Sabtu, 30 November 2013

Mengapresiasi Solidaritas Dokter

Mengapresiasi Solidaritas Dokter
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KOMPAS,  30 November 2013



PUTUSAN hakim kasasi yang dipimpin hakim agung Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan pidana terhadap tiga dokter ternyata menimbulkan aksi solidaritas oleh ribuan dokter dengan turun ke jalan (unjuk rasa) di Jakarta dan sejumlah daerah.

Mahkamah Agung memvonis tiga dokter RS Prof Kandou, Manado, dengan hukuman 10 bulan penjara pada 18 September 2012. Salah satu pertimbangan hukum MA, ketiga dokter itu melakukan ”malapraktik” dalam menangani Julia Fransiska Maketey yang hendak melahirkan pada 10 April 2010, yang akhirnya meninggal dunia.

Kita memahami solidaritas itu sebagai kerisauan para dokter lantaran diduga terjadi kriminalisasi dalam menolong pasien. Keniscayaan perlindungan terhadap dokter dalam melaksanakan tugasnya yang amat mulia patut diapresiasi sebagai langkah bijak untuk tak boleh mengkriminalisasi para dokter dan pekerja medis. Kriminalisasi bisa dimaknai sebagai tindakan hukum yang sebetulnya tidak bersalah, tetapi dinyatakan bersalah dalam sebuah proses peradilan.

Pemenuhan keadilan

Siapa pun akan mendukung dokter yang bekerja secara profesional, menjalankan dan menaati seluruh standar etika, moral, dan profesi. Apabila ada perlakuan yang tidak adil, bukan hanya dokter yang gerah, melainkan juga pasien dan warga masyarakat akan turut gelisah.

Akan tetapi, juga bisa muncul pertanyaan: apakah dokter tidak bisa dipidanakan jika dalam melaksanakan profesinya melanggar prosedur dalam penanganan seorang pasien sebagaimana dimaksud dalam UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2009 tentang Kesehatan, dan Kode Etik Kedokteran?

Tulisan ini tidak akan terlalu jauh menelisik posisi malapraktik dan risiko hukumnya yang sudah tertera dalam putusan MA. Namun, ada pertanyaan lain yang juga patut dicermati, selain memahami solidaritas para dokter. Misalnya, apakah pasien juga butuh keadilan? Apakah pelayanan kesehatan yang mestinya juga berkeadilan buat pasien dan semuanya, tetapi banyak yang tidak terpenuhi lantaran para dokter meninggalkan tugas?

Pertanyaan ini juga sering dilontarkan para pengusaha saat buruh berunjuk rasa atau mogok kerja, yang menurut para pengusaha menimbulkan kerugian (ketidakadilan) bagi perkembangan usahanya. Semua profesi di mata hukum tidak ada yang kebal hukum, tetapi tidak boleh dikriminalisasi. 
Apalagi  hukum mengatur: siapa pun bisa dipidana jika jelas-jelas dan terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan profesinya.

Aksi solidaritas dokter dengan melakukan unjuk rasa dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi, tidak boleh berimplikasi sebagai pembenaran seolah-olah betul terjadi kriminalisasi dalam putusan MA. Upaya hukum masih bisa dilakukan melalui peninjauan kembali (PK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat 2 KUHAP.

Pertama, bila terdapat keadaan baru atau bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat jika keadaan itu diketahui saat sidang masih berlangsung, hasilnya bisa membebaskan terdakwa atau dipidana lebih ringan.

Kedua, bisa juga terjadi jika sejumlah putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi alasan putusan yang dinyatakan terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain. Ketiga, jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata. Artinya, putusan MA secara nyata terjadi kekeliruan hakim dalam menerapkan pasal undang-undang. Ketiga alasan untuk mengajukan PK merupakan alasan yang bersifat limitatif.

Profesi dokter begitu mulia lantaran berada pada wilayah kemanusiaan, yang bertujuan menolong orang dan tidak berniat membahayakan pasien. Ini merupakan konsekuensi dari filosofis bahwa tidak ada pekerjaan yang mulia di muka bumi ini yang diniatkan untuk membahayakan orang lain. Kecuali, tentu saja, para penjahat atau koruptor yang memang memiliki niat jahat (mens rea) sehingga tidak bisa dijadikan argumen pembenaran untuk melakukan aksi solidaritas oleh sejawatnya.

Tidak antikritik

Profesi apa pun tidak luput dari kesalahan atau kealpaan karena yang menjalankan adalah manusia biasa. Tak boleh antikritik, apalagi arogan, dalam menyikapi putusan hukum sebab sudah disiapkan sarana untuk memperbaikinya jika putusan itu dianggap salah atau keliru.

Dalam beberapa keluhan di masyarakat, seperti profesi kepolisian, advokat, atau guru dan dosen acapkali juga menerima kritik tajam. Hal ini sesuatu yang wajar sebab dalam praktik sehari-hari, ada saja polisi yang dinilai menyalahi ketentuan, advokat yang keliru, atau guru dan dosen dicurigai tidak adil memberikan nilai. Begitu pula profesi dokter, misalnya keluhan bahwa dokter lamban atau ceroboh menangani pasien. Semuanya harus disadari bahwa kritik itu berguna sebagai introspeksi untuk diperbaiki dan tidak akan terulang di kemudian hari.

Kasus tersebut memberi pelajaran amat berharga bahwa keadilan haruslah diberikan untuk semua. Siapa pun harus berlaku adil kepada dokter, kepada pasien, dan kepada siapa saja untuk memperoleh perlakuan adil dalam kehidupan sehari-hari dan di muka hukum.

Solidaritas patut diapresiasi asalkan dilakukan dengan elegan dan bermartabat untuk menyelesaikan persoalan. Dalam negara hukum, putusan hakim selalu dihormati meski wajar dikritisi. Kalau putusan MA yang secara formal telah berkekuatan hukum tetap dianggap tidak adil, disediakan mekanisme untuk melawan ketidakadilan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar