Minggu, 29 Desember 2013

Meluruskan Orientasi Guru

Meluruskan Orientasi Guru

Nur Faidatun Naimah  ;   Peserta Program Sekolah Pendidikan Politik Kebangsaan
di Monash Institute, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
SUARA KARYA,  28 Desember 2013
  


Dalam kaidah Bahasa Jawa, kata guru merupakan akronim dari digugu lan ditiru. Artinya, dipercaya dan dicontoh. Berarti seorang guru harus mampu menjadi panutan bagi peserta didik ditengah masyarakatnya. Karenanya, guru dituntut memiliki kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan, serta berperilaku sesuai aturan dan norma yang berlaku. Sehingga, seorang guru tidak hanya bertugas untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mampu menjadi uswatun hasanah terutama bagi peserta didiknya.

Pendidik atau guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan. Kehadirannya menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya kegiatan belajar-mengajar. Ahmad D Marimba dalam, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa pendidik merupakan orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Artinya, tujuan utama seorang guru adalah mendidik. Sedangkan, untuk dapat mendidik seorang guru dituntut untuk mampu menguasai materi yang akan diajarkan kepada peserta didik serta berperilaku baik. Sebab, dalam sistem pendidikan, guru berperan sebagai center of seing atau panutan bagi peserta didik. Ketika tidak mampu mengimplementasikannya, maka bisa dipastikan bahwa peserta didik akan mengalami dekadensi intelektual dan moral.

Disorientasi Guru

Sangat tidak dibenarkan, jika seorang guru menjadikan profesi tersebut berorientasi untuk mencari kekayaan dan jaminan kesejahteraan hidup. Selaras dengan hal ini, Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin mengatakan, "Ilmu pegetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajari adalah mencari yang lebih utama dari itu. Oleh karena itu, mengajarkannya adalah memberikan faidah bagi keutamaan itu."

Dari sisi kuantitas, setiap tahun jumlah guru di Indonesia meningkat tajam. Sayang, ini tidak mampu diimbangi dalam segi kualitas. Ini lebih diperparah lagi dengan adanya kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru, yang merupakan kebijakan pemerintah yang notabene memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan guru, mengingat begitu besar jasa guru dalam mencetak generasi bangsa. Karena dari generasi bangsa inilah, negara mampu meraih berbagai pencapaian yang cukup signifikan, hingga menjadi negara Indonesia seperti saat ini. Selain itu, kebijakan ini juga merupakan jawaban pemerintah atas permasalahan terkait dengan kesenjangan guru, yang sudah mengurat dan mengakar selama beberapa dekade silam.

Namun, niat baik tersebut nyatanya telah dikotori oleh perubahan paradigma guru. Semula, tujuan utama mereka menjadi guru adalah untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan dan mendidik peserta didik agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun, kini niat mulia itu telah berubah menjadi sertifiicate oriented, seiring dengan berlakunya kebijakan tentang sertifikasi guru yang mampu "menyejahterakan" kehidupan mereka.

Hal inilah yang sesungguhnya merupakan faktor utama penyebab disorientasi guru, sehingga menjadikan mereka insan yang konsumtif dan materialistis. Pasalnya, sertifikasi mampu memenuhi hasrat konsumtif mereka yang tidak dapat terpenuhi selama ini. Bayangkan saja, seorang guru swasta yang lazim mendapat gaji lima ratus ribu per bulan, mendadak mendapat gaji sepuluh kali lipatnya. Maka tak heran, jika sekarang ini banyak lulusan SMA atau sederajat berbondong-bondong menyerbu fakultas kependidikan, yang nantinya dapat menghantarkan mereka menjadi seorang guru.

Bagi mereka, guru adalah sebuah profesi yang sangat mudah untuk diraih dan dilaksanakan serta mampu menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan. Apalagi, saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya mengeluarkan kebijakan untuk dapat mengentaskan guru dari kesenjangan materi. Semua kemudahan itu, nyatanya tidak mampu memberikan jaminan akan semakin membaiknya kualitas guru. Namun sebaliknya, guru semakin mengalami disorientasi. Sikap materialistis, konsumtif, serta ambisius telah melekat dalam diri guru saat ini.

Tengok saja, ketika dana sertifikasi cair. Berbagai pusat perbelanjaan, taman hiburan serta wahana-wahana yang mampu memuaskan hasrat konsumtif, ramai pengunjung. Ketika dirunut lebih lanjut, ternyata akar dari peristiwa ini adalah dana sertifikasi guru sudah cair.

Selain itu, ketika di gelar tes PNS (Pegawai Negeri Sipil), terdapat berbagai macam praktik kecurangan lengkap dengan mafianya. Mereka menghalalkan berbagai macam cara agar bisa lulus tes. Tidak heran, jika fenomena yang terjadi selanjutnya adalah rendahnya kualitas dan SDM (Sumber Daya Manusia) guru. Hal inilah, yang pada akhirnya berimbas terhadap semakin rendahnya kualitas dan daya saing peserta didik. Jika sudah begini, jangan salahkan keadaan bila dalam setiap event internasional, Indonesia selalu kalah dari negara-negara lain.

Rekonstruksi Mind Set

Untuk meluruskan orientasi guru dalam dunia pendidikan yang semakin melenceng, diperlukan rekonstruksi mindset. Artinya, perlu dihancurkan dan dibuang jauh-jauh anggapan, bahwa menjadi seorang guru adalah sebuah profesi yang mudah untuk diraih dan mampu menjanjikan kesejahteraan hidup di masa depan.

Namun sebaliknya, perlu merekonstruksi (membangun kembali) mindset, bahwa hakikat guru dalam suatu proses pendidikan adalah mentransfer pengetahuan, memberikan motivasi belajar, sepenuh hati dalam membimbing, mengenali dan menggali potensi yang tersembunyi dalam diri peserta didik, dan bukan sekedar menjadikan profesi tersebut sebagi ajang mencari kesejahteraan hidup. Karena sesungguhnya, guru yang profesional tidak hanya ditunjukkan oleh sejumlah dana yang diterima, namun oleh kinerja yang penuh dedikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar