Minggu, 29 Desember 2013

Nasib MK Pascaputusan TUN

Nasib MK Pascaputusan TUN

Jamal Wiwoho  ;   Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Pembantu Rektor II Universitas Sebelas Maret Surakarta
KORAN SINDO,  28 Desember 2013
  


Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kesekian kalinya mendapat perhatian besar dari publik setelah didera berbagai permasalahan pascapenangkapan dan penahanan mantan Ketua MK Akil Mochtar, Senin (23/12) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 87/P /2013. 

Keppres yang dikeluarkan SBY pada 22 Juli 2013 itu menetapkan memberhentikan hakim Maria Farida Indrati dan Ahmad Sodikin dan mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan PTUN Jakarta Timur tersebut menyatakan mencabut Keppres No 87/P/ 2013 dan menerbitkan kembali sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam putusan gugatan itu salah satu pertimbangan putusan dengan majelis hakim karena pengangkatan mantan menteri hukum dan hak asasi manusia dan dosen Fakultas Hukum UI itu dilakukan dengan penunjukan langsung tanpa melalui tata cara pencalonan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel serta partisipatif sehingga mengandung kekurangan yuridis atau tidak sesuai napas Pasal 19 UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

Dampak Putusan PTUN 

Sebagai putusan tata usaha negara, putusan No 139/G/ 2013/PTUN Jkt itu akan membawa dampak yang cukup kompleks. Pertama, dari segi hukum formal misalnya secara khusus putusan PTUN tersebut masih sangat memungkinkan diajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa yakni banding dan kasasi serta upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali (PK). Secara matematis jika dalam waktu 14 hari pascaputusan itu tidak ada upaya hukum, putusan tersebut akan mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrach van gewijde). 

Kedua, penulis menduga pasti akan ada upaya hukum dari pihak tergugat (pemerintah) atau tergugat intervensi (Patrialis Akbar). Jika itu benar, para pihak akan beradu argumentasi kembali di PTTUN Jakarta untuk memenangkan banding. Pada sisi lain karena putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tentu keberadaan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati sebagai hakim MK tidak terpengaruh sama sekali. 

Kedua hakim itu tetap bisa menjalankan tugas-tugas seperti biasa. Jika langkah pengajuan banding itu diajukan kemudian diputus oleh PTTUN Jakarta, para pihak yang belum menerima atas putusan banding akan mengajukan kasasi. Pengajuan banding dan kasasi tersebut diperkirakan akan memakan waktu sekitar satu tahun. Dengan demikian, secara teori selama satu tahun ke depan dan sampai berakhirnya masa tugas kedua hakim tersebut, lembaga yudikatif yang kini diketuai Hamdan Zoelva ini tetap bisa eksis memeriksa dan memutus perkaraperkara yang diajukannya. 

Ketiga, apabila tidak ada upaya hukum dari pemerintah maupun tergugat intervensi (Patrialis Akbar) atau dengan kata lain manakala dalam 14 hari setelah putusan tersebut dibacakan tidak ada banding, ada terjadi keguncangan di MK sebab setelah tidak aktif Akil Mochtar, dengan putusan PTUN itu, praktis jumlah hakim MK tinggal enam orang. Selain itu juga tentu tidak “genapnya” jumlah hakim MK akan menambah berbagai persoalan, baik secara hukum maupun volume penanganan perkaranya serta menghadapi tahun 2014 sebagai tahun politik dengan keberadaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden serta pilkada tentu potensi sengketa yang diajukan ke MK akan lebih banyak baik secara kualitas maupun beban kerjanya. Karena itu, kekosongan harus segera dicari jalan keluarnya mengingat keabsahan sidang pada MK paling sedikit dihadiri tujuh hakim. 

Salah satu jalan keluarnya adalah menggunakan konsep yang sudah disiapkan Komisi Yudisial (KY). Lembaga yang diketuai Suparman Marzuki ini telah menyusun peraturan panel ahli dan uji kelayakan calon hakim konstitusi akan disosialisasikan ke pemerintah, DPR, dan MA. Keempat, putusan TUN di mana hakim anggota Elizabet Tobing menyatakan dissenting opinion (berbeda pendapat) ini bisa dimaknai sebagai suatu penambah argumen bahwa penerbitan Keppres 87/P/2013 itu lebih banyak berorientasi pada niat hendak menguasai MK daripada memperbaikinya. 

Pemerintah mestinya dapat menghindari argumen tersebut sebagai upaya untuk melestarikan semangat tertutup dan kesewenang- wenangan dalam mengangkat pejabat negara. Kelima, putusan PTUN ini juga merupakan bukti independensi yang mulai tumbuh di kalangan para hakim dalam memutus perkara khususnya sengketa antara warga negara dan pemerintah. Pada sisi yang agak berbeda dalam penanganan perkaranya, dalam dua bulan terakhir ini setidak-tidaknya ada tiga putusan hakim yang progresif yang memutus para pengambil uang negara (koruptor) diputus oleh pengadilan dengan hukuman berat yaitu kepada Angelia Patricia Sondakh (Angie), 

Luthfi Hasan Ishaaq, serta Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Djoko Susilo. Keenam, bagi pihak yang menggugat atas keppres tersebut tentu putusan atas Patrialis merupakan kado akhir tahun dari badan peradilan/yudikatif. Karena itu, harapannya, tentu putusan tersebut sebaiknya dilaksanakan oleh pemerintah sehingga presiden harus melaksanakan putusan TUN dan menerbitkan surat keputusan yang baru dan MK juga harus tunduk atas putusan tersebut. 

Dinamika MK 

Menengok ke belakang dinamika MK yang hampir selama 10 tahun sejak didirikan dipimpin oleh Jimly Asshidiqie, Busyro Muqoddas, dan dilanjutkan Mahfud MD mendapatkan apresiasi tinggi dari publik karena mampu menelurkan putusan yang membumi dengan hakim yang berintegritas moral tinggi. Nasib MK sebagai lembaga penjaga konstitusi Indonesia ini luluh lantak saat 2 Oktober 2013 ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap oleh KPK di rumah dinas di kawasan Widya Chandra, Jakarta. 

Penangkapan disertai penetapan Akil Mochtar sebagai tersangka serta penahanan telah membumihanguskan kepercayaan publik terhadap MK karena sang ketua diduga membarterkan putusan-putusannya (misalnya Pilkada Kabupaten Gunung Mas - Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak-Banten) dengan rupiah atau dolar untuk kepentingan dirinya. Publik juga makin menyangsikan akurasi putusan yang diputus MK karena banyak uang dan barang (rumah, tanah, mobil, dan motor) milik AM yang disita oleh KPK. Akankah putusan TUN No 139/G/2013/PTUN Jkt akan menambah ketidakpercayaan publik atas kinerja Pemerintah dan kinerja MK atau tidak? Hanya waktu ke depanlah yang akan memperlihatkan kepada khalayak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar