Senin, 30 Desember 2013

Kemandirian yang Masih Sebatas Angan



PROSPEK EKONOMI 2014

Kemandirian yang Masih Sebatas Angan

Evy Rachmawati  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  25 Oktober 2013




IRONI terus terjadi di negeri ini. Kelimpahan beragam sumber daya energi tidak dikelola dengan baik untuk memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri. Yang terjadi ketergantungan terhadap minyak bumi yang mahal justru makin tinggi.

Sejauh ini akses terhadap energi di beberapa tempat masih rendah. Menurut Direktorat Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2012 baru 75,8 persen dari total jumlah rumah tangga di Indonesia yang berlistrik. Bahkan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat rasio elektrifikasi di sejumlah provinsi di bawah 60 persen, antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua.

Dalam 20 tahun terakhir, permintaan energi di Indonesia tumbuh pesat. Mengutip data Kementerian ESDM, pada 1990 permintaan energi baru 248 juta setara barrel minyak (SBM) dan pada 2000 konsumsi energi telah mencapai 739,5 juta SBM. Penggunanya adalah industri (44,2 persen), transportasi (40,6 persen), dan rumah tangga (11,4 persen). Hal ini seiring pesatnya laju pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Konsumsi bahan bakar minyak kian tinggi seiring pertumbuhan jumlah kendaraan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat, penjualan mobil di Indonesia pada Januari-September 2013 mencapai 908.279 unit atau lebih tinggi daripada periode sama tahun sebelumnya yang sebanyak 816.317 unit. Menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia, penjualan sepeda motor di Tanah Air pada Januari-Agustus 2013 mencapai 5,1 juta unit.

Ketergantungan pada minyak

Situasi ini membuat bangsa Indonesia lapar energi. Akibat kenaikan konsumsi BBM sementara produksi minyak mentah merosot, volume impor minyak kian tinggi. Apalagi sejak 1994, tidak ada pembangunan kilang baru. Kapasitas kilang PT Pertamina (Persero) 1,05 juta barrel per hari (bph), tetapi kemampuan produksinya hanya 700.000 bph. Adapun kebutuhan BBM nasional mencapai 1,4 juta bph.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas mencatat, produksi minyak triwulan III-2013 hanya 829.000 bph, terendah dalam sejarah produksi minyak. Indonesia pernah mengalami puncak produksi 1,6 juta bph pada 1977 dan 1995. Minimnya kegiatan eksplorasi mengakibatkan cadangan minyak hanya 3,6 miliar barrel atau 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia dan diperkirakan habis 10-11 tahun lagi.

Impor minyak mentah dan produk BBM yang terus naik menyebabkan defisit perdagangan karena pemerintah mengguyur subsidi BBM. Menghadapi Pemilu 2014, subsidi kemungkinan tetap tinggi karena partai-partai politik akan berlomba-lomba memikat rakyat. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013, pagu anggaran subsidi energi Rp 299,8 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 199,9 triliun dan subsidi listrik Rp 99,9 triliun.

Menurut Dewan Energi Nasional (DEN), dalam bauran energi pada 2010, porsi minyak 49 persen, gas bumi 22 persen, batubara 24 persen, dan energi baru terbarukan 5 persen. Dalam skenario bauran energi nasional 2025 yang disusun DEN, porsi minyak ditargetkan turun menjadi 25 persen, gas 22 persen, batubara direncanakan naik menjadi 30 persen, dan energi baru terbarukan diharapkan 23 persen.

Namun, Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi, setelah tahun 2030 Indonesia akan makin bergantung pada minyak bumi dan terus mengekspor batubara. Indonesia juga akan jadi importir gas alam jika tidak ditemukan cadangan gas baru yang signifikan. Menurut Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi, ketergantungan pada minyak terjadi akibat ketidakjelasan kebijakan pengendalian BBM dan lambatnya konversi BBM ke gas.

Diversifikasi energi

Sebenarnya gas merupakan sumber energi yang bisa diandalkan, tetapi 
eksploitasinya perlu teknologi dan biaya tinggi. Dengan cadangan 104,25 triliun kaki kubik atau 1,7 persen dari cadangan gas dunia, Indonesia terus mengekspor gas karena terikat kontrak dan ketidaksiapan infrastruktur di dalam negeri. Contohnya, sejak 1970-an, gas alam cair (LNG) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur, diekspor ke Jepang, dan LNG dari Kilang Tangguh dijual murah ke China karena ada batas atas harga dalam kontrak.

Sejauh ini pemakaian gas sebagai sumber energi di dalam negeri terbatas. Pengalihan pemakaian BBM ke gas untuk transportasi lambat lantaran keterbatasan infrastruktur gas, baik jaringan pipa maupun stasiun pengisian bahan bakar gas. Pasar BBG juga belum terbentuk akibat lemahnya koordinasi antar-kementerian dan dengan produsen mobil dalam hal pemasangan alat pengonversi pada kendaraan.

Persoalan lain adalah dominasi asing dalam pengelolaan wilayah kerja yang tersebar dari Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara membuat kedaulatan negeri ini atas sumber daya migas dan tambang rawan. Dari semua blok migas, porsi operator nasional hanya 25 persen dan 75 persen dikuasai asing. Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menargetkan porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025.

Sementara itu, batubara diperlakukan sebagai komoditas, bukan sumber energi sehingga Indonesia jadi salah satu eksportir batubara terbesar dunia. Dari total produksi batubara nasional 2012 sebanyak 386 juta ton, porsi domestik hanya 82 juta ton. Padahal, mengacu kajian statistik British Petroleum, Indonesia hanya memiliki cadangan batubara terbukti 5,5 miliar ton atau 0,6 persen dari cadangan batubara dunia. Menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan batubara terbukti dan potensial Indonesia 29 miliar ton.

Selain itu, potensi energi baru terbarukan belum tergarap dengan baik, misalnya panas bumi. Dengan potensi 28.500 megawatt (MW), kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) baru 1.340 MW. Beberapa proyek PLTP macet karena diprotes masyarakat setempat dan banyak aturan yang harus ditaati, termasuk perizinan penggunaan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Di tengah tekanan defisit neraca perdagangan, potensi bahan bakar nabati mulai mendapat perhatian. Pemerintah telah mewajibkan pencampuran biodiesel 10 persen ke dalam solar dan serta menargetkan kandungan biodiesel 20 persen pada 2025. Agar bisa berkelanjutan dan tidak mengulang kegagalan pengembangan bioetanol dari tanaman jarak, tata niaga biodiesel dari hulu sampai hilir perlu dibenahi.

Setumpuk masalah energi ini jadi tantangan ke depan. Saatnya menyehatkan portofolio energi dari ketergantungan pada bahan bakar bernilai tinggi, berfluktuasi harganya, dan mencemari lingkungan seperti minyak dengan beralih ke gas dan energi lain yang murah, bersih, dan ramah lingkungan, disertai efisiensi penggunaan energi. Ini perlu ketegasan dan konsistensi menjalankan kebijakan, tidak hanya bermimpi kemandirian energi di Tanah Air akan mewujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar