Sabtu, 28 Desember 2013

Batik dan Kebijakan Pemerintah

Batik dan Kebijakan Pemerintah

Agus Sardjono  ;   Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMPAS,  27 Desember 2013
  


Forum Kebudayaan Dunia telah digelar di Bali pada 24-27 November 2013. Apakah pemerintah sudah mempunyai kebijakan terkait pengembangan kebudayaan? Sejauh mana kebijakan itu mendorong pengembangan warisan budaya Indonesia, baik dalam konteks melestarikan maupun menggunakannya sebagai sumber industri kreatif?

Batik adalah isu penting yang patut mendapat perhatian terkait forum kebudayaan tersebut. Hal itu bukan saja karena batik telah diakui dunia sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, melainkan juga karena banyak kelompok masyarakat menggantungkan hidup pada industri batik.

Salah satu isu yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah impor tekstil dan produk tekstil bermotif batik.

Dalam kunjungan penulis ke sejumlah sentra industri batik, tampak kekhawatiran para pelaku batik terhadap membanjirnya produk tekstil bermotif batik (biasa disebut batik printing).

Harga murah batik printing tidak hanya merusak kearifan lokal berupa seni batik, tetapi juga mengancam keberlangsungan industri batik.

Ironisnya, para pelaku industri batik juga mulai membuat dan menjual batik printing, yang ternyata mendapat dukungan dari beberapa instansi pemerintah dalam bentuk pemesanan batik printinguntuk seragam pegawai. Padahal, jelas bahwa batik printing bukanlah batik.

Warisan dunia

Sebagai warisan dunia, UNESCO menerapkan persyaratan sebelum memberikan pengakuan terhadap batik.

Pertama, batik harus merupakan ekspresi kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Artinya, ada bukti bahwa keahlian membatik para pelaku batik diperoleh secara turun-temurun.

Kedua, batik terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau ritual. Batik sidomukti, misalnya, secara tradisional dipergunakan dalam upacara perkawinan adat Jawa.

Ketiga, secara teknis batik terkait dengan keahlian tertentu, mulai dari menggambar dengan malam, melakukan pewarnaan dingin, membuang malam, dan seterusnya, yang pada intinya merupakan satu kesatuan proses membatik.
Batik printing jelas tidak memenuhi kriteria UNESCO. Ketika memesan batik printing untuk seragam pegawai, sejatinya pemerintah telah ikut mendegradasi nilai luhur seni batik.

Pelaku industri batik di Solo berharap, kalaupun menganggap batik tulis terlalu mahal, sebaiknya pemerintah memesan batik cap, bukan printing.

Industri bahan baku

Harapan lain adalah tersedianya bahan baku batik berupa kain mori dan pewarna dengan harga terjangkau, yang sampai saat ini belum sepenuhnya terpenuhi.

Mereka sangat tergantung pada bahan baku impor. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, industri batik terkena dampaknya.

Semestinya pemerintah membuat kebijakan yang mendukung industri mereka dengan mengembangkan perkebunan kapas, industri pemintalan, dan pewarna alami.

Namun, belasan tahun pascakrisis 1998, belum tampak keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri bahan baku batik.

Alih-alih mengembangkan perkebunan kapas dan tanaman pewarna, justru pemerintah berpihak pada perkebunan kelapa sawit dan industri otomotif dengan gagasan mobil murahnya.

Ketika keunggulan dan keindahan batik sebagai warisan budaya hanya menjadi jargon dan kurang mendapat keberpihakan pada industri penyangga, jangan harap industri batik domestik dapat melawan batik printing impor.

Ide pemerintah memberi label batik Indonesia secara konseptual dapat menjadi sarana quality control.

Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu justru memberatkan pelaku industri batik tradisional, baik dari sisi prosedural maupun biaya.

Para pelaku batik justru mengusulkan agar yang diberi label adalah batik printing berupa kewajiban untuk menyatakan bahwa tekstil itu bukan batik, melainkan produk tekstil bermotif batik.

Ini dapat menjadi sarana edukasi masyarakat bahwa ternyata ada produk tekstil yang bukan batik, tetapi menggunakan motif batik, dan mereka bebas memilih.

Memberi label batik Indonesia pada batik tradisional terkesan membatasi ekspresi kebudayaan para pembatik. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan prosedur administratif yang menyertai penggunaan label batik Indonesia. Oleh sebab itu, akan lebih mudah jika kewajiban pemasangan label itu justru dibebankan pada industri batik printing.

Standar nasional

Kebijakan pemerintah berkenaan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) juga dianggap memberatkan industri batik, khususnya dari sisi biaya.

Akan lebih bijaksana jika masalah standardisasi batik itu diserahkan kepada komunitas batik karena yang memahami kualitas batik adalah pelaku batik, baik perajin, produsen, maupun konsumen.

Dalam sistem persaingan yang sehat, reputasi produk dan produsen akan ditentukan oleh pasar yang sehat pula. Apabila komunitas batik berkehendak bersama menjaga reputasi dengan menentukan standar produk batik mereka, kualitas produk akan lebih terjaga.

Gagasan ini tentu saja tidak bisa serta-merta dianggap sebagai penolakan terhadap SNI. Tidak ada yang salah dengan SNI. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana cara agar masyarakat pembatik menyadari arti penting standar untuk menjaga kualitas.

Apabila komunitas batik memiliki gagasan membuat standar, akan lebih baik jika pemerintah mendukung dan memfasilitasinya.

Kalaupun hendak menerapkan SNI, hendaknya hal itu tidak diikuti biaya terlalu besar karena kebanyakan pelaku industri batik bukan golongan industri berskala besar.

Industri batik adalah salah satu contoh konkret betapa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya selaras dengan kondisi di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar