Sabtu, 28 Desember 2013

Bangsa Korup

Bangsa Korup

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  27 Desember 2013

  

BENARKAH kita salah satu bangsa terkorup di dunia? Pertanyaan ini terpulang kepada kita sendiri untuk menjawabnya. Mengingat fakta akhirakhir ini dan bahwa korupsi sudah merebak sejak dahulu kala dan menyebar ke semua masyarakat, mungkin saja asumsi itu benar. Walaupun jiwa korup sebenarnya tumbuh pada setiap manusia sejak lahir karena pada dasarnya manusia mengutamakan kepentingan pribadi, egosentris, demi kelangsungan hidupnya. Korupsi bukan hanya merambah lingkungan masyarakat, tetapi juga lingkungan keluarga. Selingkuh uang biasa terjadi, apa pun alasannya.

Sejarah peradaban mencatat nama banyak tokoh besar dari berbagai kalangan yang menyatakan perang terhadap korupsi. Ada Imam Ahmad Ibnu Hamdal (abad 7 M) dan Abdul Rahman Ibnu Khaldun (abad 14-15 M), tokoh-tokoh Islam yang selama hidupnya dimusuhi penguasa negara karena sikap antikorupsi. Ada Wang An Shih, reformis China (abad 11 M), yang mengadakan penelitian dan menyimpulkan bahwa korupsi timbul akibat kelemahan moral dan hukum. Di Indonesia, sekitar tiga dasawarsa yang lalu, Prof Soemitro Djojohadikusumo pernah menyatakan bahwa terjadi kebocoran 30% dalam pengeluaran negara. Artinya, ada kecurigaan terjadi korupsi sebesar itu di kalangan pejabat negara.

Daftar tokoh sejarah yang antikorupsi maupun lembaga pemberantasannya cukup panjang. Mungkin hanya orang-orang primitif yang tidak mengenal korupsi. Semakin canggih pikiran manusia, semakin canggih pula rasionalisasinya. Berbagai dalih dipakai untuk tidak terlalu mengutuknya. Buku The Politics of Scarsity (1962), tulisan ahli ilmu politik Amerika Myron Weiner (1931-1999), antara lain menyebutkan bahwa korupsi tidak selalu mengganggu perkembangan politik dan ekonomi. Sogokan atau suap malahan melancarkan jalannya bisnis pengusaha. Suap membuka sikap ramah dan fleksibilitas.

Menghapus korupsi

Korupsi memang gejala buruk yang harus diusahakan strategi pemberantasannya. Antara lain dengan tidak henti-hentinya menegakkan kewaspadaan publik lewat pendidikan dan penyempurnaan etika masyarakat, pembenahan dan penguatan hukum, serta yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah peningkatan besaran hukuman. Di sisi lain, pemerintah pun mungkin perlu mengurangi kompleksitas peraturan yang menghambat kelancaran administrasi bisnis dan ekonomi.

Sejak NKRI berdiri, kesadaran tentang bahaya korupsi sudah ada. Di masa Orde Lama dibentuk PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), di bawah pimpinan AH Nasution, yang mewajibkan semua pejabat mengisi formulir untuk data yang diperlukan. Kesulitan mengumpulkan data kemudian mengembalikan tugas lembaga itu kepada Kabinet Djuanda. Tahun 1963, AH Nasution ditunjuk lagi untuk memimpin yang disebut Operasi Budhi. Tugasnya lebih berat, yakni mengajukan perusahaan/lembaga yang rawan praktik korupsi dan kolusi ke pengadilan. Terjadi lagi kemandekan. Lembaga itu kemudian dibubarkan, diganti dengan Kontrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Seiring dengan lahirnya Kontrar, pemberan tasan korupsi di masa Orde Lama kembali mandek.

Di masa Orde Baru strategi memberantas korupsi pun kurang berhasil, sekalipun pemerintah Orba memberi harapan besar, tertuang dalam pidato presiden 16 Agustus 1967. TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) terbentuk, diketuai Jaksa Agung. Tim yang kemudian dianggap tidak efektif ini akhirnya diganti Komite Empat, terdiri dari tokoh-tokoh lama yang dianggap bersih dan berwibawa. Toh tidak berhasil. Kemudian ada Opstib (Operasi Tertib), yang juga tidak berhasil karena perselisihan soal metoda pemberantasan korupsi. Para koruptor menang.

Di era reformasi

Korupsi melibatkan lebih dari satu pihak dan selalu bersifat rahasia karena dianggap menyimpang dari norma-norma umum. Menurut sejarah korupsi, problem sosial ini bukan disebabkan perubahan kultur, bukan karena konflik nilai-nilai lama dan baru, bukan pula hanya karena sistem pencegah dan pengawasannya yang lemah. Sesuai kata Wang An Shih, problem ini muncul karena perilaku individu-individu yang ‘kurang’, baik ditinjau dari segi moral maupun sosialnya. Dia kurang karena tidak mau atau tidak mampu mematuhi pola-pola normatif masyarakat. Keadaannya bisa diperparah desakan sekitar.

Di era reformasi, berbagai komisi atau badan baru pemberantasan korupsi dibentuk. Tahun 1999, di bawah pemerintahan Habibie, ada KPKPN (Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara). Ada KON (Komisi Ombudsman Nasional) yang melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik oleh segenap penyelenggara negara. KON bersikap imparsial dan tidak memiliki kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi kepada instansi yang dilaporkan.

Di era Abdurrahman Wahid tahun 2000, dibentuk TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tetapi, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTK akhirnya dibubarkan.

Lembaga pemberantasan korupsi yang masih berhasil menjaga kelangsungan hidup sampai sekarang adalah KPK, dibentuk pada 2003.

Dengan pembentukan KPK, KPKPN pun melebur masuk KPK. Bagaimana nasib KPK, bergantung pada bantuan dan kepercayaan masyarakat yang juga makin kritis terhadap budaya korupsi di negeri ini. Ada asumsi, kemelaratan sebagian masyarakat antara lain akibat distribusi kekayaan negara yang tidak merata, juga karena rongrongan korupsi yang merajalela.

Apakah mungkin disebabkan perkembangan politik selama beberapa dasawarsa ini? Patut menjadi renungan penutup tahun 2013.

Menghapuskan korupsi menjadi dilema karena sulitnya mengharapkan tertib sosial yang sempurna. Faktanya, tertib sosial tak jarang jauh ketinggalan dari kemajuan zaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar