Senin, 30 Desember 2013

Indonesia dan Globalisasi



PROSPEK POLITIK 2014

Indonesia dan Globalisasi

Sri Hartati Samhadi  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013
 


TAHUN 2015 akan menjadi tahun penentuan bagi perekonomian Indonesia, terutama dengan mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi Asia: Indonesia akan menjadi pemenang, atau sebaliknya pecundang di kawasan.
Sejumlah kajian akademis dan empiris menunjukkan, deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan investasi selama ini menyumbang besar pada tingginya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun 1980-an hingga awal 1990-an.

Namun, perkembangan makroekonomi, khususnya neraca perdagangan beberapa tahun terakhir menunjukkan Indonesia mulai kedodoran serta tak mampu memetik manfaat dan peluang yang terbuka lebar dari momentum kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia dan internasional.

Per Juli 2011, Indonesia tercatat terlibat dalam 19 kesepakatan perdagangan bebas (FTA) di mana 7 di antaranya sudah berjalan, sementara 1 belum mulai berlaku, 3 masih dalam status negosiasi, 2 dalam status negosiasi tetapi kerangka kesepakatannya sudah ditandatangani, serta 6 masih berstatus usulan.

Dari tujuh yang sudah berjalan, hanya satu yang FTA bilateral, yakni Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) Indonesia-Jepang, sedangkan enam sisanya FTA yang ditandatangani Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, termasuk AFTA.

Salah satu yang paling ekstensif, ambisius, dan di depan mata adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang salah satu pilarnya adalah pembentukan pasar tunggal ASEAN pada 2015 atau dua tahun dari sekarang. Di ASEAN sendiri kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BTA) ditempuh karena kemajuan AFTA dianggap terlalu lamban. Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang akan menjadikan ASEAN pasar tunggal dan basis produksi kompetitif di kawasan ,juga bentuk dari respons ASEAN terhadap bangkitnya ekonomi China dan India.

Sebagai pasar tunggal, semua hambatan perdagangan, baik tarif maupun tarif, akan dihapuskan. Antisipasi terutama harus kita lakukan terkait liberalisasi sektor jasa sebagai sektor sensitif. Lima sektor jasa yang disepakati diliberalisasi adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce, transportasi udara, dan logistik. 

Kelimanya pada 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara. Perdagangan jasa mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional dan buruh manufaktur. Untuk profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai beroperasi bebas 2015, yaitu perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, dan insinyur. Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN.

Yang menjadi pertanyaan, siapkah kita menghadapi serbuan tenaga kerja dari negara tetangga di ASEAN ini dan mampukah kita memanfaatkan peluang pasar di negara ASEAN lain? Kekhawatiran yang muncul terutama terkait ketidaksiapan tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan survei Asian Productivity Organization 2004, dari setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia hanya 4,3 persen yang tergolong terampil, sementara Filipina 8,3 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen. Apalagi dalam MEA sendiri tak ada kesepakatan regional terkait perlindungan buruh migran yang jadi kepentingan Indonesia.

Motivasi Indonesia

Meskipun premisnya perdagangan bebas menawarkan peluang kerja sama ekonomi dan perluasan perdagangan lewat penurunan tarif, dalam kenyataannya karena ketidaksiapan kita sendiri, FTA justru berdampak memukul industri dalam negeri. Bukan perluasan pasar ekspor di negara mitra dagang yang terjadi, melainkan justru kian terdesaknya pelaku industri Indonesia di pasar dalam negeri.

Ini antara lain kita alami dalam kasus Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) di mana perdagangan bebas ASEAN dan China justru kian memperlebar defisit perdagangan kita dengan China. Pasar dalam negeri Indonesia semakin dibanjiri berbagai produk konsumsi dari China yang membuat sejumlah pelaku industri dalam negeri gulung tikar karena tak mampu bersaing.

Tujuh subsektor industri, yakni petrokimia, pertekstilan, alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta besi dan baja bakal babak belur dengan potensi kerugian diperkirakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia mencapai Rp 35 triliun per tahun.

Hal serupa terjadi dalam kasus EPA dengan Jepang yang ditandatangani dan mulai berlaku 2008. Ketidaksiapan Indonesia memanfaatkan peluang—selain juga keengganan Jepang membuka pasar—menyebabkan setelah lima tahun berlaku, nyaris tak ada manfaat apa pun bisa kita petik dari adanya EPA. 

Awalnya, dengan EPA kita berharap terjadi restrukturisasi industri lebih cepat melalui transfer teknologi dan juga peningkatan kapasitas. Selain itu, terbuka akses lebih lebar bagi tenaga kerja terampil dari Indonesia seperti perawat untuk masuk ke pasar Jepang. Dalam kenyataannya itu tak terjadi sehingga dalam pertemuan bilateral kedua negara di sela APEC Bali awal bulan ini disepakati dilakukan negosiasi ulang.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan pesat jumlah FTA bilateral di kawasan Asia. Tak seperti negara ASEAN lain, yakni Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina, Indonesia awalnya tergolong lambat melibatkan diri dalam kebijakan FTA dengan negara non-ASEAN. Namun dengan proliferasi FTA bilateral di negara ASEAN lain, Indonesia mau tak mau ikut melompat ke dalam gerbong karena tak ingin ketinggalan.

Diawali dengan ASEAN+1, ASEAN+3, kemudian dengan CER (Australia, Selandia Baru), lalu dengan India, disusul dengan Pakistan. Indonesia juga tengah menjajaki negosiasi FTA dengan AS. Dalam kunjungan ke Berlin belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kanselir Jerman Angela Merkel juga menyepakati segera dimulainya negosiasi FTA EU-Indonesia.

Tingginya resistensi di dalam negeri yang dilatari kekhawatiran Indonesia hanya akan jadi penonton atau pasar, tampaknya tidak bisa mengerem animo pemerintah untuk terus melakukan negosiasi FTA dengan negara mitra dagang penting. Ekonom Hadi Soesastro dan Wakil Presiden Boediono pernah mengemukakan, alasannya Indonesia terlibat dalam begitu banyak FTA di kawasan sifatnya lebih pragmatis obyektif ketimbang ideologis. Indonesia akan kehilangan daya saing jika tidak ikut ambil bagian dalam FTA regional ini.

Kesiapan Indonesia

Sektor industri dalam negeri adalah sektor kunci yang akan paling terpengaruh oleh penerapan BTA dengan negara mitra dagang. Di luar Kadin, menurut Alexander C Chandra dari The Institute for Global Justice (Indonesia and Bilateral Trade Agreements), sebagian besar asosiasi bisnis dan kelompok penekan lain di Indonesia sebenarnya merasa skeptis dengan keterlibatan Indonesia dalam BTA dengan sejumlah negara. Pemerintah dinilai terlalu berani membuat komitmen BTA.

Di kalangan pemerintah sendiri, tidak ada kesamaan pandangan soal kesiapan Indonesia. Secara umum, mereka yang terlibat langsung dalam negosiasi, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, sangat mendukung BTA karena menganggap BTA membuka peluang besar bagi perekonomian Indonesia meski Kementerian Perdagangan mengakui adanya potensi dampak negatif pada industri dalam negeri.

Kementerian Perindustrian sendiri melihat BTA sebagai momentum untuk memaksa pelaku industri besar khususnya industri logam, otomotif, dan kendaraan bermotor untuk bersaing karena selama ini mereka terlalu manja dan terlalu banyak menikmati proteksi dan insentif dari pemerintah.

Sebagian kementerian lain, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan skeptisisme mereka. Kemenkop dan UKM mengingatkan mayoritas sektor industri dalam negeri tak yakin siap bersaing dengan pesaing di ASEAN, apalagi China. Kemenkop dan UKM juga mengingatkan lemahnya koordinasi internal di antara pemerintah sendiri dan lemahnya diseminasi informasi kepada publik terkait BTA ini. Bahkan banyak kalangan di pemerintahan sendiri tak paham kebijakan spesifik terkait BTA.

Kekhawatiran serupa diungkapkan kalangan pejabat Bappenas. Mereka mencemaskan sektor pertanian dan non-pertanian dalam negeri yang dinilai tak siap. Eliminasi tarif yang dilakukan pemerintah menjadi 4-10 persen pada kurun 1995-2003 untuk sebagian besar industri, menurut Bappenas, gagal mendorong pengembangan dan daya saing industri dalam negeri.

Pemerintah selama ini selalu berargumen upah buruh murah menjadi keunggulan kompetitif penting Indonesia, tetapi kita gagal meningkatkan produktivitas buruh dan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Kalangan akademisi umumnya juga skeptis karena mereka tak melihat sasaran jelas pemerintah dalam kesepakatan BTA dengan para mitra dagang utama.

Mereka melihat Indonesia sekadar latah atau ikut-ikutan dengan langkah yang diambil negara ASEAN lain, khususnya Singapura dan Thailand. Mereka mendesak pemerintah mengambil pendekatan hati-hati, selain karena ketidaksiapan industri dalam negeri, indonesia sendiri tak cukup memiliki negosiator tangguh yang mampu mengartikulasikan kebutuhan dalam negeri dengan baik, memetakan keunggulan dan kelemahan, serta merumuskan strategi dalam menghadapi BTA.

Sebagai anggota ASEAN, misalnya, Indonesia selama ini tak ikut memainkan peran aktif dalam negosiasi ASEAN-China soal ACFTA. Akibatnya, kepentingan Indonesia tak sepenuhnya terakomodasi dan Indonesia gelagapan dan babak belur ketika kesepakatan diimplementasikan. Terkesan negosiasi selama ini tak menyertakan semua pemangku kepentingan sejak awal.

Sejumlah ekonom pada sebuah diskusi di Kompas beberapa waktu lalu mencemaskan jika tidak hati-hati, Indonesia bisa sekadar jadi pasar bagi negara ASEAN lain. Rendahnya kualitas pembangunan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia membuat kemampuan Indonesia memanfaatkan peluang MEA 2015 sangat rendah dan bangsa indonesia akan semakin kehilangan daya saing. 

Untuk bisa maju, berkembang, dan bangkit bersama Asia, menurut mereka, Indonesia harus memberikan prioritas pada peningkatan kualitas SDM dan memodernisasi ekonominya agar berdaya saing tinggi, menggarap ekonomi domestik menjadi berdikari, dan mengurangi ketimpangan.

Indonesia harus segera mengidentifikasi kembali sektor apa saja yang kemungkinan besar akan diuntungkan atau dirugikan dengan berlakunya MEA. Ini penting agar Indonesia bisa lebih fokus dalam membenahi sektor tersebut dan mengurangi dampak negatifnya. Langkah reformasi dan penyesuaian dalam negeri harus dilakukan. Langkah serius membenahi berbagai masalah yang menjadi hambatan bagi industri indonesia untuk bisa bersaing juga tak bias ditunda-tunda lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar