Sabtu, 30 November 2013

Ironi Demokrasi

Ironi Demokrasi
Abdul Ghopur  ;  Intelektual Muda NU;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa
KOMPAS,  29 November 2013
  


AKANKAH kita sampai ke konsolidasi demokrasi pada Pemilu Presiden 2014? Tidak mudah menjawabnya. Kenyataannya, rakyat yang dalam teori politik menjadi subyek utama dalam pemilu justru terempas, tidak ikut memiliki-menikmati demokrasi gara-gara politisi jadi-jadian. Inilah kualitas demokrasi yang dibangun berdasarkan obsesi kepentingan sesaat.

Politisi jadi-jadian takut ide-ide segar, takut pada beragamnya kultur dalam membangun politik. Maka, perbedaan menjadi musuh bersama mereka.
Namun, karena para pemimpin nasional terlalu takut bertindak menyelamatkan bangsa dan rakyat, jadilah kita negeri tanpa nasib. Krisis kepemimpinan ini melahirkan penyakit-penyakit turunan: perekonomian nasional tidak kunjung membaik, kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan (separatisme dan terorisme).

Sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era Reformasi hanyalah rasa terasing. Orang mulai terasing dari negara, lingkungan, nilai-nilai dasar kemanusiaan, dan akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat.

Pemerintah hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya: keadilan sosial dan kesejahteraan.

Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi belum menegakkan amanat dan cita-cita proklamasi.

Gelombang besar reformasi politik baru menghasilkan ”mediokrasi/
kedangkalan” berpolitik dan ”political broker” bengis.

David Hill (1987) menulis bahwa ketika suatu negara lebih berambisi pada menata politik, nalar harus sadar bahwa politik akan selalu menemukan logikanya sendiri.

Politik sebagai panglima akan menyeret tenaga, pikiran, dan terkadang menenggelamkan cita-cita masyarakat sejahtera. Yang tersisa adalah bagaimana kekuasaan dipertahankan dengan segala cara dengan menafikan cita-cita lain.

Dalam krisis kebangsaan ini, rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap pengelola negara dan melahirkan masyarakat yang apolitis alias golongan putih (golput).

Fenomena golput

Bangsa Indonesia sepanjang 1955-2009 sudah melaksanakan 10 kali pemilu legislatif. Faktanya, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih terus meningkat setiap pemilu.

Fenomena golput sebenarnya sudah terjadi sejak pemilu pertama tahun 1955 akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu.

Golput populer pada era Orde Baru karena diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis saat itu.
Namun, pada era Reformasi yang seharusnya lebih demokratis, golput cenderung meningkat. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 angka golput 6,4 persen, Pileg 2004 menjadi 15,9 persen, dan Pileg 2009 mencapai 29,1 persen (Bismar Arianto).

Sebenarnya, di negara yang sistem demokrasinya sudah berlangsung lebih panjang, pemilu yang ”hanya” diikuti 60 persen pemilih sudah biasa. Di Amerika Serikat, menurut Federal Election Commission, angka partisipasi dalam pilpres 2004 hanya 55,3 persen.

Pileg 2006 hanya mendapat 36,5 persen suara pemilih. Tidak apa-apa tidak ikut memilih karena tidak akan terjadi perubahan yang fundamental.
Lain halnya dengan negara yang sistem demokrasinya baru dibangun. 
Penguasa (incumbent) dengan segala cara mendorong rakyat menggunakan hak pilih karena golput dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem.
Istilah golput muncul pada era Orde

Baru ketika kekuasaan semakin semena-mena. Sekelompok intelektual muda yang merasa memiliki andil dalam perjuangan meruntuhkan rezim Orde Lama, dipelopori Arif Budiman, mendirikan kelompok Golongan Putih (kemudian lebih dikenal sebagai Golput).

Golput adalah perlawanan, dalam bentuk satire, dengan memunculkan lambang segi lima di atas bidang warna putih tanpa gambar. Sasarannya jelas ditujukan kepada Golkar yang juga berlambang segi lima dan bergambar beringin di tengahnya. Reaksi penguasa terhadap golput cukup keras sehingga masyarakat takut terang-terangan menyatakan dirinya golput.

Kini, di era yang (katanya) paling demokratis, golput kembali marak. Gejala meningkatnya ketidakpedulian masyarakat terhadap pemilu menimbulkan kekhawatiran sejumlah kalangan karena rendahnya partisipasi rakyat atas pemilu merupakan indikator ketidakpercayaan rakyat atas sistem yang berlaku.

Di mana letak kesalahan? Apabila dicermati, agaknya telah terjadi kesalahan yang fundamental, kesalahan dalam memaknai politik bahwa ”politik itu kotor”. Premis yang selama 32 tahun terus diembuskan Orde Baru. Karena kotor, standar norma etika dalam berpolitik bukan lagi ukuran. Pemilu berada dalam ranah politik, wajar saja kalau ada rekayasa.

Ironi demokrasi

Akankah bangsa ini sampai ke konsolidasi demokrasi dalam ”jiwa-roh keindonesiaan” pada Pilpres 2014? Beberapa langkah penting harus dilakukan.

Langkah itu harus mengarah pada perbaikan dan penguatan bangsa di bidang sosial, hukum, budaya, politik, dan ekonomi kerakyatan. Semuanya mutlak bersumber dari manajemen negara yang bersih (tidak korup), adil, sejahtera, dan merata.

Negara harus dimerdekakan untuk yang kedua kalinya dari kaki tangan neoliberal. Politik baru harus punya cetak biru yang berkarakter kuat dan memihak rakyat. Politik baru harus berangkat dari kesadaran dan usaha untuk menuntaskan hubungan negara dan rakyat, membentuk formasi sosial sipil baru, mengentaskan orang miskin, dan memeratakan pendidikan.

Maka, kita perlu mendekonstruksi wilayah teritorial, personal (antikultus), dan keberpihakan pada nilai, perdamaian abadi, dan penuntasan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar