Kamis, 28 November 2013

Basis Perfilman Masa Depan

Basis Perfilman Masa Depan
Hartanto  ;   Warga Grabag Kabupaten Magelang, Anggota juri FFI 2012 dan 2013
SUARA MERDEKA,  28 November 2013
  


"Tepat, memanfaatkan FFI 2013 sebagai tonggak kemunculan eksistensi Jateng sebagai kekuatan perfilman"

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 2013 yang puncak acaranyanya digelar di Semarang pada Desember mendatang, mengusung beban berat. Beban berat itu yakni menjadikan kegiatan itu sebagai ajang komunikasi yang baik antara film-film Indonesia dan masyarakat penonton. Yang terpenting, kegiatan itu harus memberikan gaung kuat.

Capaian itu supaya kota Semarang jangan hanya menjadi tempat pergelaran orang film dan Jateng hanya menjadi pasar bagi film-film Indonesia. Publik justru berharap festival tersebut bisa membawa masyarakat Jateng menjadi pelaku kegiatan perfilman Indonesia pada masa depan.

Kegiatan terkait festival tersebut hendaknya didasari niat menjadikan Jawa Tengah sebagai salah satu kawasan perfilman yang memiliki karakteristik khusus. Modal dasar sudah tersedia, yaitu alam dan budayanya. Potensi komunitas film di provinsi ini cukup menonjol di antara komunitas film daerah lain, seperti DKI Jakarta, DIY, atau Bandung.

Film pendek dan dokumenter kreasi siswa, mahasiswa, dan komunitas film dari Purbalingga, Surakarta, Magelang, Pati, Jepara, dan Semarang menjadi langganan pemenang festival film tingkat nasional. Jateng pun memiliki perguruan tinggi seni dan perguruan tinggi umum yang memiliki kegiatan perfilman. Ada 12 SMK jurusan broadcast, 12 SMK jurusan animasi, 184 SMK jurusan multimedia. Selain itu, dukungan dari seniman dan budayawan.

Mengapa harus film yang dikembangkan? Bukankah sudah ada televisi? Televisi memang memiliki kekuatan sangat dahsyat sebagai media penyampai informasi. Tetapi apakah televisi juga bisa berperan sebagai sarana pendidikan efektif? Menonton televisi selalu berada pada situasi cair, sambil mengobrol, santai, di ruang keluarga, bukan di ruang khusus.

Kemungkinan akan adanya gangguan sangat besar, semisal anak menangis, teman datang, istri minta duit, dan sebagainya. Padahal film, sinetron, FTV disiapkan oleh pembuatnya supaya ditonton secara utuh. Tiap shoot disusun berdasarkan konsep dan skenario rinci, satu shoot lewat kemungkinan terjadi hilangnya makna atau situasi dramatik.

Menonton film di bioskop berbeda. Penonton memang berniat menyaksikan dalam ruang gelap, tak diganggu oleh situasi atau suara yang tidak diharapkan. Daya penetrasi film yang diputar di bioskop sangat kuat dibanding film yang diputar di televisi. Berarti film bioskop yang juga diputar di bioskop memiliki peluang sebagai sarana pendidikan karakter hebat.

Film sebagai wahana pendidikan karakter dimulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Diawali pendidikan melek media dan kritis media, dilanjutkan terampil media. Perlu ditekankan bahwa kegiatan membuat film bukanlah bagian dari gengsi atau gagah-gagahan. Kegiatan itu adalah kesadaran bahwa tiap langkah dalam kegiatan membuat film adalah proses pembelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan.

Membentuk Karakter

Ketika siswa terbiasa membuat film maka nilai-nilai tersebut akan merasuk sehingga membentuk karakter. Diharapkan kegiatan membuat film bukan lagi sekadar ekstrakurikuler melainkan pelajaran reguler atau bagian dari pelajaran kesenian. Sejak 2009 hingga saat ini, penulis diminta menjadi juri festival film pelajar/mahasiswa. Banyak bermunculan film peserta yang secara tema mengejutkan, meskipun secara teknik dasar masih memiliki kekurangan. Banyak tema yang tak pernah tersentuh atau terpikirkan oleh pembuat film mainstream dari Jakarta. Tema-tema yang bisa membuat penonton terhenyak, dan kerap membuat juri menangis terharu. Melalui lokakarya yang sistematis bagi pelajar, mahasiswa, dan komunitas film, bibit-bibit unggul tersebut bisa terasah menjadi kekuatan dahsyat sinema Indonesia masa depan.  

Tahun 2012, tatkala menjadi juri film bioskop FFI 2012, penulis merasa beruntung karena bisa mengamati hampir seluruh film Indonesia produksi 2012. Dari 45 film peserta festival, hanya 10 film yang secara tema, bentuk, dan gaya, bisa digolongkan sebagai film ’’buruk’’. Selebihnya film-film yang santun, memberikan inspirasi, keteladanan, motivasi, dan pencerahan.

Tetapi sayang, film-film tersebut tidak sampai ke masyarakat penonton yang justru membutuhkan, yaitu masyarakat menengah ke bawah. Film tersebut hanya sempat diputar 1-2 hari pada jaringan Bioskop 21, setelah itu menghilang karena tidak ada bioskop second run. Kalau bisa dikembangkan sebuah jaringan bioskop di kota-kota kecil dan kota kabupaten maka film-film yang bisa digolongkan film-film santun tersebut bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Secara teknologi bioskop jenis ini bisa diwujudkan. Produksi dan ekshibisi film di negeri ini didominasi oleh sudut pandang yang ’’sangat Jakarta’’, dengan beberapa pengecualian. Adalah momentum sangat tepat apabila FFI 2013 di Semarang digunakan sebagai tonggak kemunculan eksistensi Jateng sebagai salah satu kekuatan perfilman di negeri ini.

Kalau insan film di Jakarta didominasi sudut pandang yang ’’sangat Jakarta’’ maka insan film Jateng seyogianya menggunakan sudut pandang dan sikap kekaryaan yang lain. Alangkah indahnya kalau Jateng menjadi kawasan sinema berbasis pendidikan karakter, ekonomi kerakyatan, dan profesionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar