Selasa, 31 Desember 2013

Nalar Semu Pemilih Efisien

Nalar Semu Pemilih Efisien

Wawan Sobari  ;   Dosen FISIP Universitas Brawijaya,
Kandidat Doktor Ilmu Politik Flinders University, Australia
JAWA POS,  30 Desember 2013
  


HASIL survei terbaru Pol-Tracking Institute (PI) memprediksi perilaku pemilih dalam Pemilu 2014 akan lebih rasional. Capres bermodal tampang ganteng dan dari suku mayoritas bukan jaminan untuk menang (Jawa Pos, 23 Desember 2013). Selain itu, PI menahbiskan Joko Widodo (Jokowi) sebagai tokoh nasional dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) sebagai capres paling tinggi (37,46 persen) di antara 10 tokoh. 

Lainnya, hasil-hasil survei para pollster (lembaga riset opini) yang dirilis bersamaan berkesimpulan serupa. Tiga simulasi survei oleh Cyrus Network memperkirakan elektabilitas Jokowi antara 22 hingga 56 persen. Sementara, tujuh simulasi Indo Barometer tetap mengunggulkan Jokowi dengan elektabilitas 37,7 hingga 50,6 persen. 

Demikian halnya, menjelang Pemilu 2014, PI memperkirakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki elektabilitas tertinggi, sebesar 18,50 persen dibanding 11 parpol lain. Sebelumnya, PI merilis pula bahwa korupsi merupakan kampanye negatif paling efektif guna menurunkan elektabilitas parpol.

Menariknya, tingginya elektabilitas Jokowi sebagai figur capres sekaligus pendongkrak elektabilitas PDIP merupakan paradoks. Faktanya, selain kader Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang ramai diberitakan tersangkut kasus korupsi, ada pula beberapa kader PDIP yang terbelit kasus yang sama. 

Karena itu, beberapa pertanyaan kritis atas hasil survei itu layak disampaikan. Sebegitu seriuskah publik memperhatikan detail kasus korupsi kader parpol per peristiwa hingga berpengaruh pada elektabilitas? Mengapa para pollster seragam mengunggulkan Jokowi? Tidak sepadankah tokoh sekaliber Prabowo, Jusuf Kalla, atau bahkan Megawati hingga kalah elektabel? 

Bila membaca rilis dan hasil survei mereka, para pollster secara seragam memperlakukan responden yang dipilih acak sebagai sosok yang mudah menentukan pilihan (decisive). Responden diasumsikan pula konsisten mengikuti perkembangan isu atau berita politik dan mudah terpengaruh oleh upaya-upaya parpol maupun figur capres untuk menarik simpati publik. 

Pada 2012 televisi merupakan media utama yang dikonsumsi 94 persen orang Indonesia dengan rata-rata menonton 4,5 jam/hari. Sinetron mendapat porsi tonton tertinggi, yakni 24 persen. Kemudian, acara hiburan lainnya seperti komedi dan ajang pencarian bakat sebesar 20 persen. Acara ber-genre berita tidak jadi prioritas. Kalaupun acara Apa Kabar Indonesia Malam pernah berating tinggi tahun lalu, itu karena TV One menyiarkan penetapan awal Ramadan yang banyak ditunggu publik. 

Nielsen merilis pula hasil riset penggunaan internet pada 2012. Jejaring sosial merupakan yang tertinggi dimanfaatkan pengguna hingga 75,3 persen. Pilihan-pilihan publik itu cukup logis karena dirasa memberikan manfaat langsung daripada mengonsumsi isu-isu politik dan pemerintahan yang terlalu serius dan menguras pikiran dan emosi. 

Karena itu, tak heran bila elektabilitas Jokowi sebagai ikon perubahan terus berkibar. Analisisnya, publik tak sepenuhnya menilai Jokowi lebih berkualitas daripada JK, Megawati, Prabowo, Dahlan Iskan, atau Mahfud M.D. Namun, media dan bahkan hasil riset opini telah berhasil menyediakan langkah shortcut (memintas) yang efisien bagi publik untuk memperoleh informasi tentang figur capres sebagai dasar keputusan memilih. 

Ada Kepentingan Pollster 

Kasus korupsi yang membelit beberapa sejawat Jokowi di PDIP tak mencegah penurunan elektabilitas dirinya beserta PDIP. Demi efisiensi informasi, publik memberikan penilaian tak berimbang sebagaimana kasus yang dialami PD dan PKS. Jadi, jangan heran bila publik sensitif terhadap isu korupsi, padahal indeks persepsi korupsi Indonesia memburuk. 

Akibat calon pemilih cenderung mengambil langkah efisien, figur alternatif dianggap lebih layak dipilih daripada figur prospektif. Maka, rumus elektabilitas bukanlah hasil perpaduan antara kualitas, integritas, dan kapasitas figur atau parpol. Di kalangan pollster, elektablilitas diyakini sebagai hasil perpaduan antara popularitas alias keterkenalan dan kesukaan atau simpati kepada parpol dan figur. Formula kedua mencerminkan langkah lebih efisien bagi calon pemilih daripada yang pertama. 

Hanya, penting pula bagi publik untuk berpikir sedikit kritis bahwa para pollster sejatinya tak lepas dari kepentingan. Secara politik mereka berkompetisi sesama pollster demi eksistensi. Secara ekonomi pollster hadir demi meraih keuntungan. Bisa dibilang, saat ini sangat sedikit pollster yang mengedepankan dorongan akademis ketimbang motif komersial saat menggelar dan merilis hasil survei. Makanya, pemilih kritis masih berkualitas lebih baik daripada pemilih efisien. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar