Sabtu, 30 November 2013

Komitmen Moral

Komitmen Moral
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  29 November 2013
  


BEBERAPA bulan lagi menjelang Pemilu 2014, situasi sosial politik Indonesia masih membingungkan. Korupsi besar-besaran selama tahuntahun terakhir belum juga terselesaikan dengan tuntas.

Ketidaksabaran masyarakat tecermin dalam berbagai kerusuhan dan komentar-komentar tajam yang mengiringi karena merasa opini publik tidak dihiraukan. Terusmenerus dipertanyakan, siapa-siapa bertanggung jawab dan seluas apa jaringannya. Padahal bila kita renungkan, kekacauan ini antara lain akibat proses reformasi dan transformasi; suatu proses pembelajaran yang tidak bisa kita hindari. Kepada kita semua, tanpa kecuali, dimintakan komitmen moral untuk menangani.

Akhir pekan lalu, di depan temu Forum Lektor Regional Jawa Timur di Universitas Brawijaya, Malang, Ketua Umum partai politik NasDem, Surya Paloh, menyatakan bahwa kemandirian dan kecerdasan bangsa bisa ditumbuhkan lewat pendidikan politik. Untuk itu, komitmen moral diharapkan dari forum lektor tersebut.

Memang selama ini banyak yang memilih berdiri di pinggir karena kisruhnya persaingan politik. Mungkin ada persepsi bahwa dunia politik hanya diperuntukkan bagi politisi. Padahal sebenarnya untuk pembenahan situasi, semua forum diharapkan ikut serta. Bila kita melalui perjuangan bersama berhasil mengatasi penjajahan ratusan tahun demi tegaknya kemerdekaan, lalu pada tahap kedua membenahi perekonomian yang amburadul dengan semangat pembangunan yang kita usung bersama pula, mengapa karut-marut masa reformasi tidak bisa kita benahi bersama? Dimintakan kesadaran bersama, walaupun terutama oleh kalangan politik karena fungsinya sebagai penjamin dan pelindung demokrasi.

Transisi menuntut pengorbanan
Transisi menuju perkembangan berikutnya selalu menuntut pengorbanan. Itu kita alami dalam transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, lalu ke Orde Reformasi. Cepatlambatnya proses transisi dan pulihnya ketertiban situasi tergantung pada tinggi-rendahnya pendidikan masyarakat, termasuk pendidikan politiknya. Itu antara lain menjelaskan mengapa Indonesia menjadi negara jajahan selama ratusan tahun; karena masyarakatnya belum berkembang seperti sekarang dan mayoritas belum sadar akan pentingnya pendidikan.

Kesadaran tentang perlunya perkembangan dimiliki kelompok terdidik yang berpandangan jauh ke depan, yang berprakarsa memelopori perubahan. Merekalah para pemimpin. Kita beruntung memiliki kelompok founding fathers yang memungkinkan tegaknya kemerdekaan. Kesadaran mereka atas perlunya pendidikan bagi masyarakat melahirkan keputusan untuk menyisihkan 20% anggaran negara bagi pendidikan nasional.

Transisi dari negara dijajah menjadi negara merdeka memerlukan pula kemampuan manajemen ketatanegaraan. Ini barangkali yang paling sulit dalam proses tersebut. Yang diperlukan bukan hanya tingkat pendidikan yang memadai, tetapi juga keterampilan untuk mengatasi situasi sosial-politik dan ekonomi rakyat. Timbul rangkaian krisis manajemen sesuai perkembangan situasi.

Mengenai manajemen, Prof D Daryl Wyckoff (1924-1972) dari Harvard Business School, pernah menggunakan analogi Bermuda Triangle untuk melukiskan betapa fatalnya masa transisi bagi perusahaan kecil yang tiba-tiba membengkak dan meluaskan operasinya. Dalam masa transisi timbul krisis manajemen, “The Bermuda Triangle of Management“. Terjadi kesalahan-kesalahan fatal yang membuat perusahaan ambruk, tetapi tidak jelas diketahui letak kesalahannya. Seperti kita tahu, Bermuda Triangle telah mencemplungkan banyak pesawat terbang yang melintasinya dari Eropa ke Amerika. Tempat musibah itu dianggap daerah transisi yang gawat, namun para ahli penerbangan sulit mengetahui dengan pasti unsur-unsur misterius yang menyebabkannya.

Dalam suatu ceramahnya di depan alumni Harvard Business School di Manila pada Juni 1980, Profesor Wyckoff menyatakan banyak perusahaan sukses di Asia ambruk karena kompleksitas usaha yang meningkat. Tantangan itu harus dihadapi dengan manajemen gaya baru.

Isi ceramah Prof Wyckoff bisa menjadi rujukan untuk transisi dari negara yang biasa dikuasai dan diurus asing tibatiba harus diurus sendiri. Tantangan, skala dan kompleksitas tata kenegaraan dirasakan makin meningkat sesuai dengan kemajuan bangsa maupun perkembangan dunia. Ini menuntut para pemimpin untuk tidak henti-hentinya memperbarui sistem manajemen negara agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.

Kesadaran politisi

Komitmen moral tentu memerlukan kesiapan untuk menjalankan manajemen perubahan. Seberapa luas ada kesadaran tentang itu? Dalam rangka kampanye politik menuju Pemilu 2014, idealnya ada usaha untuk menggerak kan komitmen moral, khususnya di kalangan terdidik yang sejauh ini terkesan bersifat menunggu. Malahan ada sinyalemen bahwa golput dari kelompok inilah yang jumlahnya terbesar. Mereka memilih berdiri di pinggir karena nurani dan pemikiran mereka tidak mampu menggapai apa sebenarnya yang diinginkan kalangan politisi, yang mungkin saja tidak sadar benar apa yang mereka inginkan. Apakah kemenangan demi nemenuhi keinginan mereka atau demi kekuasaan semata? Atau kemenangan mereka perjuangkan untuk menyampaikan aspirasi yang mencerminkan kehendak rakyat?

Beberapa bulan menuju Pemilu 2014 menjadi tantangan bagi kaum politisi untuk membuktikan kejujuran niat baiknya. Bukan malahan dengan mempertunjukkan kelihaian mengakali rakyat demi keuntungan pribadi maupun kelompok, seperti yang dipertontonkan secara dramatis sebagian oknumnya sejauh ini. Pemilu 2014 diharapkan bisa menjadi peristiwa pertobatan bagi politisi curang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar