati, tetapi hal tersebut dibantah oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Tjahjo Kumolo.
Ada baiknya, Megawati tidak lagi mencalonkan diri, baik itu sebagai presiden maupun wakil presiden. Oleh karena, pada tahun 2004, ketika maju sebagai presiden yang tengah menjabat saja, Megawati sudah kalah. Kekalahan yang sama juga dialaminya ketika maju kembali pada tahun 2009. Megawati sendiri, pada sebuah kesempatan, pernah mengatakan, ”Masak saya mau lagi…. Bagaimana jika kalah lagi? Apa kata orang nanti?”
Ada yang berpendapat, Jokowi harus dipasangkan dengan Jusuf Kalla. Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah PDI-P mau meminang Jusuf Kalla? Kalaupun mau, apakah Jusuf Kalla bisa dijual? Dalam pemilihan presiden 2009, Jusuf Kalla-Wiranto hanya meraih 12,41 persen suara. ●

Dekemalisasi Republik Turki, Benarkah?

Dekemalisasi Republik Turki, Benarkah?
Frial Ramadhan  ;  Alumni Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Kini tinggal di Istanbul untuk melakukan penelitian mengenai sejarah Ottoman dan Republik Turki
INDOPROGRESS,  29 November 2013
  


DI PAGI yang cukup dingin ini, saya ditanya oleh guru bahasa Turki saya hal yang membuat hati saya bergetar. Sebabnya, pertanyaan yang diajukan cukup sulit dijawab: ‘Apakah perbedaan antara Attaturk dan Erdogan?’ 
Awalnya, saya tersenyum biasa-biasa saja, namun tak disangka ia menunggu jawaban saya, bahkan dengan setengah memaksa. Spontan saja saya menjawab, ‘Attaturk, CHP’den ve Erdogan AKP’den’ yang artinya, 

Mustafa Kemal Attaturk berasal dari CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) sedangkan Recep Tayip Erdogan berasal dari AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi). Keduanya merupakan pertai jumbo yang sedang bersaing dalam kancah politik Turki. AKP merupakan partai yang sedang berkuasa, sementara CHP mengambil jalan menjadi oposisi. Kedua partai sedang bersaing secara ideologi untuk menentukan masa depan Republik Turki yang tengah mengalami perubahan.

Banyak kalangan, baik para ahli maupun praktisi, menganalisa bahwa Turki sedang mengalami perubahan besar. Tentu saja dikarenakan posisi AKP sebagai partai penguasa lambat laun sedang meniti jalan untuk mentransformasikan negara Turki menjadi negara yang lebih demokratis. 

Proses demokratisasi Turki ini ternyata ditanggapi sebagai ancaman bagi ideologi bapak republik Turki, Mustafa Kemal. Bahkan, tuduhan dekemalisasi atau upaya mengubur ideologi kemalisme pun telah mengemuka. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah upaya dekemalisasi benar-benar ada?

Kebijakan-kebijakan dari Tayip (Recep Tayip Erdogan) dianggap sebagai ‘bom’ bagi  benteng ideologi kemalisme yang sudah puluhan tahun tumbuh, berkembang dan mengakar di negara yang pernah memiliki imperium terbesar di dunia itu. Kebijakan paket demokrasi, kebebasan memakai jilbab baik di kampus maupun parlemen, rekonsiliasi dengan suku Kurdi, penutupan dershane (program persiapan masuk universitas), pemisahan tempat tinggal pelajar wanita-lelaki merupakan salah satu percikan pertarungan ideologi dan dugaan dekemalisasi.  Pertarungan ideologi dan politik ini tentu saja melibatkan dua partai besar, yakni AKP dan CHP.
Baik AKP maupun CHP, keduanya memiliki dasar ideologi dan basis masa yang jelas. AKP adalah partai yang membawa ideologi demokrasi dengan basis masa kaum Islamis. Terminologi islamis yang ditulis dalam artikel ini mengacu pada sekelompok masyarakat yang menginginkan Islam tumbuh mendominasi baik secara struktural maupun kultural. Sedangkan CHP memiliki ideologi Kemalis, yang tentu saja, berhubungan dengan pendirinya, Mustafa Kemal Atatturk. Ideologi Kemalis CHP dijabarkan melalui enam point penting, yaitu republikanisme, populisme, nasionalisme, sekularisme, etatisme dan revolusionisme. Ideologi ini pernah mengalami ancaman yang kemudian diselingi oleh kudeta militer. Militer selalu menjadi tameng bagi ideologi kemalisme. Mengancam kemalisme berarti tidak akan dilindungi, seperti yang tercantum dalam mukadimah Konstitusi Turki. Artinya, kemalisme merupakan bagian dari konstitusi Turki yang memang didesain sebagai bahan-bahan bangunan Republik Turki, sebagai antitesis dari imperium Turki Usmani.

Waktu ternyata menggiring Turki kepada perubahan besar, tatkala Tayip dan AKP berkuasa tahun 2002. Kemenangan AKP dan terpilihnya Tayip sebagai Perdana Menteri Turki dianggap sebagai kebangkitan kaum islamis, terutama dari kalangan menengah. Selain itu, gerakan tarikat-tarikat dan pemuda muslim di universitas-universitas telah mempercepat dan memuluskan kemenangan kaum islamis. Berbagai kebijakan, seperti memperketat penjualan alkohol hingga kebijakan terbaru menutup  dershane dianggap telah memuluskan langkah untuk menjadikan Turki sebagai ‘negeri Islamis’ yang berkaca pada kejayaan Turki Usmani. 

Padahal pada awal abad ke-20, ketika kemalisme lahir dan berkembang, peradaban dan ajaran Turki Usmani dianggap sebagai ajaran kuno yang senantiasa dibandingkan dengan konsep republik-modern yang lebih rasional.

Tayip dan AKP tentu saja tidak sebodoh itu dengan melakukan tembak langsung bahwa kebijakannya adalah upaya dekemalisasi. Mereka membungkus kebijakannya dengan interpretasi ulang atau pembaharuan kemalisme. Kerap pula disebut sebagai ‘neo-kemalisme.’ Neo-kemalisme yang dimaksud berupa pembaruan konsep-konsep kemalis yang dianggap sudah tidak cocok diterapkan dalam perkembangan dunia global abad ke-21. Kemalisme yang kaku, terkadang dianggap ultranasionalis, militeristik, dan mengabaikan heterogenitas harus diinterpretasi ulang. Munculah gelembung-gelembung ide agar kemalisme dapat diinterpretasikan sebagai ideologi yang plural dan menjunjung kebebasan individu.

Masyarakat tentu merespon dengan positif upaya kebebasan individu yang ditawarkan oleh AKP dan Tayip. Salah satu kebebasan individu yang digulirkan adalah kebebasan memakai jilbab di sekolah, bahkan di parlemen yang baru saja memantik konflik. Respon masyarakat yang positif berubah ketika kebijakan demi kebijakan dimunculkan, seperti rencana perubahan Taman Gezi di Taksim menjadi pusat perbelanjaan dengan gaya barak militer Turki Usmani. Ini memunculkan protes sehingga pemerintah menindak aksi protes ini dengan tegas terhadap para demonstran, termasuk mahasiswa. Ini memberikan sinyal bahwa pemerintah yang dipimpin oleh Tayip belum sepenuh hati memberikan kebebasan individu. Terlebih lagi, kebijakan pemisahan tempat tinggal antara siswa perempuan dan laki-laki dianggap sebagai intervensi terhadap hak-hak pribadi individu. Muncul pula opini bahwa Tayip memberikan kebebasan, namun hanya kebebasan untuk ‘menggunakan simbol-simbol keagamaan.’ Sebutan pemerintahan Tayip sebagai pemerintahan diktator pun mengemuka, meskipun Tayip menawarkan demokratisasi Turki. Namun wacana demokratisasi Tayip hanya merupakan ‘kedok’ untuk memuluskan kekuasaan berlandaskan agama, sedikit demi sedikit mulai muncul.

Dekemalisasi?

Keinginan mengembalikan dominasi agama Islam di Turki, ditanggapi sebagai bagian dari dekemalisasi. Selama ini, gerakan politik Islam dianggap sebagai irtica atau reaksioner sehingga muncul phobia bahwa gerakan Islam akan menjadi ‘bom waktu’ bagi ideologi kemalisme. Artinya ketika muncul kekuatan Islam, meskipun tidak untuk menentang kemalisme, maka terminologi kemalis-islamis selalu muncul. Dan islamis akan selalu dipertentangkan dengan kemalis. Sehingga munculah wacana dekemalisasi.

Profesor Nilüfer Narlı, dari Universitas Bahçesehir, berargumen bahwa pelepasan foto-foto Mustafa Kemal dari beberapa tempat dan penghapusan ikrar kesetiaan di sekolah-sekolah menjadi tanda bahwa Mustafa Kemal akan segera dilupakan. Semih Idiz, dalam artikelnya di Hurriyet Daily News, pun berargumen telah muncul tanda-tanda adanya  pelenyapan Mustafa Kemal sebagai simbol nasional. Selain itu, penutupan dershane  dianggap sebagai upaya dekemalisasi, karena dalamdershane terdapat penanaman doktrin-doktrin Mustafa Kemal. Namun, menurut saya pribadi, penutupan  dershane sebagai upaya melakukan dekemalisasi tidaklah benar, karena gerakan pendidikan Islam yang dimiliki Fethullah Gullen pun memiliki ‘aset’ dalam ‘bisnis’ dershane. Jikalau penutupan dershane ini digunakan oleh kaum islamis untuk melawan arus kemalis, maka mengapa harus dershane, yang notabene banyak dimasuki gerakan Islam sebagai upaya mendidik para pemuda dengan moralitas dan nilai-nilai Islam, yang harus ditutup. Bukankah penutupan dershaneini akan menghambat munculnya pemuda muslim?

Saya pikir, upaya dekemalisasi bukanlah suatu rencana terstruktur dari pemerintahan Tayip, karena dekemalisasi akan hilang dengan sendirinya ketika arus liberalisme dan demokratisasi muncul. Jadi wacana dekemalisasi bisa saja muncul di bawah tanah dengan gerakan yang ‘secuil demi secuil.’ Namun bukan tujuan utama dari pemerintahan Tayip. Wacana dekemalisasi ini muncul dengan didahului oleh wacana diktatorian Tayip yang berkelindan terhadap kaum islamis sebagai basis dari AKP. Karena sesungguhnya, Republik Turki ini adalah republik yang ‘latah,’ yang mana ketika muncul figur yang terkesan islamis maka langsung muncul pula wacana perlawanan terhadap kemalis. Tentu saja kelatahan ini berakar pada konflik awal abad ke-20, ketika kaum kemalis-republik berusaha menekan agama Islam untuk kembali ditempatkan dibalik hal yang bersifat individual, bukan sebagai kekuatan struktur politik.

Karena itu, menurut Saya AKP dan Tayip tidaklah sebodoh yang kita duga. Mereka tidak akan melakukan dekemalisasi secara terang-terangan seperti ini. Kita pun harus ingat bahwa wacana dekemalisasi ini semakin mengauat menjelang pemilu tahun depan, sehingga kepentingan politik pun berperan dalam menggulirkan wacana ini untuk menghantam Tayip. Terlebih lagi persaingan antara AKP dan CHP sedang sangat memanas. Saya kira, jikalau Tayip lebih sedikit tenang, banyak mendengar aspirasi dan tidak terlalu menggulirkan kebijakan yang bersifat intervensi terhadap kebebasan individu, kemungkinan citra Tayip sebagai seorang demokrat akan tetap terjaga. Karena, bagaimanapun, upaya demokratisasi yang dilakukan Tayip harus diacungi jempol, seperti upaya mendamaikan pertikaian yang melibatkan suku Kurdi dengan mendatangkan Barzani sebagai pemimpin suku Kurdi dan para exile Kurdi yang telah meninggalkan tanah Turki sekian lama karena hantaman dari rezim sebelumnya, meskipun, sekali lagi, terdapat seribu alasan untuk menuduh rekonsiliasi suku Kurdi sebagai upaya Tayip mendulang suara di Diayarbakir, basis pemilih Kurdi.

Suatu analisis memang tidaklah hitam putih dan selalu memberikan seribu alasan dan konspirasi. Namun kita harus menerima seribu alasan demi mencari kebenaran. Itulah sebabnya saya bingung ketika guru saya bertanya mengenai perbedaan antara Mustafa Kemal dan Tayip Erdogan, karena membedakan manusia tidak mungkin dilakukan secara hitam putih. Tidak pula semudah membagi peran dalam panggung sandiwara, seperti membagi peran ‘ksatria’ dan ‘iblis.

Ironi Orang Halmahera Timur

Cerita dari Pesisir Nusantara :
Ironi Orang Halmahera Timur
Ismunandar  ;  Bermukim di kampung Buli, Halmahera Timur
INDOPROGRESS,  25 November 2013
  


SAYA lahir dan dibesarkan di kampung Buli, Kecamatan Maba, Kebupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara—tempat bermacam-macam perusahaan tambang mendaratkan eksafator dan buldozer untuk mencukur habis pulau-pulau kecil, gunung dan tanjung yang ada di sini. Saya tak bisa menarik diri dari keterlibatan emosional dengan krisis sosial-ekologi di kampung saya. Singkatnya, saya tidak bisa memposisikan diri sebagai pengamat. Yang hanya bisa saya lakukan: menceritakan apa yang saya dengar, saya lihat, dan saya rasakan.

Saya tak berurusan dengan objektivitas dan netralitas,  sebagaimana dituntut oleh dunia akademisi. Posisi saya adalah korban, mungkin juga ‘pelaku’ dari apa yang biasa disebut ‘pembangunan.’ Seiring dengan berjalannya waktu, semua persoalan yang tak habis-habisnya melilit kebebasan kami. Saya mulai sangsi dengan kata pembangunan.  Kemerdekaan yang melilit kami ini hampir tak ada jedah untuk menarik nafas sebagai tanda lega.

Nasib kami di sini mirip budak yang dijajah. Setelah ruang hidup kami direnggut, tanah direbut, air tercemar. Lebih dari itu, sejarah perlahan-lahan digilas oleh  penanda-penanda baru yang tak kami kenal sebelumnya. Tulisan di bawah ini adalah cerita dari perspektif sebagai korban pembangunan dan investasi.

Kilas Kisah Halmahera Timur

Sebelum menjadi Kabupaten otonom, Halmahera Timur adalah bagian dari kabupaten Halmahera Tengah. Geliat pemekaran pasca-Reformasi menghembuskan angin baru, sehingga mulailah tokoh-tokoh setempat berkonsolidasi menuntut sebuah kabupaten otonom. Maka jadilah kabupaten Halmahera Timur dimekarkan pada 2003.

Dengan alasan kabupaten baru, ruang investasi pun dibuka. Tahun 1997 adalah awal mula bercokolnya perusahaan tambang (nikel). Setelah sebuah pulau kecil di depan kampung Buli—pulau Gee—kecamatan Maba, berhasil dikuasai PT. Antam—yang dikerjakan oleh PT. Minerina Bhakti. Tak butuh waktu lama, berdatangan pula rupa macam perusahaan tambang: PT. Aneka Tambang, Yudistira Bhumi Bhakti, Heng-Fung, Haltim Meaning, dll.

Tahun 2007, warga mulai membentuk kelompok-kelompok kecil, menyusuri hutan, gunung dan tanjung. Tujuannya satu: mengkapling tanah. Ratusan bahkan miliaran rupiah dikantongi setelah perusahaan-peruahaan tambang membayar lahan milik warga. Beralihlah kepemilikan hutan dan kebun ke penguasaan PT. Antam dan perusahaan-perusahaan tambang. Tak tanggung-tanggung, pemerintah daerah memberi Kuasa Penambangan (KP) dalam jumlah besar: 51.320 Ha. Dengan area yang luas itu, gunung yang kokoh di pesisir Buli hingga penghabisan kecamatan Maba, kini menjadi area tambang. Beberapa pulau-pulau kecil yang mestinya tidak dialihfungsi kini jadi area tambang. Puluhan kapal-kapal ekspor berjejer di laut teduh Desa Maba Pura. Bila malam, teluk kecil Maba Pura ini bak kota mengapung.

Setiap hari, jumlah kapa-kapal itu meningkat. Setelah pemerintah pusat menetapkan UU Minerba yang mengharuskan adanya pengelolaan komoditi di dalam negeri. Sementara itu, pemerintah daerah menetapkan tarif—sumbangan pihak ketiga: 500-700 rupiah per ton (disesuaikan dengan pakasitas kapal ekspor).

Hilangnya Ruang Hidup

Kampanye pembebasan lahan dan iming-iming ganti rugi lahan memiliki daya tarik yang sangat kuat, sampai-sampai membuat petani kelapa dan nelayan meninggalkan mata pencaharian mereka. Desa Maba Pura misalnya, sebelum perusahaan tambang datang, kampung ini terkenal sebagai lumbung ikan lebih khusus lagi ikan teri.

Rumah-rumah papan yang berderet sepanjang pesisir pantai Buli hilang sama sekali. Pemukiman-pemukiman sementara seperti Pekaulang, Babatim, Loau, Sen dan Pacigua adalah tempat petani kopra menjalani aktivitas. Di situ pula memoar masa kecil kita terpatri.

Masuknya perusahaan-perusahaan tambang ini disertai iming-iming lapangan kerja:  delapan puluh persen orang Halmahera Timur dan 20 persen dari luar Halmahera Timur. Setelah semua janji-janji kesejahteraan dan jaminan pekerjaan tak terbukti, barulah seorang warga nyeletuk, 

‘Sebenarnya, saat tambang ke sini, seorang laki-laki pernah membimbing kami menolak pertambangan dan semua janji-janji perusahaan itu. Hanya saja, kami tidak terlalu menanggapi serius, karena sibuk mengkapling tanah.’

Mengapa masyarakat tani dan nelayan tiba-tiba jadi pemuja tambang, sementara terjadi aksi tolak tambang di beberapa daerah di Halmahera? Sebut saja Kecamatan Gane Halmahera Utara. Mengapa Kecamatan Maba dan Maba kota, memberi ruang amat besar, hingga perusahaan tambang lenggak-lenggok dengan leluasa?

Saya berusaha memungut cerita seputar sejarah tambang di kampung, persisnya di Buli kecamatan Maba, yang kini sedang dibangun pabrik Ferro-Nikel oleh PT. Antam. Saya seperti yakin betul bahwa alam pikiran masyarakat telah terjangkiti racun tanah merah dengan mantera kemajuan yang mereka baca.

Tahun 1990-an adalah mula PT. Geomin—ujung tombak PT. Antam melakukan aktivitas pengeboran tanah. Tak hanya itu, mereka juga membangun interaksi dengan masyarakat layaknya keluarga besar. 

Kedekatan emosional tersebut dibangun oleh tokoh-tokoh masyarakat di kampung. Pemuda-pemuda kampung yang polos dan tak tahu apa-apa diiming-imingi pekerjaan. Para pimpinan mereka menjalin asmara dengan gadis-gadis kampung, mensponsori pesta muda-mudi, menjadi donatur ragam acara seremonial, bahkan menyekolahkan orang-orang lokal yang dipandang berbakat membaca tanah dan hasil alam (nikel) yang melekat didalamnya. orang kampung dihipnotis dengan desa jadi kota, jembatan layang, mall tempat hiburan malam dll–begitu yang selalu kami dengar.

Krisis Sosial-Ekologi

Barulah sekarang saya menyadari janji-janji itu adalah ilusi. Akhir cerita, kami justru terpisah dari ruang-ruang kehidupan semula: ada jarak antara kami dengan tanah dan air. Hutan dan kebun jadi area tambang, sedangkan perairan biru berganti warna menjadi kuning kecoklat-coklatan akibat aktivitas pertambangan yang jauh dari asas keselamatan manusia dan alam.

Nelayan ikan teri yang masih tersisa tak henti-hentinya mengeluh. Mereka bertahan di atas sisa hasil sekedarnya. Sebelum tambang beroperasi, mereka mendapat rata-rata 2-3 ton ikan teri per bulan, dan kini hanya 200-300 kilogram.

Namun begitu, kerusakan lingkungan yang nyata tak juga menyentil masyarakat sebagai penghuni tanah dan air Halmahera Timur. Khususnya di Buli dan Maba (pusat percepatan krisis di Halmahera). Warga telah dihipnotis melalui kata pembangunan. Statusnya berubah dari warga negara pemilik sah tanah dan air, menjadi pengikut Antam, pemuja modal.

Sekali lagi, ruang hidup dan sejarah tercerabut dari tangannya sendiri. Warga harus bertahan hidup di tengah komitmen pemerintah yang sangat minim atas pemberdayaan sektor riil. Sementara itu, logika pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah pusat membuat PT. Antam dan perusahaan tambang habis-habisan memeras tenaga, keahlian, dan waktu para pekerja tambang. PT. Antam menjalankan logika birokrasi ketat mirip kerja rodi. Tak jarang, buruh tambang ini bertukar kunci di atas mobil, waktu makan hanya belasan menit, usai Idul Adha dan Idul Fitri karyawan dijemput bus tambang, shalat tarawih digeser ke jam dua belas malam, hari Minggu diubah jadi lembur-full, dan karyawan akhirnya memilih kerja daripada ibadah. Itulah tuturan buruh tambang di sini, di Halmahera Timur.

Di sini relasi kuasa juga bermain begitu rupa. Tanjung Epa, berganti nama jadi Pos Bandung. Bila Anda sesekali mengunjungi area tambang itu, akan menemukan nama-nama seperti ‘Pos Bandung’, Pos Jakarta’ juga Pos Chicago—dalam area tambang ada kota besar. Saya pun membatin: mengapa tak dinamai Bus-bus, Bukumatiti, Kukuba—tempat orang Haltim bergulat dengan tanah pohon kelapa. Bukankah nama adalah identitas. Bukankah dari nama sungai, tanjung, teluk, dan pulau itu ada cerita leluhur di sana? Ada sejarah di sana?

Apa jadinya jika nama ‘Baharuddin’ dipanggil Susilo, apa yang hadir dalam benak Anda? Kami dijebak untuk hidup dengan imajinasi ‘yang lain’ dari tanah dan air juga sejarah yang tercermin dalam nama dan simbol pemberian orang tua kami.

Undangan Terbuka

Bagi para psikoanalis yang mahir membaca bawah-sadar, arkeolog yang pandai merekonstruksi sejarah, ekonom yang mengerti tata kelolah sumber produksi dan distribusi,   sosiolog yang menelaah sebab-sebab perubahan sosial,  awak media yang gemar memburu berita, pun siapa saja, datanglah ke sini, ke Halmahera Timur, Buli dan Maba, agar kami dapat keluar dari mimpi-mimpi pembangunan, dan kembali kepada sejarah dan ruang hidup kami. Sebab, kami adalah warga negara yang berdaulat atas tanah dan air di bawah pemerintah daerah yang benar-benar otonom. Kami dapat mengurus dirinya sendiri berbekal identitas sejarah dan kulturnya sendiri. Kami merasa dikeberi oleh Pemerintah Pusat karena harus menerima megaproyek MP3EI itu.

Selamat datang di Haltim, negeri dengan investasi triliunan rupiah yang krisis air bersih, listrik, jaringan komunikasi, dan kebudayaan!