Selasa, 31 Desember 2013

Anomali Harga Gas Elpiji

Anomali Harga Gas Elpiji

Tulus Abadi   ;   Pengurus Harian YLKI 
REPUBLIKA,  30 Desember 2013

  

Pasokan dan produksi bahan bakar minyak nasional hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terbukti, dari 1,3 juta barel kebutuhan dalam negeri, lebih dari 400 ribu barel masih diimpor. Upaya untuk menaikkan produksi minyak (lifting) nasional sampai detik ini juga belum mampu dicapai. 

Maka, bisa dipahami jika pemerintah mendorong gasifikasi sebagai alternatif kebijakan energinya. Namun, ironisnya, implementasi kebijakan gasifikasi masih kedodoran. Sampai detik ini, infrastruktur gas (SPBG) masih bisa dihitung dengan jari. Pasokan gas untuk transportasi, misalnya, untuk Transjakarta pun masih megap-megap. Tak terkecuali kebijakan gasifikasi (gas elpiji) untuk sektor rumah tangga hingga kini masih menyisakan anomali yang sangat serius, terutama dari sisi kebijakan harga gas elpiji 12 kg-50 kg. 

Mengapa? Dari sisi regulasi sebenarnya sudah cukup gamblang bahwa kebijakan menentukan harga gas elpiji 12 kg adalah domainnya operator (PT Pertamina). Lihatlah Peraturan Menteri ESDM No 26 Tahun 2009 bahwa harga jual elpiji untuk pengguna elpiji umum ditetapkan oleh BUMN dengan berpedoman pada harga elpiji (Pasal 25). Komoditas elpiji 12 kg (dan 50 kg) jelas bukan komoditas elpiji yang disubsidi sebagaimana gas elpiji tiga kg. Jadi, tak ada secuil alasan pun bagi regulator (pemerintah) untuk mengintervensi (menolak) kenaikan harga elpiji 12 kg karena hal itu adalah kewenangan operator.

Tetapi, ibarat kata pepatah pemerintah, "menyorongkan kepala, tetapi buntutnya masih dikangkangi". Dalam hal gas elpiji 12 kg, dari sisi bisnis, PT Pertamina masih merugi secara signifikan. Lihat saja biaya produksi nya yang mencapai Rp 10.943/kg, tetapi harga jual pada konsumen hanya Rp 4.944/kg. Jadi, nilai kerugiannya mencapai Rp 5.399/kg. Sebagai contoh, kerugian pada 2011 mencapai Rp 3,4 triliun, 2012 Rp 4,7 triliun, dan 2013 mencapai Rp 5,7 triliun. Jika diakumulasi kerugian PT Pertamina sejak 2009 mencapai Rp 22 triliun. 

Jadi, jelas kerugian PT Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kg bertentangan dengan UU tentang BUMN. Hanya, ini kerugian yang secara politis dilegalisasi oleh pemerintah sendiri. Untuk menambal kerugian itu, pada akhirnya PT Pertamina harus menyubsidi gas elpiji 12 kg pada konsumennya. Sebuah cara yang tidak lazim karena urusan subsidi adalah urusan regulator, bukan operator.

Kalaupun bisnis elpiji 12 kg akan terus dibiarkan merugi, konsekuensinya pemerintah harus memberikan subsidi (PSO) pada gas elpiji 12 kg sebagaimana pemerintah menggelontorkan subsidi pada gas elpiji tiga kg.

Kerugian PT Pertamina pada bisnis gas elpiji 12 kg pun sudah terendus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Su - rat rekomendasi BPK No 29 Tahun 2013 tertanggal 5 Februari 2013 menyebutkan bahwa PT Pertamina menanggung kerugian atas bisnis elpiji 12 kg-50 kg selama 2011-2013 sebesar Rp 7,7 triliun. BPK me rekomendasikan agar PT Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kg.

Namun demikian, menaikkan harga gas elpiji 12 kg bukan tanpa risiko (finansial) bagi PT Pertamina, bahkan bagi pemerintah sendiri. Risiko yang paling riil adalah adanya fenomena migrasi (perpindahan) dari pengguna gas elpiji 12 kg menjadi pengguna gas elpiji tiga kg. Permintaan gas elpiji tiga kg pun akan meningkat dan subsidi pemerintah untuk gas elpiji tiga kg akan melambung. Ini logis karena harga gas elpiji tiga kg lebih murah (karena disubsidi) dan akses pasarnya pun masih terbuka. Siapa pun bisa membeli gas elpiji tiga kg, tanpa pandang bulu strata sosial ekonominya. Upaya PT Pertamina dan Kementerian ESDM yang akan menjadikan gas elpiji tiga kg sebagai pangsa pasar yang tertutup sudah seharusnya dilakukan.

Dari sisi yang lain yang juga menjadi mandat Permen ESDM No 26/2009 patut disorot juga bagaimana aspek daya beli konsumen jika harga elpiji 12 kg dinaikkan. PT Pertamina menyinyalir bahwa kenaikan harga elpiji 12 sebesar Rp 3.505 per kg `hanya' akan menambah pengeluaran konsumen sebesar Rp 30 ribu per bulan. Tapi, aspek daya beli saja juga tidak cukup karena aspek willingness to pay juga harus dipertimbangkan. Mengingat, hingga detik ini keluhan konsumen terhadap takaran gas elpiji, baik yang 12 kg maupun tiga kg, masih tinggi. Secara manajerial, PT Pertamina harus membereskan mitra kerja samanya yang acap berbuat nakal mengurangi takaran.

Bagaimanapun, anomali kebijakan harga gas elpiji 12 kg tidak bisa dipelihara secara terus-menerus. Apalagi, kebijakan harga gas elpiji nonsubsidi menjadi domainnya operator, bukan domain regulator. Kalaupun kebijakan harga ini masih disandera, pemerintah wajib meng gelontorkan dana subsidi (PSO) pada konsumen elpiji 12 kg. Ini kalau pemerintah konsisten dengan eksistensi regulasi yang ada, baik pada konteks mikro (permen ESDM) maupun pada konteks makro (UU BUMN). Bahkan, rekomendasi dari BPK sekalipun. 

Akan lebih elegan jika besaran kerugian itu dikonversikan menjadi kenaikan deviden PT Pertamina pada pemerintah dan atau untuk membangun infrastruktur gas elpiji yang masih minim (membangun kilang) sehingga nilai impor gas elpiji bisa ditekan. Alasan `momen tidak tepat' untuk menaikkan harga gas elpiji 12 kg lebih bertendensi politis jangka pendek (Pemilu 2014) yang kemudian mengorbankan kepentingan dan keberlanjutan ekonomis dan kebijakan energi berjangka panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar