Selasa, 31 Desember 2013

Gus Dur dan Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional

Gus Dur dan Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional

Anton Prasetyo   ;   Pendidik di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013

  

SETIAP 30 Desember selalu diperingati sebagai hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid. Tokoh nasionalis-agamais itu dikenang tak lepas dari keluasan intelektualitasnya. Bahkan tak jarang dirinya dikenal sebagai sosok yang lebih cerdas daripada zamannya. Sosok kiai yang akrab disapa Gus Dur itu pernah menduduki posisi strategis, baik di pemerintahan maupun di ormasnya. Selain sebagai guru bangsa, cucu pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU) itu juga pernah menjabat presiden RI dan ketua tanfiziah (badan eksekutif) ormas NU.

Gus Dur juga mendapat banyak penghargaan, seperti gelar doktor honoris causa dari Universitas Jawaharlal Nehru India, Bintang Tanda Jasa Kelas 1 Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari pemerintah Mesir, dan pin penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I Ramon Magsaysay. Termasuk, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie, gelar doktor honoris causa bidang perdamaian dari Soka University Jepang (2000), Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations New York (2003), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC) Seoul Korea Selatan (2003), serta Presiden World Headquarters on NonViolence Peace Movement (2003), penghargaan dari Simon Wiethemtal Center Amerika Serikat (2008), penghargaan dari Mebal Valor Amerika Serikat (2008), penghargaan dan kehormatan dari Temple University Philadelphia Amerika Serikat yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008). (Kompas.com, 31/12/2009)

Keberhasilan demi keberhasilan yang diraih Gus Dur dipastikan tidak didapatkan secara instan, tetapi memerlukan proses yang panjang dan penuh perjuangan. Kesuksesan intelektual Gus Dur tak lepas dari tiga fase, sebagaimana yang banyak dilalui orang-orang sukses lainnya. Ketiganya ialah fase formulasi atau pembentukan, fase momentum, dan fase stabil. Nah, dalam fase formulasi itulah sosok Gus Dur dan orang-orang sukses lainnya harus memiliki niat baja dan tahan uji. Di fase formulasi tersebut seseorang harus menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan dan rintangan.

Karena fase formulasi penuh cobaan dan rintangan, terdapat dua kemungkinan seseorang dalam menjalani masamasa itu. Pertama, seseorang yang teguh pendirian sehingga mampu melewati cobaan dan rintangan. Orang-orang itulah yang nantinya lulus dan akan menikmati masa-masa selanjutnya. Hanya, tidak banyak orang bisa melewati masa-masa tersebut dengan baik dan lulus uji. Kedua, seorang yang tidak memiliki mental baja. Orang itu tidak sanggup melewati cobaan dan rintangan sehingga bukan hasil maksimal yang didapat, melainkan kegagalan demi kegagalan yang menghampirinya.

Pejuang intelektual

Pada fase formulasi inilah perjuangan harus diupayakan. Tanpa adanya perjuangan, mustahil semua akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Dalam pencarian ilmu pengetahuan, kiai yang pernah menjabat presiden RI setelah BJ Habibie itu harus mengalami perjuangan yang tidak banyak dilakukan orang lain. Semenjak belia Gus Dur sudah harus belajar mengaji dan Alquran kepada kakeknya (KH Hasyim Asy'ari) sehingga pada usia lima tahun ia telah lancar membaca Alquran.

Di samping itu, saat dirinya masih duduk di sekolah tingkat dasar, bersama ayahnya di Jakarta, di sela-sela waktu sekolah formal, dirinya selalu meluangkan waktu untuk les privat bahasa Belanda kepada Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam.

Ketika masuk SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) di Gowongan, Yogyakarta, pada 1953, dirinya juga sambil mondok di pesantren Krapyak.
Hariannya full digunakan untuk aktivitas. Kegiatan rutin harian ialah mengaji kepada KH Ma'shum Krapyak setelah salat subuh, dilanjutkan sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya. Di samping itu, di masam asa tersebut Gus Dur juga mulai belajar mulai belajar bahasa Inggris.

Beragam buku berat berbahasa Inggris dibaca Gus Dur belia. Di antara buku yang dibaca Gus Dur semasa sekolah SMEP ialah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, William Faulkner, Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y Gasset, serta beberapa karya penulis Rusia seperti Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky, dan Mikhail Sholokov. Di samping itu, Gus Dur juga melahap habis karya Will Durant yang berjudul The Story of Civilization.

Tak hanya itu, Gus Dur yang baru menginjak dewasa juga rajin menggali informasi melalui siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Dirinya juga membaca buku karya Lenin What is to be Done, Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan sebagainya.

Setamat dari SMEP, Gus Dur melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Di pesantren itu, Gus Dur meneruskan hobi membacanya. Dibawanya seluruh koleksi buku yang dimilikinya hingga membuat teman-teman santri asuhan KH Chudhari itu terheran-heran. Atas bekal ilmu yang dibawa dan ketekunannya, Gus Dur mampu menyelesaikan studi selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo. Padahal, umumnya belajar di pesantren itu setidaknya empat tahun baru mendapat kelulusan.

Pengembaraan Gus Dur dalam rangka menimba ilmu dilanjutkan ke Pesantren Tambak Beras Jombang. Di pesantren pamannya itu, Gus Dur berkesempatan belajar sempurna karena dia manahi untuk menjadi ustaz selama dua tahun. Pada usia 22 tahun, pengembaraan Gus Dur dalam rangka mencari ilmu mulai merambah ke luar negeri. Selepas melaksanakan ibadah haji, dirinya pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas Al Azhar.

Di Mesir, Gus Dur merasakan kekecewaan. Dirinya merasa ada rintangan menghadangnya. Sampai di Mesir, dirinya tidak dapat langsung masuk Universitas Al Azhar. Gus Dur harus masuk aliyah (semacam sekolah persiapan). Kendati demikian, kekecewaan Gus D Dur tidak membuatnya putus asa. Dirinya tetap mencari celah sehingga dapat menggali ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sering kali Gus Dur mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) serta toko-toko buku tempat dia dapat membaca dan/atau memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Perjalanan mencari ilmu tak henti di situ. Pada 1966 Gus Dur pindah belajar ke Irak. Dirinya masuk ke Department of Religion di Universitas Baghdad sampai 1970. Di situlah Gus Dur mulai mendapatkan rangsangan intelektual lagi karena di Kota Seribu Satu Malam itu dirinya kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Dengan adanya kesempatan emas tersebut, dirinya tidak menyia-nyiakannya, dibacanya buku-buku yang ada secara intensif.

Di samping pengembaraannya ke Mesir dan Baghdad, Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada. Di situ dirinya mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Hingga pada 1971 Gus Dur menyelesaikan pengembaraan pendidikannya dan menetap di Indonesia lagi. Kendati demikian, semangat belajar tak pernah surut. Terbukti pada 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkan gelar doktor. 

Dirinya memiliki keinginan untuk menjalankan studi itu. Hanya, niatan mulia tersebut tidak dilaksanakannya karena semua promotor tidak sanggup. Gus Dur dianggap tidak membutuhkan gelar tersebut. Bahkan pada kenyataannya, beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi.

Mendewakan

Atas prestasi intelektual Gus Dur yang luar biasa itulah masyarakat kita sering kali mendewakannya. Praktik pendewaan itu pun sekadar melihat hasil akhirnya. Banyak warga kita yang mengagumi keluasan ilmu Gus Dur tanpa menyimak proses belajarnya. Segala rangkaian kata digunakan untuk memuji-mujinya. Terlebih pada momentum peringatan hari wafatnya seperti saat sekarang. Bahkan beraneka ragam rangkaian kata menghiasi media cetak dan elektronik dalam rangka mengagumi sosok Gus Dur.

Mendewakan Gus Dur dalam arti membanggakan sehingga bisa memotivasi diri untuk bisa mencontohnya tentunya merupakan tindakan positif. Namun yang banyak terjadi ialah mendewakan sebatas mengaguminya. Masyarakat kita lupa bahwa Gus Dur ialah sosok teladan yang harus ditiru, bukan sekadar dipuji. Perjuangan intelektualnya harus ditiru generasi penerusnya. Tanpa adanya perjuangan meniru dan meneruskan upaya-upaya pendidikan Gus Dur, mustahil bangsa kita akan menjadi maju.

Dunia pendidikan pun harus berkaca pada sosok Gus Dur. Keluasan ilmu Gus Dur bukanlah semata hasil kerja pendidikan formal. Bahkan berulang kali Gus Dur kecewa terhadap dunia pendidikan formal. Dirinya sempat tidak naik kelas ketika di SMEP karena kelakuannya yang disebabkan kekecewaan pada dunia pendidikan. Berakar dari sinilah, momentum peringatan haul keempat KH Abdurrahman Wahid ini semoga bisa menjadi pelecut semangat generasi muda kita agar bisa meneladani perjuangan pendidikannya dan menjadi inspirasi para punggawa pendidikan untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional. Semoga!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar