Senin, 25 November 2013

Mengerem Pertumbuhan Ekonomi

Mengerem Pertumbuhan Ekonomi
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS,  25 November 2013
  


AGAK di luar dugaan, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate jadi 7,5 persen. Kenaikan suku bunga kali ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk meredam inflasi, seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year on year Oktober 2013 cukup terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini, mereka berupaya mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar AS pada triwulan III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada triwulan II.

Bagaimana transmisi kedua variabel tersebut? Jika suku bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi (propensity to consume) akan berkurang, demikian pula hasrat investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri kita sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Efektifkah kebijakan ini? Bisa jadi demikian, karena dalam situasi krisis ekonomi global yang mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, mereka mulai mengerem konsumsi. Dua industri yang biasanya bisa menjadi indikator bergairah atau tidaknya perekonomian adalah industri otomotif dan properti.

Sejauh ini, pada industri otomotif belum ada tanda-tanda itu. Kemampuan para produsen melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang irit dan murah, serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan. Penjualan mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali ke level 8 juta unit.

Namun, untuk sektor properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa kota besar (terutama Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala ”gelembung properti”, harga properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan menjualnya kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya. Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi yang tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah pertama.

Upaya mengerem pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 2001-2008) membawa beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung sehingga rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya saing China di kemudian hari. 

Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat. Itulah sebabnya, perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6 persen-7,8 persen. Kendati demikian, level pertumbuhan ini tetap yang tertinggi di dunia.
Yang menarik, dua lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6 persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal pertumbuhan 5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014).

Proyeksi itu rasanya terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih 5,8 persen. Pada triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut mengejar target absorpsi anggaran. Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan swasta. Datangnya musim liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja yang lebih sehingga mendorong permintaan agregat.

Tahun 2014, tahun pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan pemerintahan baru yang lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa memacu investasi. Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7 persen (2013) dan 6,0 persen (2014).

Proyeksi lembaga-lembaga finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman Sachs 5,4 persen (2013) dan 5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9 dan 7 persen), DBS (5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4 persen), Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6 persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5 persen), dan yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya cenderung sependapat dengan ADB dan DBS.

Apakah suku bunga masih akan naik lagi pada Desember 2013? Bisa ya, bisa tidak. Bisa ya jika BI tidak melihat jalan lain untuk menstabilkan rupiah yang saat ini di level Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah merupakan tujuan terpenting, melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus berhitung, kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha.

Ada tanda kebijakan kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya, mengantisipasi kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar dari Indonesia.

Namun, tahun depan kita punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga minyak mentah dunia hingga tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100 dollar AS per barrel (minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent), ditambah lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di atas Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5 persen. Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate.

Keinginan BI agar penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh 15-17 persen tahun depan, saya rasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu hanya akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit mestinya antara 18 hingga 20 persen.

Kita tidak harus mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan ekonomi karena situasinya berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4 persen, atau jauh lebih rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi Indonesia masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar