Sabtu, 28 Desember 2013

Paket Bali dan Negara Berkembang

Paket Bali dan Negara Berkembang

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KOMPAS,  28 Desember 2013




DI luar dugaan, Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali akhirnya berhasil menyepakati Paket Bali. Dirjen WTO Roberto Azevedo dan Ketua Konferensi WTO yang juga Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan bungah.
Setelah macet 12 tahun tanpa hasil, sebagian agenda Putaran Doha bisa diselesaikan. Roberto dan Gita yakin hasil ini akan mengembalikan kepercayaan 160 anggota WTO tentang pentingnya kerja sama multilateral.

Paket Bali berisi tiga hal: fasilitas perdagangan, paket pembangunan untuk negara kurang berkembang, dan pertanian. Dua paket pertama mulus disetujui. Perundingan paling alot terjadi pada agenda pertanian. Dimotori India, kelompok G-33 yang dipimpin Indonesia mendesakkan penaikan subsidi pertanian, dari 10 persen menjadi 15 persen tanpa batas waktu. Sekitar 40 persen dari 1,2 miliar penduduk India bekerja di pertanian dan terancam kelaparan. India berkepentingan menjamin hak pangan warga tanpa diatur-atur WTO.

Memaknai Paket Bali

Dimotori AS, negara-negara maju menentang India. Argumennya, subsidi untuk memperkuat cadangan pangan mendistorsi pasar jika merembes. Usulan India akhirnya disetujui jadi bagian Paket Bali dengan peace clauseempat tahun. Setelah itu dijanjikan ada solusi permanen. Pertanyaannya, benarkah negara berkembang diuntungkan Paket Bali? Benarkah Paket Bali mencerminkan free and fair trade seperti diyakini SBY? Bisakah negara berkembang memanfaatkan 1 triliun dollar AS yang didorong perdagangan dunia?

Paket Bali sejatinya tidak mengubah apa-apa. Negara maju tetap pada wajahnya yang lama: banyak menuntut tetapi pelit memberi. Pertama, peace clause empat tahun sejatinya hanyalah omong kosong. Itu karena hasil negosiasi dengan tenggat empat tahun tersebut telah ditukar (trade off) dengan fasilitas perdagangan yang akan meliberalisasi secara luas pasar di negara-negara berkembang. Lagi pula, skema peace clause  hanya berlaku untuk cadangan pangan, bukan untuk yang lain. Janji solusi permanen juga tak jelas bagaimana wujudnya dan kapan akan diberlakukan? Boleh jadi, empat tahun lagi negara maju berganti taktik.

Kedua, Paket Bali mencerminkan tetap berlanjutnya diskriminasi. Menurut WTO, dengan mengamini argumen AS, subsidi guna memperkuat cadangan pangan mendistorsi perdagangan. Di lain pihak, subsidi pangan dan pertanian di negara-negara maju tetap dibolehkan oleh WTO. Ini tecermin dari tetap dilegalkanya subsidi ekspor dan dukungan domestik yang oleh WTO dimasukkan dalam Green Box, Blue Box, dan de minimis.

Ketiga, inti Paket Bali tetap berfokus pada akses pasar (market access). Ini tecermin dari disetujuinya poin-poin dalam fasilitas perdagangan. Isu ini memang eksklusif milik negara-negara maju. Dengan disetujuinya poin fasilitas perdagangan, lewat WTO negara-negara maju bisa mendesak dibangunnya sejumlah fasilitas seperti kepabeanan, pelabuhan, dan perizinan serta fasilitas pengukuran kesehatan di negara berkembang. Itu semua memakan biaya besar. Padahal, fasilitas ini tak lain untuk melancarkan lalu lintas barang impor di negara-negara berkembang. Impor bakal membanjir, termasuk ke Indonesia.

Janji negara-negara berkembang akan menikmati kue ekonomi yang didorong oleh perdagangan dunia hanya janji surga. Dengan pelbagai standar teknis internasional dan asal barang, persyaratan lingkungan dan kesehatan di negara-negara maju akan cukup efektif membendung masuknya aneka produk dari negara berkembang. Selain pelbagai hambatan new non-tariff barrier itu, negara maju juga memberlakukan tarif eskalasi untuk sejumlah produk olahan. Dengan cara itu, sulit produk negara berkembang menembus pasar negara maju. Negara maju hanya tertarik membuka pasar bahan baku.

Kemenangan korporasi

Menurut sebuah studi Bank Dunia, skenario Putaran Doha hanya memberikan keuntungan kepada negara-negara maju. Menurut Bank Dunia, negara-negara berkembang hanya memperoleh sekitar 16 miliar dollar AS, sementara negara-negara maju mendapatkan keuntungan hingga 96 miliar dollar AS sampai 2015. 

Yang paling diuntungkan adalah korporasi. Menurut World Trade Report 2013, ”80 persen ekspor AS dikuasai satu perusahaan besar, 85 persen ekspor Eropa ada di tangan 10 persen eksportir besar, dan 81 persen ekspor terkonsentrasi pada lima perusahaan ekspor di negara berkembang”. Jadi, Paket Bali adalah kemenangan korporasi.

Keempat, Paket Bali menegaskan adanya dua dunia di belahan bumi: utara yang makmur dan kaya serta selatan yang miskin dan melarat. Ada negara berpendapatan per kapita lebih dari 40.000 dollar AS, tetapi jumlah penduduk yang pendapatan per kapita 1.000 dollar AS per tahun atau kurang amat banyak. 

Lebih dari 1,2 miliar orang atau satu dari setiap lima penduduk dunia harus hidup dengan 1 dollar AS per hari atau kurang. Mereka miskin, kurang gizi, rentan terhadap bencana dan gejolak, serta akses terhadap kesehatan dan pendidikan rendah. Negara-negara ini masih bergulat dengan persoalan kebutuhan dasar.

Di sisi lain, negara-negara maju yang telah mencapai tahapan tertinggi dari pembangunan industri, jasa, dan perdagangan terus melakukan ekspansi pasar guna menghindari stagnasi ekonomi. Negara-negara ini terus mengejar kemajuan tiada henti, tanpa mau tahu pelbagai masalah yang membelit negara-negara berkembang dan miskin: rendah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia, serta lemah akses pasar dan modal. Apakah demikian ini yang dinamakan perdagangan bebas yang bukan hanya free, melainkan juga fair trade?

Yang amat disesalkan adalah peran Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia lebih banyak mendorong Paket Bali agar segera (bisa) disepakati. Sebagai Ketua G-33, posisi Indonesia juga ”abu-abu”. Tak jelas kepentingan nasional yang diperjuangkan. Sebagai tuan rumah, di mata dunia luar Indonesia akan dipuji WTO dan korporasi karena telah berhasil memfasilitasi terus berlanjutnya mesin ekonomi WTO dan perputaran kapital mereka. Di dalam negeri, Indonesia kembali menuai kecaman karena tak gigih membela kepentingan nasional. Jangan-jangan memang kita tak merumuskan semua itu?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar