Minggu, 29 Desember 2013

Korupsi Mengoyak Kemanusiaan

Korupsi Mengoyak Kemanusiaan

Benni Setiawan  ;   Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
SINAR HARAPAN,  28 Desember 2013
  


Indonesia dalam cengkeraman koruptor. Inilah hasil survei yang dilakukan Transparency International 2013. Berdasarkan hasil survei terhadap 177 negara, Indonesia mendapatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sama dengan tahun 2012, yaitu 32.

Secara global, Indonesia masuk dalam 70 persen negara-negara yang memiliki skor IPK di bawah 50. Sementara itu, di regional Asia Pasifik, Indonesia masuk dalam 63 persen negara-negara yang memiliki skor IPK di bawah 50. Meski memiliki skor yang sama dengan tahun lalu, Indonesia naik empat peringkat di antara negara-negara lain, dari 118 menjadi 114.

Survei TII menyebutkan, dalam skala korupsi menurut kelembagaan di Asia Tenggara, yang paling tinggi melakukan korupsi menurut responden adalah institusi kepolisian dengan jumlah 3,9 persen. Kemudian, partai politik 3,6 persen dan ketiga diisi pejabat publik yang dianggap korup dengan 3,5 persen.

Sementara itu, peradilan sebanyak 3,4 persen. Parlemen dianggap korup oleh 3,3 persen responden. Di urutan berikutnya ada bidang bisnis dengan 3,1 persen. Bidang kesehatan dan pendidikan dianggap korup oleh 2,9 responden. Mengapa institusi penegak hukum menjadi contoh buruk dalam perilaku terkutuk korupsi?

Kaburnya Kemanusiaan

Korupsi yang menggerogoti jantung penegak hukum seakan kontras dengan seruan hukum (law) agar berlaku adil dan memutus perkara berdasarkan pertimbangan keadilan.

Ia pun jauh dari semangat dan seruan agama untuk menjauhi perbuatan keji (kotor) dan munkar (mengambil hak manusia lain); melarang manusia memakan harta anak yatim; dan hidup hemat, tidak boros, bersahaja, dan tidak menyombongkan diri dengan anak dan harta.

Mereka semua mengaku beragama dan menjalankan ritus keagamaan. Namun, perilaku mereka jauh dari semangat humanisme agama.

Lebih lanjut, apa yang telah tertulis di dalam kitab suci hanya sebagai bacaan harian yang tidak pernah menyentuh realitas nyata. Kitab suci dibaca dan dikutip sebagai penguat atas perilaku yang tidak benar dan menguatkan gagasan untuk memerintah secara absolut. Mereka membaca, tetapi hanya sampai pada tenggorokan, hilang sebelum menyentuh kalbu.

Apa yang terjadi di atas menunjukkan seakan tidak ada korelasi positif antara agama sebagai keyakinan hidup dan aktivitas manusia di dunia. Manusia jauh dari semangat atau roh agama yang diyakini sebagai kebenaran dan penyelamat di kehidupan kelak.

Franz Magnis Suseno (2009) menyatakan, orang maupun lembaga yang korup tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Itu fatal. Garis jelas antara kemanusiaan yang wajar dan sikap penjahat menjadi kabur. Orang menjadi terbiasa menipu, mencuri, main curang, dan tidak bertanggung jawab.

Jika institusi-institusi mulia saja tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa dan setiap warga negara berhak menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing?

Semua hanya pengakuan di lisan dan dalam aturan tertulis. Aturan formal menjadi menara gading yang tidak mampu terwujud dalam kehidupan nyata. Hal ini menjadi penanda semakin gersangnya kehidupan manusia.

Manusia tak ubahnya seperti serigala yang memangsa semua makhluk dalam keadaan lapar (homo homini lupus). Manusia jauh dari semangat saling mengasihi, menyayangi, menjadi teladan bagi orang lain, dan berbuat baik guna mewujudkan keadaban (homo homini socius).

Pemaknaan

Guna mewujudkan hal tersebut, Abdul Munir Mulkhan (2007) menilai pemaknaan jihad al-nafs (jihad dengan jiwa) yang lebih besar daripada jihad dalam arti qital (perang) tampaknya perlu dipertimbangkan. Pengembangan good governance, gerakan pemberantasan korupsi, dan perusakan martabat kemanusiaan lainnya di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini sama pentingnya dengan perlawanan terhadap sekularisme.

Korupsi dan praktik pemerintahan (berikut praktik legislasi) yang tidak adil mungkin perlu ditempatkan sebagai musuh terbesar gerakan keagamaan abad ini.

Dalam masyarakat yang menyatakan taat kepada ajaran Tuhan, good governance memerlukan sejumlah konsep ketuhanan dan kemanusiaan yang kompetibel. Tanpa hal itu, dengan mudah hukum Tuhan dipakai untuk menghindari sanksi pelanggaran hukum publik. Sebaliknya, hukum publik dipakai untuk memutihkan sanksi pelanggaran hukum Tuhan.

Oleh karena itu, perlu dijernihkan pelanggaran atas hukum publik berarti juga melanggar hukum Tuhan. Inilah arti fungsional dari wihdah al-wujud (manunggaling kawula Gusti) bukan dalam pengertian seseorang berada pada posisi superhuman yang bebas dari hukuman publik.

Superhuman (malaikat) perlu diberi arti kesadaran. Manusia bertindak lebih dari hasrat kemanusiaan yang ditunjukkan pada perilaku menjadikan tugas duniawi bagi tugas ukhrawi, seperti malaikat yang tak butuh makan, minum, istri, dan jabatan, bukannya tidak makan minum, berkeluarga, dan memegang jabatan. 
Namun, semuanya itu diabdikan bagi kepentingan publik.

Kepentingan publik menjadi mantra bagi kehidupan kemanusiaan yang beradab. Inilah tujuan kebangsaan yang telah dirumuskan foundhing fathers and mothers. Kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan rasa penyerahan diri kepada Tuhan sebagai penuntun dan pertanggungjawaban moral serta pemanusiaan manusia sebagai penghargaan sesama makhluk hidup.

Akhirnya, korupsi merupakan musuh bersama. Korupsi telah membentengi manusia hidup wajar penuh dengan sikap kedewasaan (toleransi, humanisasi, liberasi). Oleh karena itu, pelaku korup wajib diasingkan dari kehidupan atau komunitas kemanusiaan yang beradab. Pasalnya, koruptor telah menegasikan diri sebagai “penguasa” dan tidak mengakui kekuasaan Tuhan sebagai penguasa jagat dan menafikan kehidupan makhluk hidup.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar