Minggu, 24 November 2013

Memastikan Sekolah yang Aman

Memastikan Sekolah yang Aman
Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  24 November 2013
  


Menanggapi banyaknya berita mengenai ”bullying” antarsiswa, pelecehan seksual, dan berbagai praktik tidak aman di sekolah, kita melanjutkan bahasan tentang bagaimana membantu anak dan remaja merasa aman dan nyaman di sekolah.

Bullying dapat tampil dalam tindakan fisik (memukul, merusak barang), verbal (mengancam, menghina, mengolok-olok), tindakan tak langsung (menyebarkan gosip, membuat olok-olok tidak pantas), hingga yang bersifat fisik-seksual (memaksa teman melakukan tindakan-tindakan seksual yang tidak pantas dan merendahkan). Dengan masifnya penggunaan internet dan media sosial, apalagi di kalangan remaja, mungkin pula terjadi
bullying di dunia maya.

Selain bullying, ada perilaku lain yang tidak pantas, tidak dapat diterima, dan berbahaya, seperti pelecehan seksual (dapat dilakukan oleh sesama murid atau oleh tokoh otoritas di sekolah, seperti guru) atau pembedaan/ peminggiran perlakuan (misalnya pada siswa yang dianggap ”aneh” atau ”berbeda”) yang berdampak merugikan.

Peran sekolah dan keluarga

Saya menemukan Building Respectful and Safe Schools yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Perkembangan Anak Negara Bagian Victoria, Australia (2010), yang cukup ringkas, tetapi memberikan panduan padat dan konkret. Buku ini mengingatkan bahwa kepemimpinan sekolah berperan sangat penting. Hal ini termasuk dalam membentuk budaya, seperti memfasilitasi keterbukaan agar siswa berani bersuara dan melaporkan hal-hal yang membuat siswa merasa tidak aman. Di lain pihak, orangtua, wali, dan keluarga juga menjadi model peran penting bagi anak dan remaja untuk menunjukkan perilaku yang pantas dan hubungan yang saling menghormati.

Salah satu faktor kunci untuk memastikan lingkungan aman di sekolah adalah bahwa kepemimpinan sekolah harus memiliki visi dan pemahaman baik mengenai ”sekolah yang aman”. Lalu ada mekanisme yang mampu menularkan visi itu kepada semua guru, staf, dan siswa dengan praktik yang mendukung visi itu.

Sekolah dan guru memiliki the duty of care responsibility— mungkin dapat diterjemahkan bebas sebagai ”tugas untuk menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab” kepada siswa dan seluruh jajaran sekolah. Istilah respectful sangat penting, di mana guru dan otoritas sekolah mengajarkan dan menunjukkan contoh untuk bersikap respectful.

Dalam masyarakat kita, mungkin yang sangat ditekankan adalah anak harus menghormati guru dan orangtua. Namun, lupa ditekankan bahwa siswa juga perlu menunjukkan sikap saling menghargai dengan siswa lain. Jangan lupa, guru pun harus menunjukkan perilaku respectful dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. Seorang yang terlihat alim di depan orang lain, tetapi bertindak berbeda dengan melakukan tindakan-tindakan tidak pantas kepada siswa di belakang layar, jelas tidak menunjukkan perilaku terhormat dan tidak menghormati siswanya.

Pelatihan kepada siswa

Penting untuk menyosialisasikan kepada siswa mengenai nilai baik dalam berperilaku dan apa yang sudah tergolong dalam bullying, pelecehan atau kekerasan. Sekolah perlu melatih anak untuk menghormati diri sendiri dan orang lain serta bersikap tenang sekaligus asertif apabila ada tindakan-tindakan yang mengganggu. Siswa akan dapat bersikap asertif jika dipahamkan mengenai hak-hak dasarnya dan dibangun kepercayaan dirinya.

Bullying cukup sering terjadi dan disaksikan oleh siswa-siswa lain, yang membiarkan saja hal itu, mungkin karena tidak peduli atau takut. Karena itu, siswa lain yang mungkin menjadi pengamat juga dapat dilatih untuk bersikap asertif. Siswa dapat secara individual atau berkelompok menunjukkan dukungan kepada siswa yang mengalami bullying (misalnya: berkomentar kepada pelaku: ”Sudah, bercandanya jangan kelewatan, dong” atau secara tak langsung mendukung korban: ”Tetap tenang, Nit, tidak usah diladeni…”).

Siswa dapat diajak berkumpul untuk mendiskusikan bagaimana cara berespons yang efektif tanpa membuat keadaan justru menjadi lebih tegang, mengingat sebagian remaja mungkin memiliki karakteristik impulsif dan agresif dan jika ditegur oleh teman lain dapat melakukan tindakan yang lebih berbahaya.

Tanggung jawab tokoh otoritas

Dalam sekolah yang menekankan budaya tanpa kekerasan, ada kesepakatan bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di sekolah. Apabila bullying dan pelecehan terjadi, diharapkan dapat cepat dilaporkan atau terdeteksi.

Sayang, dalam masyarakat kita, bullying dan pelecehan cukup sering direspons dengan cara yang salah atau tidak sensitif. Misalnya, bullying  dinetralkan sebagai hal biasa di antara remaja yang tidak usah dibesar-besarkan, yang melapor dianggap tukang mengadu dan cengeng. Atau pelecehan seksual oleh guru disepelekan sebagai ekspresi kasih sayang orangtua kepada anak, apalagi jika direspons dengan menyalahkan anak didik.

Penting untuk selalu diingat bahwa orang dewasa, apalagi tokoh otoritas, bertugas menjaga, melindungi, dan memberikan keteladanan perilaku positif kepada anak. Tambahan lagi, anak berada dalam posisi tidak setara dengan tokoh otoritas yang dalam usianya yang lebih dewasa dan posisinya memiliki kekuasaan jauh besar. Karena itu, tindakan seksual atau afeksi berlebihan yang tidak pantas antara tokoh otoritas dan anak harus dilihat menjadi tanggung jawab sang tokoh otoritas itu.

Kita perlu menyusun berbagai panduan untuk membantu semua pihak dapat mengelola perilakunya, menghormati diri sendiri dan orang lain. Siswa perlu dibantu untuk mengelola perilaku. Sementara itu, guru, wali, atau orang dewasa lain yang mengalami kesulitan mengelola dorongan seksualnya juga perlu mencari pertolongan untuk dapat memahami batasan-batasan, mengendalikan diri, dan berhenti menyelewengkan kedudukannya. Nama baik sekolah perlu dipertahankan bukan dengan menutupi kasus, melainkan dengan menangani kasus berlandaskan prinsip peneladanan, kepedulian dan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar