Sabtu, 30 November 2013

Pemiskinan Koruptor Dimulai

Pemiskinan Koruptor Dimulai
Abraham Fanggidae  ;  Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial Jakarta
KORAN JAKARTA,  29 November 2013
  


Dampak keuangan segera terlihat. Isi kantong koruptor yang menjadi terdakwa seakan dikuras rata. Inilah bentuk pemiskinan korupsi ala pengadilan di Australia. Uang yang terkuras pun langsung dirasakan terpidana koruptor. 

Angelina Sondakh alias Angie harus menerima nasib apes. Putusan Mahkamah Agung (MA) telah menganulir putusan pengadilan sebelumnya dari penjara 4,5 tahun menjadi 12 tahun dan denda sekitar 40 miliar rupiah. Dari dalam penjara Angie menangis. Dia menangisi keputusan MA yang lebih berat ketimbang keputusan pengadilan di bawahnya.
KPK mengajukan kasasi kepada MA. Di tangan MA, selain hukuman Angie diperberat menjadi 12 tahun penjara, Angie dijatuhi pidana tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti senilai 12,58 miliar rupiah dan 35 juta dollar AS atau sekitar 27,4 miliar rupiah. Angka denda dan pengembalian uang kepada negara sekitar 40 miliar rupiah sangat mungkin akan memiskinkan Angie. 

Kekayaan Angie, menurut data Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 21 Juli 2010, "hanya" 12,679 miliar rupiah dan 19.256 dollar AS atau total 14 miliar rupiah. Jumlah itu jauh di bawah kewajiban kepada negara yang dituntut MA 40 miliar.

Jika dijalankan, Angie bisa langsung miskin, bahkan akan utang pada negara. Hakim MA menilai Angie aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Olah Raga. Sekalipun harta kekayaan Angie yang dilaporkan "hanya" sekitar 14 miliar karena aktif mengorupsi uang negara, demi keadilan dia harus mengembalikan sekitar 40 miliar rupiah.

Putusan hakim demi keadilan baik juga kalau becermin dari putusan pengadilan Australia yang menjatuhkan hukuman bagi koruptor yang boleh dikata, "sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui". Hukuman dari hakim, selain mengandung efek jera, berdampak keuangan yang berat. Bagi koruptor, selain mendapat hukuman kurungan badan, dia wajib membayar denda atau ganti rugi lima kali lipat dari hasil korupsi yang dilakukan terdakwa. 

Jika melihat dari sisi efek jera, jelas terlihat bahwa putusan yang menetapkan indeks ganti rugi sebanyak lima kali dari dana yang dikorupsi tentu memberatkan terdakwa. Dampak keuangan segera terlihat. Isi kantong koruptor yang menjadi terdakwa seakan dikuras rata. Inilah bentuk pemiskinan korupsi ala pengadilan di Australia. Uang yang terkuras pun langsung dirasakan terpidana koruptor. 

Bagaimana dengan praktik pemiskinan koruptor di sini? Setidaknya, terdapat tiga pandangan terkait yang memerlukan perhatian dengan harapan semoga implementasi yang bernuansa pemiskinan koruptor tidak berjalan "lemot". Pengertian pemiskinan korupsi di Indonesia belum sama dari aparat penegak hukum dan pegiat Tipikor. Jaksa Agung Muda Pengawasan, Marwan Effendi, mengatakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diharapkan dapat menjadi alat yang lebih efektif dalam memerangi tindak pidana korupsi (TPK). Praktik pencucian uang (money laundring) hanya salah satu cara menyamarkan atau menyembunyikan hasil korupsi. 

Maka, wacana pemiskinan koruptor dapat menjadi terobosan dalam semangat pembaruan penegakan hukum. Namun, penerapannya harus tetap mengedepankan due process of law, bukan sebaliknya, menegakkan hukum dengan melanggar aturan itu sendiri.

Dalam pandangan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka sudah bertekad optimal memiskinkan koruptor sebagaimana diamanatkan UU Tipikor. Menurut Wakil Ketua KPK, Zulkarnain, upaya yang dilakukan dalam memiskinkan koruptor juga menggunakan UU TPPU. Upaya KPK kadang terkendala peraturan yang tidak maksimal, tidak tegas, dan terlalu multitafsir. Hal itu menimbulkan perbedaan pendapat dalam proses persidangan dan menghasilkan perampasan.

Pandangan Muhammad Yusuf, mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perlu disimak baik-baik. Meski sudah terdapat UU TPK dan UU TPPU, dalam penerapannya, pemiskinan koruptor perlu ada persamaan persepsi, koordinasi, komitmen, keberanian, serta integritas dari berbagai pihak yang terkait, seperti penyidik TPPU, jaksa, dan hakim. Tanpa itu semua, gagasan pemiskinan koruptor hanya sebatas wacana, tidak berdampak pada penanggulangan korupsi.

Terobosan
Pemiskinan merupakan langkah dan terobosan baru dalam memberantas korupsi. Apalagi, meskipun berstatus narapidana, banyak terdakwa kasus korupsi masih dapat menikmati banyak fasilitas. Ketika pidana penjara sudah dirasakan tidak efektif dan tidak menjerakan koruptor, perlu terobosan baru dan tindakan konkret. Situasi yang dirasakan tidak adil berganti menjadi rasa keadilan dan perlindungan masyarakat luas.

Yang sudah ditorehkan hakim MA atas Angie merupakan prestasi besar dan membanggakan. Semangat para hakim MA menghukum setimpal dan berdampak efek jera bagi penyelenggara lain harus diapresiasi. Semangat para hakim MA untuk membersihkan negeri dari koruptor perlu diapresiasi. 

Dalam kasus Angie dan para kroni, dana yang mereka korupsi untuk membangun karakter manusia muda Indonesia. Dana yang mereka korupsi dana yang dialokasikan kepada institusi yang bergerak mencerdaskan bangsa, juga institusi yang menyehatkan, institusi pembangun prestasi olah raga dari sebagian sumber daya manusia muda Indonesia. 

Kapabilitas spritualitas dan emosional Angie dengan kroni sudah "tumpul" karena begitu tega merampok uang negara yang sepenuhnya untuk membangun generasi muda melalui dunia pendidikan tinggi dan keolahragaan. Perbuatan mereka begitu keji sebab secara langsung menghambat prestasi intelektual serta olah raga anak bangsa. 

Putusan para hakim MA yang tegas itu, dalam pandangan publik, seharusnya bisa lebih "galak" lagi jika mengingat tindakan Angie dan kroni merupakan upaya nyata amat fundamental yang menohok, melambankan pembangunan manusia. Tindakan mereka seperti orang yang "tak punya hati". Tindakan Angie dkk mengerdilkan , bahkan membunuh, kreativitas, pertumbuhan, dan perkembangan mental, spritual, serta fisikal dari SDM penerus bangsa. 

Koruptor yang merampok uang negara pada sektor pembangunan manusia tidak menghendaki SDM Indonesia pintar, sehat, kuat, dan mencapai prestasi tinggi dalam dunia akdemis dan olah raga. Perbuatan mereka menjadi penyebab mengapa indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia masih dalam peringkat terbawah.

Maka, putusan hakim MA membuat publik yang cinta negeri dan warga Indonesia angkat topi. Putusan hakim MA tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Putusan hakim MA yang bernuansa memiskinkan koruptor, dalam hal ini, tertuju pada terpidana Angie tidak melanggar HAM. Alasannya, uang rakyat yang semestinya untuk menjawab kebutuhan kepentingan rakyat dirampok untuk kepentingan sendiri. 

Publik harus mendukung putusan MA atas Angie. Putusan MA menggambarkan harapan masyarakat yang selama ini melihat putusan untuk koruptor terlalu ringan. Kini, koruptor akan berpikir keras melihat hukuman MA pada Angie. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar