Sabtu, 30 November 2013

Mogok Dokter dan Konstitusi

Mogok Dokter dan Konstitusi
M Said Sutomo  ;  Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)
Jawa Timur
JAWA POS,  29 November 2013



GANJIL nian ketika membaca berita "Sehari tanpa Dokter Kandungan" di Jawa Pos (27/11) terkait rencana aksi protes (dan mogok) para dokter. Aksi protes dokter itu mendapat dukungan dari Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI (Dirjen BUKK) Akmal Taher dengan menerbitkan surat edaran. Padahal, konstitusi kita UUD 1945 pasal 32 ayat (3) mengamanatkan: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. 

Demo dan mogok akhirnya terjadi. Banyak insiden akibat tak terlayaninya pasien dengan baik ini. Ketelantaran pasien ini akhirnya mengundang banyak kritik. 

Dengan demikian, tindakan Dirjen BUKK dengan menerbitkan surat edaran dalam bentuk dukungan protes, yang bisa menggangu kelayakan pelayanan kesehatan, patut dikualifikasikan tak sejalan konstitusi. Apalagi, solidaritas dalam bentuk aksi demo dokter kandungan mogok 24 jam terhadap kasus dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani alias dr Ayu dkk, telah melahirkan sikap tidak simpatik. Sebab, sebagai kelompok terdidik mereka diharapkan mampu melakukan upaya-upaya lain tanpa mengurangi tanggung jawab profesi.

Manakala Dirjen BUKK Akmal Taher dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin meyakini bahwa dr Ayu dkk tidak bersalah dan tidak sepatutnya mendapatkan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan hukuman 10 bulan penjara, tidak ada salahnya memberikan penghargaan atas dedikasi mereka dalam melaksanakan tugas profesional kedokteran sebagai para dokter teladan. Siapa tahu masyarakat bisa mengerti bahwa kebenaran dari sisi medis mungkin berbeda dengan kebenaran dari sisi hukum.

Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan sembarang orang. Dirjen BUKK dan Ketum IDI tentu lebih tahu bahwa Undang-Undang No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi. UU tersebut juga bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien.

Pertama, UU Praktik Kedoteran itu mengatur persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari kolegium, selain ijazah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh surat tanda registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia, dan memperoleh surat izin praktik dari dinas kesehatan kota/kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Kedua, UU Praktik Kedoteran juga mengatur organisasi konsil kedokteran, standar pendidikan profesi kedokteran serta pendidikan dan pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Selanjutnya, UU Praktik Kedoteran mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran. Bahkan, di bagian ini diatur tentang perizinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik, dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal tiga tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter rumah sakit. 

Ketiga, pada aturan tentang pelaksanaan praktik, UU Praktik Kedoteran mengatur agar dokter memberi tahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya. 

Keempat, dalam hubungannya dengan pasien, UU Praktik Kedoteran mengatur hak dokter yang salah satunya memperoleh perlindungan hukum. Syaratnya, dokter melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Adapun salah satu hak pasien adalah memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya, serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis. 

Undang-Undang No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga mengatur hak-hak seperti itu bagi konsumen, termasuk pasien dokter. Jika terjadi dugaan malapraktik, pembuktiannya berupa pembuktian terbalik yang dibebankan kepada pelaku usaha. Dalam kasus malapraktik dr Ayu dkk, beban pembuktian terbaliknya menurut UUPK adalah manajemen rumah sakit. (Baca juga opini kemarin "Momen Introspeksi Kedokteran" di halaman ini, Red.)

Nah, pertanyaannya: bagaimana peran manajemen rumah sakit, Dirjen BUKK, dan PB IDI untuk membuktikan secara terbalik bahwa dr Ayu dkk tidak salah dalam melaksanakan tugas profesional kedokterannya? Itulah yang tampaknya tidak mampu mereka buktikan sehingga MA menghukumnya dengan kurungan penjara 10 bulan. 

Apakah aksi demo mogok 24 jam itu juga untuk menutupi isu yang membesar akibat ketidakmampuan "pembuktian terbalik" itu? Masyarakat sudah cerdas menilai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar