Sabtu, 28 Desember 2013

Arab Pasca-Musim Semi

Arab Pasca-Musim Semi

Muhammad Ja’far  ;   Pengasuh www.timur-tengah.com
TEMPO.CO,  28 Desember 2013
  


Sepanjang 2013, ada tiga momentum krusial dalam perpolitikan Timur Tengah. Pertama, jatuhnya Presiden Mesir Muhammad Mursi dari kekuasaan. Kedua, tercapainya kesepakatan damai dunia internasional mengatasi gejolak politik di Suriah. Ketiga, suksesnya perundingan nuklir Iran. Tiga peristiwa itu merupakan penanda penting dinamika politik Timur Tengah ke depan.

Tiga tahun berlalu, kondisi politik Tunisia, Libya, dan Yaman, tiga negara yang berevolusi, tidak jauh berbeda dengan realitas politik rezim sebelumnya. Bahkan, indikasi politik menunjukkan posisi dan pengaruh kelompok Islam Takfiri (garis keras) semakin menguat di tiga negara tersebut. Dan bahaya laten ekstremisme mengintai, sesuatu yang kontradiktif dengan demokratisasi sebagai cita-cita revolusi.

Sementara itu, di Mesir, jarum jam revolusi berputar mundur. Militer menarik kembali perjalanan revolusi ke kilometer nol, dengan justifikasi hendak meluruskan proses transisi menuju arah yang "benar". Kebingungan menyergap kognisi politik sipil, terbelah dalam menafsirkan peristiwa jatuhnya Mursi: kudeta atau revolusi kedua?

Lemahnya konsolidasi kalangan sipil dalam menjalani era transisi dimanfaatkan oleh militer sebagai justifikasi merebut kembali tongkat kekuasaan.

Kini, publik Mesir sedang menunggu cemas formulasi yang "benar" menurut definisi dan skenario militer itu. Ada indikasi militer hendak membangun model "demokrasi terkontrol" (terpimpin) untuk menghindari keterjebakan pada tiga aral: Islamisme politik, liberalisme politik, dan otoritarianisme politik. Namun, belum ada konsep yang jelas tentang jalan tengah ini. Ke depan, Mesir akan meniti di benang tipis masa lalu: potensi terjebak pada otoritarianisme lama dengan kemasan baru.

Sedangkan di Suriah, hampir tiga tahun berjalan, apa yang disebut sebagai revolusi tumpang-tindih dengan modus intervensi politis. Sulit membedakan antara kelompok oposisi murni dan kelompok teroris bersenjata yang disusupkan dari luar. Kondisi ini sempat memanaskan rivalitas politik dua kekuatan politik global: kubu Rusia dan Amerika Serikat. Namun, kebuntuan politik teratasi, setelah tercapainya kesepakatan pemusnahan senjata kimia.

Stabilnya kondisi Suriah mendinginkan demam politik di seantero Timur Tengah. Tapi, bagi Arab Saudi dan Israel, tidak tumbangnya Presiden Suriah, Bashar Assad, menjadi kerugian politik. Sebab, hal itu berarti kegagalan melemahkan aliansi Iran-Libanon-Suriah-Irak-Rusia. Sebaliknya, aliansi ini justru semakin menguat ketika perundingan nuklir Iran di Geneva mencapai kata sepakat. Selama ini, isu nuklir dimanfaatkan oleh ketiga negara tersebut untuk mengisolasi posisi dan pengaruh politik Iran di kawasan Timur Tengah.

Kesepakatan nuklir ini membuka tabir tabu kerja sama politik antara Iran dan negara sekawasan, Amerika dan Eropa. Paradigma politik Hassan Rohani, Presiden baru Iran, yang terbuka, berperan penting bagi tercapainya ini. Tapi, ini baru tonggak awal dari sebuah proses yang panjang dan penuh tantangan.

Jika kesepakatan nuklir Iran dan perdamaian Suriah berproses dengan mulus, potensial menjadi awal terjadinya pergeseran peta aliansi politik di Timur Tengah ke depan, yaitu menguatnya pengaruh aliansi Iran, yang diiringi dengan melemahnya aliansi galangan Arab Saudi. Tapi ini baru indikasi awal dengan berbagai kemungkinan lainnya. Prosesnya juga akan berjalan bertahap. Setidaknya tiga tantangan yang dihadapi.

Pertama, Arab Saudi tentu akan menggeliat untuk mempertahankan dominasinya di kawasan Timur Tengah, dengan strategi konvensionalnya: politik minyak. Sikap keras kepala Arab Saudi untuk terus menggerus kekuasaan Assad salah satu bentuknya. 


Kedua, jika pergeseran memang terjadi, hal itu akan diiringi dengan pencarian formulasi baru tentang posisi dan peran politik Israel, mitra sentral Gedung Putih dan Eropa, dalam kancah yang baru. Salah satu peluangnya pada pencapaian kesepakatan damai dengan Palestina dalam format yang lebih baru. Di sini, Israel akan dipaksa untuk mengedepankan moderatisme politik ketimbang konservatisme yang selama ini diperlihatkan Benjamin Netanyahu.

Ketiga, negara-negara seperti Turki, Qatar, dan sebagian Teluk akan mencari posisi dan peran politik baru di kawasan. Mungkin dengan membangun paradigma politik baru, yang berbeda dengan paradigma yang selama ini digerakkan Arab Saudi. Kita tunggu, ke mana arah perubahan Arab (setelah) Spring. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar