Sabtu, 23 November 2013

Intelijen dan Korupsi

Intelijen dan Korupsi
Budiarto Shambazy  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  23 November 2013



PENYADAPAN telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ny Ani Yudhoyono, dan sejumlah menteri oleh Australia mengingatkan kita pada bocornya Wikileaks tahun 2010. Hanya segelintir elite dan warga yang marah kepada Amerika Serikat.

Rata-rata rakyat tidak peduli karena penyadapan dan Wikileaks tak berhubungan dengan urusan perut. Lagi pula yang membocorkan bukan Pemerintah Australia atau AS.

Boleh saja pemerintah melancarkan protes, menuntut maaf, atau mengkaji ulang kerja sama bilateral. Namun, itu ”salah alamat”.

Demo di Kedubes Australia atau AS oleh segelintir orang silakan saja selama tak anarkis atau bikin macet. Toh, hidup jalan terus.

Jelas yang membocorkan penyadapan Edward Snowden, Wikileaks dibocorkan Julian Assange. Mereka vandalis yang di banyak negara justru dielu-elukan sebagai pahlawan.

Akan makin banyak orang yang membocorkan pelbagai jenis rahasia negara. Kita hidup di the internet galaxyyang menguak tabir rahasia yang terpendam puluhan tahun.

Silakan pemerintah minta Australia menyampaikan maaf. Namun, merujuk pada Wikileaks, mungkin Australia cuma menyampaikan penyesalan saja alias enggan minta maaf.

Meminta maaf akan ditafsirkan sebagai pengakuan bersalah. Dan, yang mengaku bersalah biasanya terpaksa berjanji takkan mengulangi perbuatannya.

Berbeda dengan cuma mengutarakan penyesalan sebagai tanda simpati, seperti yang ditunjukkan AS saat Wikileaks bocor. Mana sudi Presiden Barack Obama minta maaf pada kita?

Apalagi, Australia sampai kiamat akan tetap melanjutkan penyadapan. AS juga tetap akan menulis laporan-laporan rahasia negara yang dibocorkan para pejabat kita sendiri.

Memang begitulah dunia intelijen yang mutlak harus berjalan terus tanpa gangguan. Pemerintah boleh gonta-ganti ideologi atau partai, intelijen hanya loyal kepada negara.

Triliunan dollar AS habis untuk dana intelijen Perang Dingin. Kelihatannya saja Gedung Putih dan Kremlin yang berkuasa di AS dan Uni Soviet, padahal pemilik kuasa terbesar NSA dan KGB.

Ibaratnya, selama film-film James Bond masih laku dan berlanjut, kegiatan intelijen tak pernah stop.

Kalaupun PM Australia Tony Abbott minta maaf, itu hebat! Dan, jika ia berjanji takkan mengulangi lagi penyadapan, itu istimewa!

Ingar-bingar penyadapan tak perlu meningkatkan eskalasi yang memperburuk hubungan bilateral yang bertetangga baik ini. Toh, hubungan bilateral pernah mencapai titik nadir pascajajak pendapat Timor Timur 1999.

Buat kita yang penting meninjau doktrin politik luar negeri a thousand friends, zero enemies. Ini doktrin yang naif karena sejatinya tak ada teman atau musuh yang abadi—yang yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Pasca-Reformasi kita berubah wujud jadi kekuatan menengah yang lemah di percaturan Asia Pasifik. Dan, selama empat tahun terakhir kita jadi bangsa kerdil karena seluruh sendi kehidupan dirusak oleh korupsi.

Kerusakan multi-faceted itu membuat kita abai menjaga kedaulatan wilayah dan daya tahan nasional/regional. Semua tergerogoti: mulai dari SDA (sumber daya alam) sampai SDM (sumber daya manusia), mulai dari BUMN sampai harga diri.

Pendek kata, Indonesia kini seperti bukan milik kita lagi. Dan, panggung politik nasional sampai daerah terus-menerus digaduhkan dengan skandal-skandal korupsi.

Ketika pemerintah dari pusat sampai daerah dalam kondisi lemah, intelijen negara-negara asing bergerak cepat mengambil keuntungan. Bagi mereka, Indonesia yang lemah dibalut korupsi ibarat ”surga di dunia”.

Sudah tertakdir kita tidak bisa bersembunyi dari kompetisi sengit antarnegara yang bersaing di kawasan. Kita negara kepulauan terbesar yang wajib membuka Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) untuk kepentingan dagang dan militer internasional.

Asia Pasifik kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Semua negara di kawasan terlibat sengketa wilayah laut dan darat, yang di bawahnya terkandung kekayaan SDA dengan nilai ekonomi tak terkira.

Maka, semua negara di kawasan ini memacu aktivitas mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data-data intelijen di Indonesia. Sekali lagi, salah satu kepentingan intelijen mereka ialah melemahkan kita.

Setelah Perang Dunia kedua berakhir, Indonesia jadi ajang pertempuran antardinas intelijen AS, Uni Soviet, China, Jepang, Australia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan lain-lain. Sadap-menyadap salah satu lingua francayang menentukan perang antar-intelijen.

Terlalu naif meyakini perubahan penting di republik ini, seperti tahun 1965 dan 1998, tak terkait aneka kepentingan regional/global. Kita bisa jadi entitas yang ”serba besar” selama bisa dikendalikan dari jauh olehremote control.

Penyadapan oleh Australia ataupun Wikileaks hanyalah penegasan yang memperlihatkan kita tidak akan kebal, juga sering jadi korban, dari perang intelijen yang abadi. Beruntung Assange dan Snowden telah membuka lagi mata kita tentang kelemahan-kelemahan kita.

Lebih baik urus wilayah udara kita yang sebagian dikontrol tetangga kita yang kecil. Lebih baik stop korupsi dana pembangunan jalan raya perbatasan darat di Kalimantan.

Janganlah mengorupsi dana modernisasi patroli laut untuk menghentikan pencurian produk-produk kelautan. Tambahlah dana intelijen untuk memperkuat kedaulatan, bukan untuk merekayasa hasil pilpres-pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar