Minggu, 29 Desember 2013

Ambisi di Balik Krisis Ukraina

Ambisi di Balik Krisis Ukraina

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) 
SUARA MERDEKA,  28 Desember 2013
  


“Terbukti Putin menekan Yanukovich supaya tidak meneken pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa”

TENSI politik di Republik Ukraina saat ini memang tidak sepanas awal Desember 2013, saat kebih dari 100 ribu pendukung oposisi mulai turun ke jalan di ibu kota, Kiev, memprotes ketidakmauan pemerintahan Viktor Yanukovich menandatangani pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa (UE). Namun republik terbesar pecahan Uni Soviet itu masih belum lepas dari jerat krisis politik. Dua kubu berseberangan, pemerintah versus oposisi, yang didukung massa masing-masing masih saling berhadapan.

Setelah ribuan pendukung oposisi bertahan di sekitar gedung Verkhovna Rasa (parlemen) dan Maidan Nezaleshnosti (Lapangan Kemerdekaan), tanggal 13 Desember lalu Presiden Yanukovich mengerahkan ribuan pendukungnya ke Kiev. Mereka dikerahkan dari wilayah selatan dan timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Sejauh ini belum ada kepastian dua kubu bisa mencapai kompromi. Ambisi apa di balik krisis politik negara itu?

Sekilas krisis politik di Ukraina kali ini terjadi akibat keputusan pemerintahan Yanukovich menolak menandatangani Deep and Comprehensive Free Trade Agreement (DCTA) dengan UE, yang ditentang keras kubu oposisi. Tetapi pasti akar masalahnya tidak sesederhana itu. Persoalan dalam dan luar negeri berkelindan hingga menjelma menjadi problema yang kompleks, rumit, dan sulit diselesaikan.

Masalah dalam negeri muncul lebih serius terutama sejak ekonomi Ukraina terimbas krisis finansial global tahun 2008. Krisis keuangan, khususnya yang melanda Eropa Barat waktu itu berdampak serius bagi perekonomian Ukraina. Produk besi yang menjadi andalan ekspor tidak terjual. Ukraina kehilangan salah satu sumber devisa utama.

Situasinya menjadi lebih sulit karena sektor pariwisata yang sesungguhnya sangat potensial dibangun menjadi sumber devisa alternatif  tidak digarap sebagaimana mestinya. Pemerintahan Yanukovich menerapkan kebijakan sangat ketat dalam pemberian visa.

Selain itu, Rusia konsisten dengan kebijakan mengurangi peran Ukraina sebagai negara transit bagi ekspor gasnya ke Eropa Barat. Sebelum terjadi Revolusi Oranye 2004 gas Rusia yang transit di Ukraina sebelum diekspor ke negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Belgia, mencapai 120 miliar m3 per tahun dengan imbalan 5 miliar dolar AS untuk Kiev. Namun, dalam 8 tahun terakhir gas Rusia yang transit di Ukraina hanya 84 miliar m3 per tahun dan Kiev mendapat imbalan ’’hanya’’ 3 miliar dolar.

Awalnya kalangan analis menilai Negeri Beruang Merah mengurangi peran Ukraina itu lantaran yang memimpin Ukraina pasca-Revolusi Oranye adalah Presiden Yushchenko, yang pro-Barat, menyusul kemenangannya dalam pemilihan umum (pemilu) ulang 2005.

Motif Ekonomi

Pemilu ulang digelar setelah sejumlah tokoh oposisi pro-Barat, semisal Yulia Tymoshenko dan Yushchenko mengerahkan ribuan pendukungnya memprotes hasil pemilu 2004 yang dimenangi Yanukovich, yang dianggapnya tidak fair. Aksi protes berlangsung dari 22 November 2004 sampai 23 Januari 2005. Itulah gerakan besar pertama rakyat sejak Ukraina merdeka dari Uni Soviet (Rusia) 8 Desember 1991, yang selanjutnya terkenal dengan Revolusi Oranye.

Dalam pemilu ulang 2005 itu Yushchenko mengalahkan Viktor Yanukovich yang pro-Moskow. Namun, setelah dalam pemilu 2010 Yanukovich berbalik mengalahkan Yushchenko dan memerintah hingga sekarang, Rusia tidak mengubah kebijakannya mengurangi peran Ukraina sehingga pengamatan para analis tadi tidak sepenuhnya tepat. Kremlin mengurangi peran Kiev ternyata lebih cenderung didorong perhitungan ekonomi ketimbang kalkulasi politik murni.

Lantas, mengapa Rusia tampak tidak rela ketika Ukraina hendak menandatangani DCTA dalam pertemuan puncak UE di Vilnius Lithuania pada 23 November lalu? Terbukti pada saat-saat akhir pertemuan UE, Presiden Rusia Vladimir Putin menekan Presiden Viktor Yanukovich supaya tidak meneken pakta tersebut.

Penandatanganan DCTA menjadi langkah awal untuk bergabung dalam UE. Jika Ukraina berintegrasi ke dalam UE, buyarlah harapan Kremlin membentuk sejumlah pakta kerja sama regional, semisal Custom Union, Collective Security Treaty Organization (CSTO), dan Eurasia Union, yang semuanya menyertakan Ukraina. Untuk Uni Eurasia, Moskow telah memplot Ukraina bersama Kazakstan dan Belarusia (di samping Rusia) sebagai anggota. Ke depan, Uni Eurasia dimaksudkan guna menyaingi UE.

Ukraina memiliki arti strategis bagi Rusia, baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik-keamanan. Ukraina menyerap 58% dari keseluruhan ekspor gas Rusia tiap tahun. Secara politik keamanan, Ukraina bisa dijadikan negara penyangga bagi keamanan Rusia. Karenanya, Rusia merugi besar andai bekas jajahannya sampai jatuh ke pangkuan UE.

Jelaslah di balik krisis Ukraina terjadi rivalitas sengit antara Rusia dan UE untuk memperebutkan negeri berluas wilayah 603.700 km2 supaya masuk rangkulannya demi meraih keuntungan ekonomi sekaligus politik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar