Kamis, 28 November 2013

Intoleransi Umat Berbangsa

Intoleransi Umat Berbangsa
Sahat Martin Philip Sinurat  ;   Mahasiswa Magister Studi Pembangunan
ITB Bandung
OKEZONENEWS,  28 November 2013
  


Selama ini kita sudah akrab dengan frasa “toleransi umat beragama”. Tanggal 16 November lalu kita juga memperingati Hari Toleransi Internasional. Sering kali permasalahan toleransi dikaitkan dengan  konflik antarumat beragama. Banyak permasalahan antarumat beragama yang terjadi di tengah bangsa ini. Konflik di tengah masyarakat dengan mudah dapat diprovokasi menjadi konflik antar umat beragama. Pada tulisan ini saya tidak akan membahas secara mendalam tentang “toleransi umat beragama”, namun saya mengajak rekan-rekan untuk mengenal sebuah frasa yang jarang rekan-rekan dengar, yakni “toleransi umat berbangsa”.

Apakah toleransi umat berbangsa? Menurut KBBI, toleransi artinya sifat atau sikap toleran. Toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Umat artinya penganut suatu agama, tapi juga bisa bermakna lebih luas, yakni makhluk manusia. Bangsa sendiri berarti kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan, dan menempati wilayah tertentu di muka bumi. Apabila ketiga kata ini digabung, maka artinya adalah sikap menenggang pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri di antara sekumpulan manusia satu bangsa. Jelas, frasa ini lebih luas maknanya dari toleransi umat beragama dan lebih mengindonesia. Saya katakan lebih mengindonesia karena Indonesia tidak hanya terdiri dari ragam agama saja, tapi juga ragam suku, ras, golongan kaya, miskin, dan lainnya. Maka semangat toleransi umat berbangsa juga dapat dikatakan sebagai semangat berBhinneka Tunggal Ika.

Semangat toleransi umat berbangsa yang mendorong Indonesia bisa tetap bersatu padu, menjalin semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme, serta semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa kebangkitan nasional yang ditandai dengan lahirnya Budi Oetomo pada tahun 1908 yang kemudian berlanjut hingga tercetusnya Sumpah Pemuda tahun 1928 pastinya juga didasarkan semangat kebersamaan sebagai satu bangsa, walau berbeda suku, agama, ras, golongan.

Sayangnya, belakangan ini intoleransi terjadi di bumi indonesia. Tidak hanya intoleransi umat beragama, tapi juga intoleransi di antara umat berbangsa. Si kaya tidak peduli dengan si miskin, agama A membenci agama B, suku C menjelekkan suku D, masyarakat di perkotaan tidak mau tahu dengan permasalahan masyarakat di pedesaan, kaum laki-laki menindas kaum perempuan, dan banyak intoleransi lainnya. Semangat kebersamaan sebagai satu bangsa yang tercipta pada masa penjajahan kemudian lambat laun dilupakan setelah manusia Indonesia merasakan kemerdekaan.

Permasalahan ini semakin meruncing karena menjadi aksi balas-balasan di antara pihak yang berkonflik. Si miskin kemudian mencuri/merampok kekayaan si kaya. Agama B tidak mau membantu dan mengucilkan agama A, dan sebaliknya. Suku D tidak mau bergaul dengan suku C, masyarakat di pedesaan memaki masyarakat di perkotaan, dan lain sebagainya. Para pemuda yang diharapkan menjadi penengah karena merupakan kaum intelektual dan terpelajar juga nyatanya setali tiga uang. Sebagian mereka juga ikut berkonflik dalam intoleransi umat berbangsa. Sisanya disibukkan dengan aktivitas pribadi, hedonisme, dan lain lain.

Untungnya, masih tetap ada pemuda-pemudi yang gelisah melihat intoleransi yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka berusaha mencari jawaban penyelesai masalah. Ada yang membuat pengabdian dan pengembangan masyarakat ke pedesaan. Ada yang membentuk forum lintas agama di kota tempat tinggalnya. Ada juga yang membuat komunitas peduli suku-suku pedalaman dan tertinggal. Gerakan-gerakan sosial ini berusaha membangun lagi bangunan persatuan, kesatuan, dan nasionalisme yg sempat dihantam angin badai dan gempa perpecahan. Pengorbanan yang mereka lakukan memberi secercah harapan kembalinya semangat persatuan di tengah bangsa.

Namun, Indonesia masih membutuhkan lebih banyak lagi pemuda-pemudi yang peduli kepada nasib bangsanya. Melakukan perubahan dan menjadi jawaban tidaklah susah. Kita dapat mengawali dengan menumbuhkan toleransi umat berbangsa di dalam diri kita dan teman-teman kita, menjalin hubungan dengan lintas agama, suku, dan golongan di sekitar kita. Kita juga bisa membuat atau terlibat dalam komunitas-komunitas yang ada di tengah masyarakat. Selain itu kita harus mau mengeluarkan gagasan semangat kebersamaan melalui media sosial yang kita gunakan. Kita juga dapat melakukan kegiatan pengabdian yang konsen mengembangkan masyarakat.

Intoleransi harus dilawan dengan toleransi umat berbangsa. oknum-oknum intoleran yang hanya sedikit namun bersuara harus dihadapi oleh banyaknya rakyat yang toleran namun selama ini memilih untuk berdiam diri saja. Kebangkitan dan pembangunan nasional dapat diraih oleh bangsa yang bersatu. Dan bangsa yang bersatu dapat dicapai oleh rakyat yang tidak mudah termakan isu primordial dan konflik perpecahan. Pemuda-pemudi sebagai kaum intelektual dan kritis harus berada di garda terdepan dan menjadi pelopor toleransi umat berbangsa.

Dengan semangat toleransi umat berbangsa, kebangkitan nasional bukanlah mimpi belaka, tapi akan menjadi kenyataan. Mari kita peringati Hari Toleransi Internasional sembari membulatkan semangat di dalam diri kita untuk selalu menjunjung kebhinekaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar