Sabtu, 28 Desember 2013

Becek

Becek

Idrus F Shahab  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  27 Desember 2013

  

Sejurus, Wak Lihun melirik langit biru yang cerah. Wak Lihun, yang wajahnya penuh senyum, sambil bernyanyi-nyanyi kecil menyeret sepeda kumbangnya ke jalan semen di depan rumahnya, dan dalam sekejap ia pun sudah nangkring di atas sadel karet busa yang sudah keras-membatu itu.

Namun lagu tua yang tidak pernah mengindahkan tata irama dan melodi itu sekonyong-konyong senyap. Menoleh ke atas, Wak Lihun menyaksikan matahari kehilangan senyum: gerimis mulai turun, makin lama makin deras. Bunyinya semakin keras, menelan deru mobil, makian para pengendara sepeda motor dan kondektur Metro Mini, klakson yang bersahutan, serta aneka hiruk-pikuk jalan raya lain.

"Ujan kayak gini gak bakalan lama," dia bergumam seraya menggiring sepeda ke satu sudut ramai di tepi jalan. Cuaca pada masa pemanasan global ini ibarat mood swing bagi penderita manic depressive-dalam tempo singkat, suasana kejiwaan bergerak dari satu kondisi ekstrem ke kondisi ekstrem lain. Sepuluh menit berselang, Wak Lihun sudah mengayuh sepeda kumbangnya di atas jalan yang basah. 

Wak Lihun tidak menyukai pemandangan di depannya: kolam-kolam kecil di antara aspal hitam-di matanya, hal ini tampak bagaikan bom waktu yang siap memporak-porandakan kegembiraannya hari itu. Serangan pertama datang dari seorang anak muda pengendara sepeda motor yang melintasi sebuah genangan kecil, tepat di sampingnya. Ia mengaduh, tapi bersyukur: genangan air cokelat itu cuma memercik kekaki dan celananya. 

Namun serangan mendadak dari sebuah Porsche mutakhir yang dikendarai seorang lelaki berambut putih-berwajah teduh membuatnya gelagapan. Dengan tenang, lelaki itu melintasi sebuah kolam cukup besar di tengah jalan seraya menyibakkan air kotor itu ke kanan-kiri. Kali ini baju koko Wak Lihun, yang hanya dikenakannya untuk bepergian, tak tertolong lagi. Menghentikan sepedanya, ia merasa terhina, sedih, geregetan, tapi kehilangan kata-kata untuk memaki.

Di hadapan orang-orang yang lemah, kekuasaan seperti monster yang senantiasa mengancam. Tanpa niat buruk sekalipun, pemegang kekuasaan, dengan berbagai manifestasinya-kekayaan, jabatan, keperkasaan, serta mobil mewah dan canggih-selalu dapat menimbulkan mudarat bagi mereka yang lebih lemah. Kekuasaan tak mengindahkan keberadaan orang lain; ia berawal dan berakhir pada kepentingan sendiri dan kalangan sendiri. 

Mungkin karena itulah kesewenang-wenangan, power abuse kemudian terjadi. Bupati Ngada Marianus Sae, yang tak berhasil mendapatkan tiket pesawat, muncul dengan pembalasan yang menihilkan keberadaan orang lain. Merasa disepelekan oleh sebuah maskapai penerbangan, amarahnya terbakar, ia memerintahkan penutupan bandar udara di salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur itu. Tanpa nawaitu yang buruk pun, ia telah mengkhianati publik yang memilihnya dalam pemilihan beberapa tahun lalu. Tapi begitulah kekuasaan. 

Kita telah berjalan jauh. Di kampus perguruan tinggi, mahasiswa baru menjadi senior, yang senior menjadi alumnus, tapi tradisi power abuse tak berhenti. Di kampus ITN Malang, senioritas adalah kekuasaan, dan kekuasaan bukan sesuatu yang dipelihara layaknya amanah. Kekuasaan ini justru mengambil nyawa seorang mahasiswa baru.

Tiba di rumah, kemarahan Wak Lihun menguap sudah. Ia membayangkan dirinya di belakang kemudi Porsche mewah itu dan menimbang: apakah ia masih ingat akan mereka yang mengayuh sepeda di hari hujan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar