Sabtu, 28 Desember 2013

Semangat Keberagaman Substantif

Semangat Keberagaman Substantif

Masduri  ;   Peneliti Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Ampel Surabaya
KORAN JAKARTA,  27 Desember 2013

  

Beragama menjadi panggilan naluriah manusia. Pada agama menggantung kedamaian sebagai pusat dari segala harapan kebahagian hidup. Karena manusia hakikatnya merasa tidak kuasa atas realitas kehidupan.

Sebut saja tentang sejarah kelahiran, tiba-tiba saja manusia lahir ke dunia, tanpa berkesempatan memilih lahir dari keluarga siapa dan tempat mana. Banyak lagi contoh lain, manusia juga tidak tahu akhir hidupnya, senang-sedih, dan segenap peristiwa eksistensial yang dialami manusia sehingga kemudian lahir keyakinan terhadap kebenaran agama, baik agama samawi ataupun agama ardi. Bahwa ada Zat Yang Mahakuasa dan Mahapencipta, yang oleh banyak orang kemudian disebut sebagai Tuhan.

Pandangan kaum beragama tentang ketidakkuasaan manusia terhadap realitas kehidupan, berbeda dengan penganut Ateisme, misalnya Sigmund Freud, yang berpandangan bahwa ide Tuhan hanyalah ilusi, manusia seperti anak kecil yang selalu membutuhan pertolongan.

Sehingga mencipta Zat diyakininya Mahakuasa sebagai tempat mengadu dan meminta pertolongan. Tetapi bagi kaum beragama, keimanan kepada Tuhan merupakan manifestasi dari kesadaran diri, bahwa ada Zat Yang Mahapencipta, awal dari segala sesuatu. 

Seperti Rene Descartes yang menyatakan orang bisa saja menyangkal segala sesuatu (termasuk Tuhan), namun ia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya sendiri ada. Baginya, Allah juga demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya, keraguan kepada Tuhan sama saja dengan meragukan dirinya sendiri.

Sebab Allah adalah sebab pertama yang mengadakan semua yang ada dalam alam semesta. Keyakinan pada Tuhan adalah semangat hidup mencapai kebahagian. Sebab menurut Immanuel Kant, Allah adalah zat yang menjamin bahwa orang yang bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.

Maka adalah keniscayaan jika banyak orang memburu Tuhan dalam agama-agama yang ada di dunia ini. Prinsip dasarnya mereka ingin mencari ketenangan spiritualitas untuk mencapai kebahagian hidup.

Namun, kemudian yang sering dipersoalkan oleh banyak orang adalah  ragam agama yang begitu banyak. Sebut saja di Indonesia, ada enam agama yang secara konstitusional diakui oleh negara, Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khong Hu Cu. Perbedaan agama ini sering memicu konflik kekerasan. 

Telah jutaan orang meninggal dunia sia-sia atas kekerasan sebagian orang yang sebenarnya berpura-pura mengimani Tuhan, tetapi perilakunya tidak mencerminkan kasih sayang sebagaimana ajaran dalam setiap agama. Agama adalah panggilan naluriah jalan hidup, sebagai wujud manifestasi dari kecintaan pada anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan. Karena itu, orang beragama mestinya hidup dengan jalan kasih sayang yang telah digariskan oleh Tuhan dalam setiap agama.

Persamaan Hak

Sebagai kaum beriman, walau berbeda agama dengan umat Kristen, saya merasa sedih ketika mendengar berita ketakutan umat Kristen dalam merayakan Natal. Sebagai warga negara yang sah dan dahulu para nenek-moyang umat Kristen juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mereka mestinya memiliki kedaulatan penuh sebagai warga negara Indonesia layaknya mayoritas umat Islam yang bebas melaksanakan kegiatan keagamaan tanpa intervensi dari pihak mana pun. 

Sejatinya, bukan hanya untuk umat Kristen, umat Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu juga memiliki hak yang sama. Sebab hal itu dilindungi oleh UUD 1945, dalam Bab XI Pasal 29 ditegaskan bahwa

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu"

Tetapi, selama ini negara seakan tak kuasa menahan intervensi dan kekerasan yang dilakukan sebagian kelompok terhadap agama minoritas di Indonesia sehingga saudara- saudara kita, umat Kristen merasa khawatir, takut kekerasan pada acara Natal seperti tahun-tahun sebelumnya terulang kembali. 

Ketakutan yang dialami umat Kristen menandai bahwa ada sebagian penganut agama di Indonesia yang belum dewasa. Penghayatan keagamaan mereka masih sangat lemah sehingga agama yang sejatinya sumber kedamaian, bagi mereka hadir sebagai petaka hidup. Karena itulah, sejatinya pada hari Natal yang dirayakan umat Kristen, kita semua dari lintas agama, walau berbeda keyakinan, dapat belajar bagaimana Yesus yang dalam teologi Kristen diyakini sebagai juru selamat, mampu menghadirkan kedamaian kepada umat manusia di seluruh dunia. 

Ajaran Yesus yang agung telah menyebar ke banyak negara di dunia. menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan berkeadaban. Kelahiran Yesus ke dunia telah menjadi penerang kehidupan. Membawa manusia dari gelap kehidupan, ke benderang cahaya yang menyinari jalan kehidupan. Lalu, apakah kita semua tidak juga ingin menjadi cahaya dan "juru selamat" bagi setiap manusia dan problem kebangsaan yang sedang kita hadapi bersama?

Beragama bukan hanya menjalani ritual keagamaan. Lebih dari itu semua, beragama menuntut kita semua mampu menghadirkan Tuhan yang kita yakini Mahapengasih dan Mahapenyayang dalam aktivitas keseharian. Jika Tuhan hadir dalam diri kita, tentu tindakan kekerasan, korupsi, diskriminasi, dan semua hal destruktif tidak akan kita lakukan. Sebab ajaran Tuhan adalah ajaran kasih dan sayang. 

Beragama adalah upaya menyatukan diri dengan Tuhan sebagai Zat Pencipta karena sejatinya makhluk adalah manifestasi dari Tuhan (Ibnu Arabi). Sehingga napas hidup, sifat, dan tindakan kita selaras dengan ajaran dan sifat Tuhan. Meskipun kata filsuf Schleiermacher, karena manusia adalah ciptaan Tuhan, tidak mungkin bisa mencapai kesempurnaan hidup, kesempurnaan hanya milik Tuhan, tetapi Tuhan mencipta manusia agar selalu berikhtiar mencapai kesempurnaan hidup.

Ikhtiar mencapai kesempurnaan hidup itu, harus dilakukan bersama-sama. Semua umat beragama, dengan keyakinannya masing-masing harus menggerakkan diri menyatu dengan Tuhannya. Tuhan harus hadir ke dunia, meminjam bahasa Al-Hallaj, ia berkata Ana Al-Haqq yang berarti Akulah kebenaran. Pernyataan Al-Hallaj ini tidak untuk kita maknai sebagai pengakuan diri kita sebagai Tuhan. Tetapi sebagai penegas, bahwa ajaran agama kita benar sesuai dengan keyakinan penganutnya masing-masing. 

Karena sejatinya dalam filsafat perennial, setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius.

Sebab itu, mari kita berlomba-lomba mencapai kebenaran (Al-Hallaj) dan mencapai kesempurnaan hidup (Schleiermacher) dengan keyakinan dan cara kita masing-masing. Selamat Hari Natal untuk Umat Kristiani. Salam damai demi Indonesia yang bermartabat!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar