Selasa, 31 Desember 2013

Rahasia Kesuksesan dalam Pendidikan

Rahasia Kesuksesan dalam Pendidikan

Ahmad Baedowi   ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Desember 2013




"THE secret of education lies in respecting the pupil. It is not for you to choose what he shall know, what he shall do. It is chosen and foreordained and he only holds the key to his own secret."  (Ralph Waldo Emerson)

SAAT mendengar kata kesuksesan, imajinasi kita pasti akan menangkap pesan berupa gambar asosiatif yang berkaitan dengan kekayaan dan keberlimpahan materi, kehormatan, dan kedudukan di mata orang lain.

Seperti teori kebutuhan Maslow, tiap-tiap kesuksesan seseorang selalu diukur berdasarkan tingkatan yang ingin dicapainya. Karena itu, kesuksesan juga bisa diidentifikasi dengan motivasi yang dimiliki seseorang ketika belajar. Artinya setiap motivasi tidak pernah dikatakan baik apabila tujuan yang diinginkan itu tidak baik, demikian pula sebaliknya.

Pertanyaannya ialah apakah tujuan pendidikan kita peduli dengan tujuan dan motivasi anak ketika belajar? Jika kita survei secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi pada hasil yang bersifat fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja, dan memperoleh kedudukan adalah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian besar kepala siswa kita. Pendek kata, belajar dimaknai sebagai usaha untuk mengejar kesuksesan dalam arti yang sempit.

Pendidikan yang berorientasi pada hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan, tetapi sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika proses belajarmengajar dimaknai dan dijalankan sebagai eksplorasi atas nilai-nilai kehidupan yang mulia. Karena itu, proses belajarmengajar harus berorientasi pada proses yang benar.

Bila mengikuti logika Maslow, pendidikan yang berorientasi pada hasil sesungguhnya hanya akan memperoleh kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk memperoleh kasih sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini. Penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan memberi siswa sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada lingkungan sosial tempat mereka berada.

Menurut teori fisiologi, semua tindakan manusia itu berasal pada usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan fisik semata.
Padahal, kebutuhan siswa tak hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan rasa yang sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anakanak sekolah, seperti kasus kekerasan.

Proses pendidikan yang tak seimbang antara pikir dan rasa itulah salah satu ujung petaka kemanusiaan di Indonesia. Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup saling hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berkeadaban seperti tawuran antarwarga, warga melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.

Jelas sistem pendidikan kita memerlukan road-map baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni budaya di sekolah, menurut beberapa temuan riset, rentan menjadikan anak-anak berpe rilaku menyimpang di tengah masyarakat.

Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan hari ini sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa.

Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa itulah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.

Menyeimbangkan pikir dan rasa dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu dan yang lain, dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk lebih banyak disebabkan ketidakefektifan kebijakan kurikulum kita yang kurang menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan mata ajar yang ada.

Hans-Peter Becker dalam Unleash the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child (2012) menemukan hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan secara seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak belajar sambil mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang kelas, sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar. Kombinasi pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar