Sabtu, 23 November 2013

Polemik Penyadapan Asing : Potret Relasi Politik dan Diplomatik RI-Australia

Polemik Penyadapan Asing :
Potret Relasi Politik dan Diplomatik RI-Australia
Anindya Daly  ;   Praktisi Seni Budaya Paksi Katon, Yogyakarta
OKEZONENEWS,  22 November 2013
  


Bangsa Indonesia yang sedang mempersiapkan Pesta Demokrasinya pada Pemilu 2014 mendatang, tiba-tiba, digegerkan dengan munculnya isu penyadapan oleh intelijen asing? Bahwa isu penyadapan itu sebelumnya terbongkar berdasarkan dokumen Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (National Security Agency), yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan agen spionase Amerika. Dalam pemberitaan media, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan, bahwa “penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Australia ini telah mencederai kemitraan strategis dengan Indonesia. Apalagi, Indonesia dan kedua negara itu adalah sama-sama negara demokrasi!”.
 
Sejak adanya informasi terkait penyadapan oleh Amerika Serikat dan Australia terhadap Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menanggapi hal tersebut dengan sikap protes keras pemerintah melalui jalur birokrasi (Kemenlu), dan pernyataan di berbagai media. Meski demikian, Australia tak urung memperlihatkan itikad baik sebagai negara tetangga yang mengaku menjadi mitra strategis Bangsa Indonesia? Misalnya, melakukan proses klarifikasi, penyelidikan kasus, penanganan hukum, bahkan permohonan maaf pun tidak? Sementara, bahwa dari Canberra, Perdana Menteri Australia Tony Abbott justru bersikap menolak menanggapi klaim bahwa badan intelijen Australia telah menyadap komunikasi Presiden SBY pada 2009. 
 
Bahkan, Abbott menilai jika penyadapan itu suatu kewajaran? Karena, semua pemerintah negara di dunia tahu, bahwa pemerintah negara lain mengumpulkan informasi (dikutip BBC). Sungguh sikap Australia sangat lucu, dan sekaligus ngawur! Bagaimana tidak?, Perdana Menteri Australia Tonny Abbott menganggap jika penyadapan yang dilakukan melanggar hukum? Luar biasa, atau justru, Australia tak lagi menganggap keramahan Indonesia sebagai mitra strategisnya, melainkan potensi ancaman bagi masa depan negaranya?
 
Selasa (19/11/2013), di Gedung DPR RI Jakarta, Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya bahkan menyatakan tinggal selangkah lagi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Australia berakhir. Hal ini diapresiasi melalui langkah tegas pemerintah yang menarik Dubes RI di Australia sebagai bentuk protes. Dengan penarikan duta besar Indonesia untuk Australia, itu berarti selangkah lagi Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. Selain itu,  masyarakat Indonesia juga sedang menunggu sikap tegas dan keras dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Presiden Barack Obama dan Perdana Menteri Australia Tonny Abbott soal penyadapan ini. Meskipun, sikap pemanggilan Duta Besar kedua negara telah dilakukan, namun yang kiranya diperlukan adalah klarifikasi dari Presiden Amerika Serikat dan Perdana Menteri Australia sesuai dengan otoritas dan kewenangannya. Bagaiana pun, persoalan penyadapan ini bukanlah hal biasa-biasa saja seperti yang dikatakan oleh PM Australia? Sebab, yang menjadi korban penyadapan adalah negara sahabat sendiri.
 
Namun di tengah kegaduhan pemberitaan tentang isu penyadapan itu, bagaimana kelanjutan pemberitaan tentang Edward Snowden?, agaknya mantan agen spionase Amerika itu justru terlepas dari lingkaran jerat polemik permasalahan yang ditimbulkannya? Pertanyaannya, apakah kepentingan Edward Snowden atas konspirasi operasi penyadapan intelijen Amerika Serikat dan Australia di Indonesia selama ini? Dan, sejak kapan Intelijen Australia melakukan operasi penyadapan intelijennya di lingkar birokrasi pemerintah Indonesia? Serta, bagaimana sikap dan tindakan politik pemerintah Indonesia didalam menanggapi isu penyadapan intelijen asing yang mulai menggugah rasa nasionalisme rakyat?  
 
Pertama, siapakah Edward Snowden? Edward Joseph Snowden (lahir 21 Juni 1983), adalah mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan Central Intelligence Agency (CIA) yang menjadi kontraktor untuk National Security Agency (NSA) sebelum membocorkan informasi program mata-mata rahasia NSA kepada pers. Snowden membocorkan informasi rahasia seputar program-progam NSA yang sangat rahasia seperti PRISM kepada The Guardian dan The Washington Post pada Juni 2013. Snowden mengatakan, bahwa pembocoran PRISM dan perintah FISA terkait dengan aksi pengambilan data oleh NSA bertujuan mengungkapkan apa yang ia yakini sebagai tindakan berlebihan oleh pemerintah untuk memantau aktivitas warga Amerika Serikat. Skandal Snowden telah menyebabkan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan beberapa negara di Eropa seperti Prancis dan Jerman menjadi terganggu, termasuk bocoran informasinya terkait penyadapan intelijen Australia di Indonesia yang menggegerkan Istana Negara beberapa pecan ini. Berdasarkan pemberitaan media, bahwa Snowden saat ini berada dibawah perlindungan  suaka politik pemerintah Russia. Apakah Snowden ini juga merupakan agen ganda Russia?   
 
Kedua, sejak kapan Intelijen Australia melakukan operasi penyadapan intelijennya di lingkar birokrasi pemerintah Indonesia? 
 
Sebagaimana artikel Philip Dorling yang berjudul “Canberra Doesn't Trust Jakarta” dalam SKH. Australia The Age, edisi 19 November 2013. Dorling menyebutkan, bahwa Australia telah memata-matai Indonesia sejak 1954, tepatnya sejak negeri Kanguru itu membangun kantor kedutaan luar negeri pertama di Jakarta. Menurut Dorling, dibalik deklarasi persahabatan antara kedua negara bertetangga ini, Australia tidak pernah percaya dengan Jakarta, meski  sudah menjalin kerja sama bidang keamanan dan intelijen dengan Indonesia. Kami tidak menganggap Indonesia sebagai sahabat sejati, dan kami tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa suatu hari, jauh di masa depan, (Indonesia) mungkin menjadi ancaman," kata Dorling. 
 
Lebih lanjut dikatakan Dorling, "Kami telah memata-matai Jakarta untuk waktu yang sangat lama. Kedutaan Australia di Jakarta adalah lokasi stasiun luar negeri pertama dari Intelijen Rahasia Australia, didirikan pada tahun 1954, dan ASIS (Australian Secret Intelligence Service) selalu membuat Indonesia sebagai prioritas utama."
 
Buku harian Duta Besar Australia pertama Sir Walter Crocker di Indonesia mengungkap intelijen Australia melakukan penyadapan sinyal direktorat pertahanan secara rutin sejak pertengahan 1950-an. Pada 1960, badan intelijen Inggris bernama GCHQ (The Government Communications Headquarters), membantu Australia membongkar sinyal pertahanan dari mesin sandi Hagelin yang diproduksi Swedia. Mesin ini dipakai kedutaan besar Indonesia di Australia. Berikutnya pada 1970-an, fasilitas radio sinyal pertahanan yang ada di Shoal Bay, di luar Darwin, telah memantau komunikasi militer Indonesia, misalnya rencana Indonesia ketika hendak menginvasi serangan ke pendudukan Timor-Timur. Operasi intelijen Australia terus bekerja hingga 1999. Sejak saat itu Australia masih memiliki akses luas untuk merekam komunikasi militer dan sipil Indonesia. Sesudah Timor-Timur merdeka melalui jajak pendapat pada 1999, operasi intelijen Australia terus berlanjut. Dan sepertinya, operasi intelijen Australia sejak 1954 sampai 1999 ini berlanjut hingga pemerintahan Presiden SBY kini. 
 
Ketiga, bagaimana sikap dan tindakan politik pemerintah Indonesia didalam menanggapi isu penyadapan intelijen asing yang mulai menggugah rasa nasionalisme rakyat?  
 
Setelah berulang-kali meminta konfirmasi Australia terkait penyadapan intelijennya di Indonesia, maka Pemerintah akhirnya memanggil pulang Duta Besar Indonesia Nadjib Riphat Kesoema, di Canbera, Australia untuk pulang ke tanah-air. Hal ini membuktikan, bahwa pemerintah telah bertindak tegas dan terukur dalam menanggapi polemik politik bilateral dengan Australia. Selain itu, pemerintah juga sedang meninjau-ulang berbagai kesepakatan strategis dengan Australia, terutama berhubungan dengan sektor perekonomian nasional. Dalam pemberitaan media, bahwa Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto juga menyatakan akan memanggil Duta Besar Australia, Greg Moriarty untuk dimintai keterangan terkait penyadapan.
 
Sebagaimana pernyataan tegas Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, bahwa Australia telah melanggar privasi individu dan hak asasi manusia serta melukai hubungan antara kedua negara. 
Sebagaimana pemberitaan media, bahwa sejumlah pejabat pemerintah Indonesia yang menjadi target penyadapan pemerintah Australia selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, adalah Ibu Negara H. Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, Menko Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, nama lainnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Menpora Andi Mallarangeng, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan mantan Panglima TNI Widodo AS. Demikian bocoran dokumen dari whistleblower NSA, Edward Snowden yang dilansir Australian Broadcasting Corporation dan The Guardian.
 
Akhirnya, jikalau dalam waktu dekat Perdana Menteri Australia Tony Abbot tidak juga mau meminta maaf secara resmi, maka hal itu berarti Negeri Kangguru siap melepas hubungan diplomatik dengan Indonesia. Dan, bila benar pemutusan hubungan diplomatik itu terjadi?, maka Duta Besar Australia di Indonesia terpaksa kembali ke negaranya. Maka, bahwa penjelasan resmi dari Dubes Indonesia untuk Australia terkait penyadapan?, serta sikap resmi Tony Abbot untuk meminta maaf dari batas waktu yang ditentukan?, jelas akan menentukan nasib hubungan diplomatik kedua Negara (terhitung sejak November 2013). Dan sebagai pertimbangan, bahwa banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang kini berdomisili di Benua Suku Aborigin itu?
 
Terakhir, sebagai rakyat Indonesia, kita, seyogyanya senantiasa mendukung langkah kebijakan nasional yang ditempuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan polemik penyadapan yang dilakukan oleh intelijen Australia. Maka, ketenangan, kehati-hatian dalam beropini, dan fase kebangkitan rasa nasionalisme yang lama mati suri kini dinantikan oleh Ibu Pertiwi Tercinta, demi menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar