Senin, 30 Desember 2013

Ironi Anggaran Negara Kaya



PROSPEK EKONOMI 2014

Ironi Anggaran Negara Kaya

Gianie  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013



PAKET kebijakan pemerintah pada 22 Agustus lalu untuk meredam pemburukan ekonomi akan berpengaruh pada pendapatan negara 2014. Jika tidak hati-hati, keseimbangan primer bisa membengkak dari yang sudah direncanakan dalam RAPBN 2014. Di sisi lain, alokasi belanja negara memperlihatkan ironi pemerintah.

Sejak tahun 2012, keseimbangan primer Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni pendapatan dikurangi belanja di luar pembayaran utang, sudah minus. Meskipun rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) masih dalam batas aman (kurang dari 3 persen), keseimbangan primer yang negatif menjadi sinyal tidak sehatnya APBN.

Dalam RAPBN 2014, pemerintah memperkirakan keseimbangan primer masih minus dengan angka lebih kecil, yakni Rp 34,7 triliun. Tahun 2012 keseimbangan primer defisit Rp 52,8 triliun yang membengkak minus Rp 111,7 triliun pada APBN Perubahan 2013.

Ada dua cara mengatasi defisit keseimbangan primer: menambah pendapatan atau efisiensi belanja. Cara pertama akan bertabrakan dengan beberapa kebijakan ekonomi pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian akibat merosotnya nilai tukar rupiah dan saham.

Kebijakan pengurangan pajak sebagai insentif industri padat karya dan penghapusan pajak penjualan atas barang mewah jelas akan memengaruhi pendapatan negara. Ditambah pula dengan pemberian insentif tax holidayuntuk mempercepat investasi berbasis agro, minyak sawit mentah (CPO), kakao, rotan, mineral logam, bauksit, dan tembaga. Jika belanja negara diasumsikan tetap, apalagi jika membengkak, menurunnya sumber pendapatan akan memperbesar defisit keseimbangan primer.

Pendapatan negara dalam RAPBN 2014 direncanakan Rp 1.662,5 triliun, naik hampir 11 persen dari APBN-P 2013. Sekitar 80 persen pendapatan tetap berasal dari penerimaan pajak, yakni Rp 1.310,2 triliun. Tren penerimaan selalu meningkat, kali ini 14 persen dengan laju agak menurun. Penerimaan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai menjadi sumber penyumbang terbesar.

Belanja negara 2014 meningkat 5 persen menjadi Rp 1.816,7 triliun. Tren belanja negara selalu meningkat, baik untuk belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat naik 3 persen, sementara transfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian naik 11 persen.

Dengan belanja lebih besar daripada pendapatan, defisit anggaran diperkirakan Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB. Defisit ini bisa diatasi melalui beberapa instrumen pembiayaan, seperti penerbitan surat berharga negara atau pinjaman luar negeri.

Namun, hal penting dari belanja negara adalah efisiensi dan alokasi anggaran yang tepat, yaitu pada sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, realokasi anggaran ke belanja modal, terutama ke sektor yang mendorong berkembangnya pertanian, industri, dan infrastruktur, harus dilakukan. Sektor-sektor ini yang akan menjadi tumpuan penciptaan lapangan kerja.

Alokasi belanja

Mengacu pada data tujuh tahun lalu, pendapatan negara yang direncanakan untuk tahun 2014 naik sangat signifikan, yaitu 135 persen. Ini menandakan perkembangan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat menyumbang banyak untuk anggaran negara. Potensi penerimaan tentu lebih besar lagi. Meski belum tergolong negara maju, Indonesia negara kaya dengan jumlah masyarakat kelas menengah yang besar dan pertumbuhan ekonomi terjaga.

Belanja negara juga naik hingga 140 persen. Sayangnya, alokasi anggaran belanja belum bisa dikatakan efisien dan memihak rakyat. Belanja subsidi dan belanja pegawai masih mendominasi.

Alokasi belanja pemerintah pusat sebenarnya mulai menaruh perhatian lebih besar pada belanja modal dan barang. Alokasi belanja modal yang meningkat mengompensasi subsidi yang mulai dikurangi bertahap. Pengurangan subsidi merupakan konsekuensi kenaikan harga bahan bakar minyak pada Juni 2013. Juga kenaikan tarif listrik bertahap per tiga bulan sejak awal tahun 2013.

Pada APBN-P 2013, alokasi belanja barang dan modal mencapai 33,4 persen. Naik dari tahun 2012 yang baru 28,3 persen. Untuk tahun depan, belanja kedua pos tersebut sebesar 33,3 persen.

Peningkatan alokasi anggaran belanja modal, antara lain, untuk mengakomodasi keperluan anggaran pada kegiatan infrastruktur dasar (termasuk energi, pangan, dan komunikasi) serta meningkatkan keterhubungan antardaerah. Tren kenaikan alokasi belanja barang dan modal ini berkebalikan dengan tren belanja pegawai. Meskipun secara nominal belanja pegawai meningkat, porsinya dalam keseluruhan belanja pemerintah cenderung berkurang.

Tren belanja subsidi menurun bertahap. Porsi belanja subsidi 2012 masih 34,3 persen (Rp 346,4 triliun). Tahun 2013 porsinya turun menjadi 29,1 persen (Rp 348,1 triliun) dan turun lagi untuk tahun depan menjadi 27,3 persen (Rp 336,2 triliun). Penurunan terutama pada subsidi energi. Adapun subsidi untuk non-energi alokasinya naik, terutama untuk subsidi pupuk.

Selain belanja subsidi, alokasi bantuan sosial juga diturunkan cukup drastis, baik secara nominal maupun persentase. Pada APBN-P 2013, bantuan sosial sebesar Rp 82,5 triliun (6,9 persen). Tahun depan alokasinya turun menjadi Rp 55,9 triliun (4,5 persen).

Hal tersebut memperlihatkan menipisnya kepekaan pemerintah dalam menyusun anggaran belanja. Di tengah kondisi masyarakat kelas bawah bertahan mengatasi kenaikan harga banyak kebutuhan pokok, mereka sangat bergantung pada bantuan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan.

Pengurangan alokasi bantuan sosial mengindikasikan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap kesulitan rakyat. Pengurangan subsidi energi masih bisa dimaklumi karena dugaan penerima subsidi lebih banyak kelas menengah ke atas. Sementara pengurangan bantuan sosial di tengah masyarakat yang rentan perubahan harga pangan dan energi serta tinggal di wilayah rawan bencana seakan menciptakan ironi. Ironi yang membentangkan jarak semakin jauh antara pemerintah dan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar