Kamis, 28 November 2013

Memperbarui Spirit Guru

Memperbarui Spirit Guru
Adi Prasetyo  ;   Ketua PGRI Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA,  28 November 2013
  


Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), potret guru di Jawa Tengah sangat  jauh berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya,  profesi guru dianggap belum membanggakan. Dengan penghasilan relatif kecil, profesi itu menjadi pilihan terakhir.

Di satu sisi, mahasiswa lembaga pendiadik tenaga kependidikan (LPTK) rata-rata bukan siswa terbaik di SMA/SMK. Setelah tak diterima di perguruan tinggi pilihan utama, barulah mereka mendaftar di LPTK. Tak jarang tamatan perguruan tinggi favorit yang tak terserap lapangan kerja yang diinginkan, memilih jadi guru lewat program akta mengajar.

Namun setelah pemberlakuan UUGD, profesi guru mengalami perubahan. Tingkat kesejahteraan mulai membaik, seiring diberikannya tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen menjadi tonggak bersejarah kebangkitan profesi guru. Minat menjadi pendidik pun meningkat signifikan.

Perguruan tinggi yang membuka prodi pendidikan guru kewalahan menampung animo tamatan SMA/SMK. Mereka mulai diminati siswa dengan kualifikasi baik. Ini menjadi investasi berharga bagi dunia pendidikan pada masa mendatang. Diakui atau tidak, peran PGRI dalam mengubah nasib guru, termasuk di Jateng, menjadi catatan sejarah.

Perjuangan organisasi profesi itu mendorong kelahiran UUGD, membuktikan keseriusannya mengubah nasib guru. Namun, harus diingat regulasi itu tak hanya bicara soal kesejahteraan. Ia juga meminta guru untuk bekerja profesional, bahkan mengamatkan menguasai empat kompetensi, yakni pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.

Dewasa ini tantangan guru makin berat, harus tanggap akselerasi iptek. Untuk menguasai iptek, mereka perlu mengoptimalkan kebiasaan membaca dan menulis. PGRI di Jateng harus bisa menyediakan wadah bagi guru untuk menuangkan gagasan/pikiran dalam bentuk tulisan. 

Tulisan yang baik umumnya dipengaruhi referensi, dan organisasi profesi seharusnya  memberikan solusi atas kebingungan guru memilih buku referensi. Dengan demikian, karya guru selalu didukung sumber kredibel. Hal itu sekaligus mengeliminasi kegalauan guru menghadapi penilaian kinerja guru (PKG) dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).

Banyak Membaca

Tantangan berat lain adalah perkembangan informasi dan teknologi. Pe-ngembangan keprofesian berkelanjutan dalam wujud publikasi ilmiah menuntut guru membaca banyak buku referensi. Untuk itu, guru di Jateng harus memotivasi diri, rela menggunakan sebagian tunjangan profesi guna meningkatkan kompetensi.

Rutin membeli buku, memperbarui komputer di rumah/laptop jadi kebutuhan wajib. Guru juga jangan pelit menyisihkan sebagian tunjangan profesi untuk mengaktifkan kelompok kerja guru, musyawarah guru mata pelajaran, dan focus group discussion (FGD). Forum itu jadi alat ampuh mengidentifikasi dan mencari solusi persoalan dalam proses belajar mengajar. Pada sisi  lain harus diakui belum semua amanat UUGD dipenuhi oleh pemerintah.

Tugas PGRI mendorong pemerintah segera merealisasi hal-hal yang diamanatkan oleh regulasi tersebut. Mulai dari persoalan tunjangan profesi, pembinaan karier dan pengembangan profesi guru, serta perlindungan hukum bagi guru. Pemerintah sudah membayarkan tunjangan profesi kepada guru yang sudah bersertifikat.

Guru yang belum bersertifikat pun mendapat tunjangan perbaikan penghasilan.  Namun, tunjangan itu diberikan tiap 3 bulan, itu pun guru harus melengkapi berkas administrasi terkait proses pencairan. Yang tak kalah penting, pemerintah jangan melalaikan kewajiban melindungi guru. Metode guru dalam   memberikan materi, cara menghukum siswa, kadang dianggap melakukan kekerasan. Bila pemerintah, masyarakat, dan PGRI bisa bersinergi dengan baik maka guru yang sejahtera, profesional, bermartabat, dan terlindungi, bisa segera terwujud. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar