Minggu, 29 Desember 2013

Fenomena Syechermania

Fenomena Syechermania

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  28 Desember 2013
  


Lebih dari 20.000 orang berteriak histeris, “Allahu akbar, allahumma shalli ala Muhammad, Habib Syech, Habib Syech....” Itu saya saksikan hari Rabu, 25 Desember 2013, pukul 20.30 WIB, di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, yang diasuh oleh kiai muda, Kiai Yusuf Chudhori. 

Teriakan massa itu menggemuruh saat Habib Syech naik panggung untuk memimpin pembacaan salawat. Sudah beberapa kali saya ikut dalam “Majlis Shalawat” yang dipimpin oleh Habib Syech bin Alwi Assegaf. Karena selalu duduk berdampingan dengan Habib Syech, saya bisa memahami dan berempati (turut merasakan) apa pesan moral dan bagaimana gejolak psikologis massa yang histeris di majelis itu. Majelis salawat yang dipimpin oleh Habib Syech muncul beberapa tahun terakhir. 

Mula-mula di Jawa Tengah dan Daerah IstimewaYogyakarta, kemudian merambah ke seluruh Jawa. Massanya berjumlah puluhan ribu, datang sendiri dari berbagai penjuru tanpa diundang. Begitu mendapat informasi majelis salawat Habib Syech akan hadir di suatu tempat, massa itu pun spontan hadir. Di sana mereka sangat antusias mengumandangkan salawat, puji-pujian, dan doa kepada Nabi Muhammad SAW. Acara ini diselenggarakan rutin hampir sepanjang tahun, tidak terbatas pada hari-hari besar Islam seperti peringatan Maulid Nabi, Isra Mikraj, atau Syawalan. 

Acara yang biasa dimulai pukul 20.00 malam itu biasanya sudah dipadati pengunjung sejak menjelang magrib. Mereka membawa bekal makan dan peralatan sendiri, termasuk umbul-umbul dan bendera majelis taklim, organisasi-organisasi pemuda Islam atau pemuda masjid, ibu-ibu pengajian, Ansor, Muslimat NU, Fatayat NU, pesantren-pesantren, dan umbul-umbul Syechermania. Syechermania? Ya, Syechermania. Para penggemar majelis salawat yang dipimpin oleh Habib Syech ini menyebut diri mereka sebagai Syechermania yang berarti penggemar berat Habib Syech. 

Syechermania ini selalu memburu dan hadir bergelombang ke mana saja Habib Syech manggung. Mereka mengorganisir atau mengurus akomodasi sendiri. Kita bisa melihat juga betapa memasyarakatnya majelis salawat Habib Syech dari dunia maya. Melalui youtube, misalnya, kita bisa unduh video-video saat Habib Syech tampil bersalawat, lengkap dengan gambar-gambar jamaah yang sangat khusyuk serta alunan salawatnya dalam berbagai irama lagu. Dua hari sebelum acara di Tegalrejo Magelang itu, misalnya, akun Twitter saya sudah dibanjiri mention tentang berita kehadiran saya dan Menakertrans Muhaimin Iskandar ke majelis Habib Syech itu. 

Majelis salawat Habib Syech merupakan alternatif hiburan “halal” yang bernilai rohaniah karena kedatangan jamaah ke sana bukan hanya untuk berhura-hura, tetapi sekaligus untuk mengisi dan menyetrum ulang kepekaan rohani atau rasa keagamaan. Mereka yang datang ke sana bisa mendapat kegembiraan dan ketenangan hati, bukan sekadar menyanyi dan berjingkrak-jingkak tak karuan seperti yang sering terlihat dalam pertunjukan musik atau orkes-orkes biasa. 

Majelis salawat Habib Syech merupakan alternatif yang lebih sehat terhadap pola-pola pertunjukan yang berbasis pada budaya pop yang banyak dihegemoni oleh kekeringan jiwa. Pada pertunjukan musik umum sering terjadi kerusuhan karena pengunjungnya ada yang mabuk. Ada yang dengan mata liar saling dorong berebutan untuk berjoget dengan cewek yang juga hadir dengan pakaian seadanya dan norak. Ada yang berteriak-teriak ingin meraih tangan artis yang menyanyi dengan lagu merangsang dan berpakaian seksi. 

Pada pertunjukan yang seperti ini polisi sering dibuat sibuk untuk mengamankan keadaan. Namun, dalam majelis salawat Habib Syech ini jamaahnya sungguh tertib. Mata-mata mereka tampak tulus, wajahnya sejuk, penuh harap dalam doa yang khusyuk. Mereka ikut membaca salawat-salawat yang isi dan iramanya dipimpin langsung oleh Habib Syech selama tak kurang dari tiga jam. Ketika salawat dilantunkan dengan gembira mereka pun bersalawat dengan irama gembira sambil tersenyum-senyum. Saat salawat dilantunkan dengan sendu dan haru mereka pun banyak yang bersalawat sambil menangis tersedu-sedu. 

Saat salawat dilantunkan dengan irama mars perjuangan yang penuh semangat, mereka pun bersalawat dengan gelora perjuangan untuk menebar kebaikan. Tak terlibat kesibukan polisi yang turun untuk menertibkan sebab hanya dengan suara lembut Habib Syech dari atas panggung semua jamaah menjadi tenang dan tertib. Kalau Habib Syech meminta mereka duduk, maka mereka duduk; kalau Habih Syech meminta mereka berdiri, mereka pun berdiri. Di dalam bacaan salawat yang panjang Habib Syech selalu menyelipkan nasihat-nasihat agar jamaahnya mengikuti tuntunan Rasul, yakni berakhlak sebagai umat dan sebagai bangsa Indonesia. 

Salawat-salawat dilantunkannya secara dinamis. Malam itu Muhaimin Iskandar yang duduk di antara Habib Syech dan saya juga tampak khusyuk dan bersemangat ikut melafalkan berbagai salawat yang tampak sangat dihafalnya. Saya sangat suka pada salawat Shalaatun bisalamil mubien, Ya Hanana, Ya Sayyidi, Padhang Wulan, dan Burdah-nya al Bushiri. 

Menariknya, lantunan salawat yang panjang itu oleh Habib Syech diakhiri dengan lagu Indonenesia Raya yang dinyanyikan oleh puluhan ribu orang yang hadir dalam keadaan berdiri. Indonesia berjaya menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dengan salawat. Makanya, kata Kiai Yusuf Chudhori, “Agar menjadi negara aman, adil, dan makmur maka Indonesia harus bersalawat.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar