Minggu, 24 November 2013

M a r a h

M a r a h
R Valentina Sagala  ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  23 November 2013
  


Anda pernah marah? Menurut saya, marah adalah rasa yang manusiawi. Marah bisa disebabkan kejadian eksternal dan internal. Anda bisa marah terhadap seseorang atau kejadian tertentu, atau kecemasan pada masalah pribadi, atau trauma tertentu.

Pernah tahu kemarahan seseorang yang terjebak di tengah kemacetan atau ketika jadwal pesawat tertunda?

Atau ibu yang melihat anak yang dikasihinya berbohong; suami yang mengetahui istrinya berselingkuh; pemimpin yang menyadari karyawannya berkhianat terhadap perusahaan; atau seseorang yang oleh sebuah akun anonim di media online, namanya diseret-seret dalam konspirasi kotor dan tercela?

Saat ini penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap para pejabat dan “orang penting” Indonesia pada 2009 tengah membangkitkan kemarahan Presiden Yudhoyono, anggota parlemen, dan sebagian masyarakat. Aksi protes di depan kantor Kedutaan Australia di Jakarta pun bermunculan.

Diplomasi Indonesia dan Australia mulai terganggu. Duta Besar Indonesia untuk Australia diminta kembali ke Indonesia. Presiden juga mencabut kerja sama diplomasi menyangkut upaya mengatasi penyelundupan manusia ke Australia.

Memang hingga sekarang presiden masih “tenang-tenang” terhadap dana bantuan (aid) Australia yang lumayan besar jumlahnya bagi Indonesia. Namun, jika tak ada perubahan sikap pemerintah Australia terhadap masalah ini, wajar jika masyarakat mulai memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Hal penting tentang marah adalah mengekspresikan, menekan, dan menenangkan kemarahan. Anda mungkin pernah mendengar seseorang dikatakan “sedikit marah”, sementara yang lain: “sangat marahhhh”.

Ekspresi kemarahan bisa menyangkut tindakan pribadi atau tindakan terhadap di luar diri (orang lain). Ukuran inilah yang kemudian dilekatkan dengan batas “kewajaran” atau “kenormalan” yang bisa diterima akal sehat dan nurani.

Sebagai contoh, Anda bisa marah ketika sebuah akun anonim menulis hal buruk tentang Anda. Tapi, adakah gunanya Anda mengolok-olok anonimitas sebagai salah satu prinsip perlindungan saksi dan korban?

Ekspresi kemarahan yang ekstrem, jika tak segera ditekan dan ditenangkan, bisa sangat merusak. Contohnya, Anda tentu miris mengetahui seseorang membunuh istri yang dinikahi secara siri hanya karena sang istri menuntut status hukum sebagai istri yang sah menurut undang-undang.

Secara sederhana orang awam bisa berpikir, “Semarah apa pun, semestinya jangan ada nyawa mesti hilang.” Karena tindak pidana pembunuhan, orang-orang menjadi marah.

Sebelum si orang-orang yang marah ini melakukan tindakan yang melanggar hukum berikutnya, segeralah hukum ditegakkan guna mewujudkan keadilan. Lewat mekanisme pencapaian keadilan, yang salah satu esensinya adalah penegakan hukum, kemarahan dapat diredam.

Soal diplomasi Australia, siapa pun bisa menilai kemarahan Presiden Yudhoyono. Sama halnya ketika publik juga dapat menilai presiden saat namanya dikait-kaitkan dengan Bunda Putri.

Atau ketika ratusan buruh migran perempuan kita diancam hukuman mati di negeri seberang. Atau saat kedaulatan kita terhadap ekonomi, pangan, hutan, agraria, diacak-acak agenda asing yang memaksakan tumpukan utang yang kian melilit tanpa visi kedaulatan.

Ilmu psikologi memiliki teori seputar kapan seseorang memerlukan terapi anger-management atau pengelolaan kemarahan. Menurut saya, kecakapan mengelola kemarahan diperlukan sama halnya dengan mengelola kebahagiaan.

Di sini dilatih bagaimana seseorang tahu mengapa marah, apa masalah, dan apa alternatif penyelesaian masalah yang bisa ia ajukan. Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengekspresikan, menekan, dan menenangkan kemarahan.

Bagi seorang pemimpin, kecakapan mengelola kemarahan merupakan salah satu hal yang sangat penting. Karena tiap orang bisa marah, sadar atau tidak, dalam masyarakat ada semacam harapan bagaimana seorang pemimpin mengelola kemarahan.

Orang bahkan bisa menjadi sangat kecewa jika menurut ukurannya, pemimpin yang normalnya marah, ternyata tidak marah. Sebaliknya, orang bisa menjadi marah ketika pemimpin yang dipandangnya senormalnya tidak marah, justru marah terlalu besar.

Pada pundak pemimpin diletakkan harapan untuk menuntun rakyatnya pada kebaikan. Pemimpin yang sadar akan hal ini, tidak akan membiarkan dirinya dikuasai kemarahan. Sebaliknya ia mampu mengendalikan, tenang, dan memancarkan solusi. Kekuatannya adalah pada kesadaran diri, hati nurani, dan daya kritis yang terpelihara.

Kemarahan yang menghasilkan perusakan pastinya tidak berguna. Lebih dari itu, kemarahan jenis ini bisa mengarah pada penyesalan yang menggerogoti dan menyakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar