Sabtu, 23 November 2013

Keadilan dalam Ekonomi Islam

Keadilan dalam Ekonomi Islam
Hamli Syaifullah  ;   Mahasiswa Magister Keuangan Syariah STIE AD Jakarta,
Serta Aktif di Pusat Riset Ekonomi dan Bisnis Syariah (PREBS
)
SUARA KARYA,  22 November 2013



Kehadiran Ekonomi Islam berusaha menjawab ketidakadilan dari dua sistem ekonomi (Kapitalis dan Sosialis), diganti dengan nilai-nilai luhur yang adil, bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Nilai-nilai keadilan dalam ekonomi Islam lebih menitikberatkan pada nilai-nilai ke-Tuhanan (Ilahiyyah/Tauhidiyah). Sehingga kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) tidak saja berimplikasi pada kehidupan dunia, akan tetapi dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Allah telah menjelaskan bagaimana seseorang yang tidak memiliki kredibilitas keadilan dalam melakukan transaksi di kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan firman-Nya di dalam Al-Quran, "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi," (QS Al-Mutaffifin, 83:1-3).

Allah berusaha mendeskripsikan bagaimana seseorang yang tidak memiliki kredibilitas dalam melakukan transaksi ekonomi. Allah menggunakan kiasan timbangan, akan tetapi apabila digeneralisasikan, ayat tersebut memiliki makna yang lebih luas cakupannya, yaitu menyuruh kepada manusia untuk selalu berbuat adil dalam melakukan transaksi dengan tidak melakukan kecurangan pada orang lain. Selain itu, bentuk keadilan dalam ekonomi Islam dengan ditiadakannya riba dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Allah telah menegaskan di dalam Al-Quran, yang berbunyi: "... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (QS. al-Baqarah, 02: 275).

Riawan Amien (Satanic Finance, 2008:48) menganalisis dari sisi Ilmu Ekonomi bahwa ada tiga konsekuensi utama dengan berlakukanya bunga. Pertama, bunga akan terus menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus meskipun kondisi ekonomi aktual mencapai titik jenuh atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan di antara para pemain dalam sebuah ekonomi. Ketiga, bunga cenderung memposisikan kesejahtraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas.

Selain dua ayat di atas, ada lagi perintah Allah yang menyuruh manusia untuk berbuat adil. Seperti yang termaktub dalam firman-Nya: 

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan ..." (QS: An-Nahl, 16:90). Di lain ayat: "... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka," (QS: Al-An'am,06: 150).

Term ya'dilun di sini berarti menyekutukan, sedangkan term adl berarti keseimbangan (Khusnul Hakim, Prinsip-Prinsip Keadilan Menurut al-Quran, 2009: 68). Dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang yang tidak adil dalam bertransaksi sama saja dengan menyekutukan Allah SWT. Dalam ayat An-Nahl tersebut, term al-adl lebih di dahulukan dari term al-ihsan, menurut az-Zamakhsyari karena berlaku adil berhukum wajib, sedangkan berlaku ihsan berhukum sunnah (Khusnul Hakim, Prinsip-Prinsip Keadilan Menurut Al-Quran, 2009:68).

Dari pendapat ulama tersebut, dapatlah digeneralisasikan bahwa adil dalam kegiatan ekonomi berhukum wajib. Adil dalam kegiatan ekonomi seperti meninggalkan transaksi bunga yang terdapat di lembaga keuangan (bank konvensional, asuransi konvensional, pegadaian konvensional, koperasi konvensional, dll), meninggalkan transaksi gharar (remang-remang) seperti penimbunan barang, merusak harga dengan mempermainkan supply (penawaran) dan demand (permintaan), menyembunyikan cacat barang, dan sebagainya, serta maysir (transaksi judi/gabling) seperti bermain saham yang tidak spot (goreng-goreng saham), jual beli valas yang tidak spot, dan lainnya.

Sementara, transaksi dalam kegiatan ekonomi menyangkut transaksi sektor rill dan transaksi sektor non-rill/sektor moneter. Bentuk transaksi di sektor rill seperti bertransaksi ekonomi antara perorangan, antara orang dengan lembaga maupun lembaga dengan perorangan, ataupun lembaga dengan lembaga.

Transaksi sektor rill yang dilakukan oleh ummat Islam harus terjauh dari praktik seperti riba, gharar dan maysir. Karena praktik tersebut merupakan praktik yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menghilangkan praktik tersebut dalam kehidupan ekonomi, berarti seorang muslim telah berusaha mengamalkan keadilan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Agar wujud itu maujud, ia membutuhkan sebab (Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, 1991: 217). Sebab seorang muslim diperintahkan untuk meninggalkan transaksi riba, gharar, maysir, karena transaksi tersebut merupakan transaksi yang jauh dari keadilan. Salah satu contoh ketidakadilannya ialah, seseorang yang tidak menanggung risiko harus menikmati keuntungan dari setiap risiko yang dihadapi orang lain.

Transaksi sektor non-rill biasanya dilakukan di Pasar Modal. Namun selama ini pasar modal identik dengan pasar yang bertransaksi ribawi, gharar, dan maysir. Maka dari itu, ummat muslim haram untuk bertransaksi di pasar modal. Dengan haramnya tansaksi di pasar modal, maka dibuatlah Pasar Modal Syariah untuk mengakomodir ummat muslim yang hendak melakukan transaksi di sektor non-rill. Tentu Pasar Modal Syariah merupakan pasar yang terbebas dari transaksi ribawi, gharar, dan maysir.

Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia (d/h Bursa Efek Jakarta) berkerjasama dengan PT Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000, bertujuan memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah (Pasar Modal Syariah, Sejarah Pasar Modal Syariah, Diakses dari http://www.bapepam.go.id.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar