Minggu, 29 Desember 2013

Harapan Besar di Tahun 2014

Harapan Besar di Tahun 2014

Hendri Saparini  ;   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB
SUARA KARYA,  26 Desember 2013
  


Sekadar mengingatkan, tanggal 13 Desember lalu diperingati sebagai Hari Nusantara (Harnus). Momentum ini memiliki makna bahwa wilayah Indonesia bukan hanya daratan tetapi juga lautan. Sejatinya, 56 tahun yang lalu tepatnya pada 13 Desember 1957 telah dideklarasikan kepada dunia bahwa Indonesia berdaulat penuh atas seluruh wilayah perairan yang menghubungkan pulau-pulau Nusantara tanpa memandang luas atau lebarnya. Deklarasi yang selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Djuanda menjadi titik awal perubahan radikal konsep hukum laut warisan Hindia Belanda seperti diatur dalam Ordonansi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939.

Makna strategis yang terkandung dalam deklarasi ini adalah adanya perubahan paradigma wawawasan Nusantara yang dianut. Jika sebelumnya laut dipandang sebagai pembatas atau pemisah antar pulau karena adanya zona laut bebas di dalamnya, maka dengan deklarasi ini laut dijadikan sebagai pemersatu dan perekat pulau-pulau dalam wilayah kedaulatan Indonesia.

Adanya pengakuan dunia dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS '82) mengenai bentuk negara kepulauan, menjadi bagian penting dalam konstitusi Indonesia melalui amandemen kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000. Dalam UUD 1945 hasil perubahan kedua, pada BAB IX A mengenai Wilayah Negara, pasal 25A telah menyatakan bahwa: "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara".

Konsep Wawasan Nusantara yang mengantarkan diterimanya konsep negara kepulauan di dalam konvensi hukum laut internasional, sudah seharusnya menjadi ramuan dasar dalam pengembangan konsep kebijakan pengelolaan wilayah perairan dan wilayah yuridis Indonesia. Karena itu dalam upaya mengelola wilayah laut dan sumberdayanya, Indonesia perlu mengembangkan konsep kebijakan kepulauan (Archipelago policy).

Menurut data UNCLOS 1982, luas wilayah perairan Indonesia meliputi kawasan laut 3,1 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan wilayah laut seluas 0,3 juta km2. Selain Itu, Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas sumber kekayaan alam dan berbagai kepentingan yang ada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang telah diakui internasional seluas 2,7 juta km2. 

Dengan demikian, saat ini Indonesia memiliki wilayah laut sebesar 5,8 juta km2 yang lebih luas daripada daratan sehingga perlu ditanamkan kesadaran kepada setiap orang, terlebih pemangku kebijakan dalam merumuskan pembangunan bahwa Indonesia adalah negara maritim.

Setidaknya beberapa hal yang dapat dijadikan dasar dalam menanamkan kesadaran maritim. Pertama, keunggulan potensi laut. Kekayaan laut Indonesia jauh melebihi negara-negara di kawasan ASEAN maupun Asia Pasifik. Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang lebih dari 95.200 km dan merekatkan sekitar 17.504 pulau untuk membentuk satu gugusan kepulaun terbesar di dunia telah memendam beragam potensi yang belum termanfaatkan secara optimal.

Estimasi sumber daya perikanan di wilayah perairan Indonesia termasuk wilayah ZEE adalah 6,5 juta ton per tahun. Jika diasumsikan harga ikan 1.000 dolar AS per ton, maka laut Indonesia memiliki potensi sekitar 5 miliar dolar AS tentunya dengan mempertimbangkan prinsip kelestarian sumber daya ikan. Disamping itu, laut nusantara diyakini menyimpan berlimpah cadangan hidrokarbon berupa minyak dan gas bumi. Puluhan cekungan yang telah terinvetarisir di wilayah perairan hingga sekarang pengelolaannya belum mampu dimanfaatkan secara keseluruhan oleh negara secara berdaulat, ironisnya perusahaan swasta asing lebih mendominasi pengelolaannya. Laut Indonesia juga menyajikan keindahan dan kekayaan bio diversity yang bisa dijadikan wisata bahari. Sebagai contoh, Kepulauan Raja Ampat di dekat kota Sorong, Papua Barat yang bisa menambah pemasukan devisa negara.

Kedua, posisi strategis Indonesia. Posisi yang diapit oleh dua samudera (Samudera Pasifik dan Samudera Hindia) dan dibatasi oleh dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) menjadikannya berada pada titik strategis yang sangat menguntungkan. Dari segi ekonomi, Indonesia berada pada jalur perdagangan internasional yang melalui selat tersibuk di dunia, yaitu Selat Malaka. Selain Selat Malaka, jalur perdagangan internasional juga melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Sunda dan Laut Banda.

Sayangnya anugerah yang luar biasa itu belum disadari benar oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Paradigma pembangunan ekonomi masih bertumpu pada satu kaki (daratan) yang masih mendominasi dalam kegiatannya. Karena itu pemerintah sudah saatnya membuat perubahan paradigma pembangunan nasional, dari daratan menjadi lautan. Dalam hal ini diperlukan keterpaduan pembangunan sosial ekonomi di darat dan laut. Negara perlu fokus untuk mengembangkan industri hulu sampai hilir berbasis kekayaan alam sebagai penggerak ekonomi terutama potensi laut agar bisa dioptimalkan. 

Sumber-sumber kekayaan alam laut perlu dikelola oleh negara yang menjadi hak pengelolaannya jangan sampai diserahkan pengelolaannya kepada swasta asing.
Selain itu pembangunan daerah di 92 pulau terluar perlu dikembangkan dan dijaga keamanannya. Beberapa isu strategis di pulau perbatasan seperti penetapan segmen-segmen garis batas yang belum selesai, persepsi perbatasan sebagai halaman belakang, kesejahteraan masyarakat perbatasan yang tidak diperhatikan, pos lintas batas yang kurang, sarana dan prasarana pelayanan sosial dasar yang kurang, minimnya SDM dan pelanggaran hukum perlu segera diatasi. Pemerintah harus serius memperbaiki taraf ekonomi masyarakat perbatasan diantaranya dengan menyediakan infrastruktur yang memadai seperti akses jalan, telekomunikasi, pelabuhan laut-udara, air bersih dan energi listrik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar